Di tengah tanah yang basah dan hamparan sawah yang luas, tumbuh butir-butir harapan. Setiap tetes keringat petani adalah perjuangan demi kehidupan. Namun, lebih dari sekadar menanam dan memanen, ada kewajiban yang sering luput dari perhatian umat yaitu zakat pertanian. Kewajiban ini bukan hanya perintah, melainkan jembatan antara hasil bumi dan keberkahan langit.
Sayangnya, di tengah gencarnya dakwah zakat maal dan zakat penghasilan, zakat hasil pertanian masih sering terabaikan. Padahal, bagi negeri agraris seperti Indonesia, potensi zakat dari sektor pertanian sangatlah besar. Jika dipahami dan diterapkan dengan benar, bukan hanya akan mengangkat ekonomi petani, tapi juga mengurangi ketimpangan sosial yang terus menganga.
Mengenal Lebih Dekat Zakat Pertanian
Zakat pertanian adalah bagian dari syariat Islam yang ditujukan bagi para pemilik hasil bumi. Allah SWT tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga menjelaskan kewajiban sosial yang melekat pada kekayaan dan hasil panen. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan berikanlah haknya pada hari memanen hasilnya.” (QS Al-An’am: 141)
Ayat ini menunjukkan bahwa zakat dari hasil pertanian wajib ditunaikan pada saat panen. Tidak perlu menunggu satu tahun seperti zakat harta lainnya. Karena hasil bumi bersifat musiman dan langsung dinikmati.
Rasulullah SAW bersabda: “Terhadap tanaman yang diairi dengan air hujan atau air sungai atau yang tumbuh karena air yang mengalir, maka zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang diairi dengan tenaga dan alat, zakatnya seperdua puluh.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadist ini, kita belajar bahwa kadar zakat pertanian ditentukan oleh cara irigasinya. Jika pengairannya alami, maka zakatnya lebih besar (10%). Namun jika menggunakan biaya atau alat, maka zakatnya hanya 5%. Prinsip keadilan inilah yang menjadikan Islam begitu fleksibel dalam penerapan aturan, tanpa memberatkan pelaku usaha tani.
Namun kenyataan di lapangan tak selalu sejalan. Banyak petani kecil yang justru menanggung beban ekonomi berat, sementara para pemilik lahan luas sering kali lupa bahwa di dalam hasil panennya ada hak kaum dhuafa. Bahkan tidak sedikit yang menyamakan zakat dengan pajak, lalu memilih untuk mengabaikannya.
Padahal zakat bukan hanya soal kewajiban agama. Ia adalah bentuk solidaritas, pembersih harta, dan pengundang keberkahan. Harta yang dizakati akan tumbuh dan membawa manfaat. Sementara yang ditahan bisa menjadi beban batin, bahkan musibah tak terduga.
Mengapa Zakat Pertanian Penting?
Pertama, karena ia menyentuh langsung sumber pangan umat. Ketika zakat pertanian berjalan dengan benar, maka orang miskin tidak akan kekurangan makanan. Mereka mendapatkan haknya sejak hari panen, bukan setelah lama menunggu belas kasihan. Kedua, zakat ini menjaga keseimbangan ekonomi pedesaan. Di mana hasil bumi tak hanya menguntungkan pemilik modal, tapi juga menyentuh lapisan terbawah masyarakat.
Namun kita tidak bisa menutup mata. Masih banyak hambatan di lapangan. Kurangnya pemahaman, tidak adanya pendataan lahan secara akurat, serta minimnya kesadaran dari para pemilik hasil bumi membuat zakat pertanian terabaikan. Bahkan di beberapa daerah, hasil panen dijual habis tanpa menyisakan apa pun untuk zakat. Padahal itu bukan sekadar kehilangan pahala, tapi juga bisa menghambat keberkahan rezeki.
Sisi lainnya, ada juga petani kecil yang sebenarnya belum mencapai nishab (batas minimum panen wajib zakat), namun tetap berbagi sebagian hasilnya karena keikhlasan. Mereka tidak terikat aturan formal, tapi digerakkan oleh hati yang lapang. Sementara di tempat lain, pemilik ratusan hektare lahan memilih diam, merasa zakat bukan bagian dari bisnisnya.
Inilah kondisi yang memanggil kesadaran kolektif. Bahwa zakat bukan hanya urusan pribadi. Ia adalah tanggung jawab sosial. Ia mengajarkan bahwa rezeki tidak hanya milik sendiri, tapi ada hak orang lain di dalamnya. Islam tidak melarang kekayaan, tapi Islam ingin kekayaan tidak menumpuk di tangan segelintir orang saja.
Bagaimana Cara Menghitungnya?
Secara garis besar, zakat pertanian dikenakan pada hasil panen yang telah mencapai nishab, yaitu sekitar 653 kg gabah kering giling (atau sesuai jenis hasil bumi yang setara). Jika hasilnya melebihi batas ini, maka zakat wajib dikeluarkan. Besarannya tergantung cara pengairan: 10% untuk yang alami, 5% untuk yang menggunakan biaya.
Tidak perlu menunggu satu tahun, karena zakat ini wajib dikeluarkan setiap kali panen. Dan karena itu pula, zakat ini menjadi sangat relevan bagi daerah-daerah yang mengandalkan hasil bumi sebagai sumber utama penghasilan.
Zakat pertanian bukan sekadar kewajiban syariah. Ia adalah bukti bahwa Islam hadir untuk menyentuh seluruh lini kehidupan, termasuk dunia pertanian yang sering kali terlupakan. Dengan menunaikannya, kita tidak hanya membersihkan harta, tapi juga membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Jangan biarkan hasil panen kita hanya menjadi angka di neraca keuntungan. Sisihkan sebagian, bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Karena sejatinya, keberkahan rezeki bukan terletak pada jumlahnya, tapi pada nilai manfaatnya bagi sesama.