Di balik harta yang kita miliki, ada hak orang lain yang tak terlihat. Kita sering kali menggunakan istilah infaq dan sedekah secara bergantian, seakan keduanya adalah hal yang sama. Padahal, di dalam Islam, keduanya memiliki makna, hukum, dan konteks yang berbeda. Perbedaan ini bukan sekadar istilah, tetapi mencerminkan kedalaman spiritual dan tanggung jawab sosial umat.
Perbedaan Makna dan Dimensi Infaq
Infaq berasal dari kata “anfaqa” yang artinya mengeluarkan atau membelanjakan harta. Dalam pengertian syar’i, infaq adalah mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki untuk keperluan yang diperintahkan oleh Allah SWT, baik wajib seperti zakat, maupun sunnah seperti membantu fakir miskin. “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Namun dalam praktiknya, infaq kerap kali dianggap beban. Tidak sedikit yang merasakan ketakutan kehilangan harta setelah mengeluarkan infaq. Perasaan was-was bahwa uang yang dikeluarkan akan mengurangi kesejahteraan sering kali menghalangi seseorang untuk berbagi. Rasa khawatir yang berakar dari ketidakpercayaan akan janji Allah justru merusak nilai dari amal itu sendiri.
Dalam konteks ini, Imam Al-Qurthubi menegaskan dalam tafsirnya bahwa infak adalah ujian keimanan, bukan hanya bentuk kedermawanan. Saat seseorang mampu mengeluarkan harta dari apa yang dicintainya, itulah bukti bahwa keimanannya mulai merasuk ke dalam hati.
Hakikat Sedekah dalam Kehidupan Sehari-hari
Berbeda dari infaq, sedekah memiliki cakupan makna yang lebih luas. Ia tidak hanya terbatas pada pemberian harta, tetapi juga meliputi segala bentuk kebaikan yang dilakukan untuk orang lain. Bahkan senyum kepada saudara pun dihitung sebagai shadaqah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah.” (HR. Tirmidzi)
Namun, justru karena definisinya yang luas, shadaqah sering kali dipandang remeh. Banyak orang merasa cukup berbagi hanya dengan bersikap baik, sementara lupa akan kebutuhan nyata masyarakat sekitar yang kelaparan atau tidak memiliki tempat tinggal.
Ada yang menjadikan sedekah sebagai ajang pamer. Mereka menyumbang dalam jumlah besar, tapi hanya karena ingin terlihat mulia. Padahal, Allah menilai keikhlasan, bukan angka. mengingatkan dengan keras: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)…” (QS. Al-Baqarah: 264)
Ayat ini menampar keras orang-orang yang menjadikan shadaqah sebagai alat untuk meninggikan diri. Dalam kenyataan, banyak penerima merasa lebih tersakiti oleh cara pemberian, bukan oleh kondisi miskinnya. Keikhlasan adalah roh dari shadaqah. Tanpanya, amal sebesar apapun takkan bernilai.
Ulama besar seperti Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menulis bahwa shadaqah adalah salah satu bentuk tertinggi dari ihsan (kebaikan). Ia tidak selalu wajib, tapi sangat dianjurkan. Ia bisa menyembuhkan hati yang keras, meredam kemurkaan Allah, dan menjadi penyelamat di hari kiamat.
Ketika Infaq Dihadang Kepentingan Pribadi
Namun idealisme shadaqah dan infak sering kali runtuh ketika berhadapan dengan kepentingan duniawi. Banyak lembaga amal yang menyalahgunakan dana umat. Laporan keuangan yang tidak transparan, manipulasi data mustahik, bahkan penipuan berkedok sosial menjadi noda hitam dalam wajah filantropi Islam.
Masyarakat pun jadi apatis. Mereka mulai enggan menyumbang karena takut uang mereka tidak sampai kepada yang membutuhkan. Ini adalah krisis kepercayaan yang lahir bukan dari kurangnya harta, tetapi dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai agama.
Menyakitkan memang, ketika amal kebaikan yang seharusnya membawa rahmat justru menjadi sumber kecurigaan. Tapi inilah realita yang harus dihadapi. Maka penting bagi setiap muslim untuk memahami perbedaan infak dan shadaqah, agar mereka bisa menyalurkan harta dengan benar, sesuai syariat dan dengan pengawasan hati yang jernih.
Sayangnya, tidak semua muslim mendapatkan pendidikan yang cukup tentang hal ini. Di banyak daerah, shadaqah masih dicampuradukkan dengan zakat, infak dianggap sama dengan hibah, dan konsep keberlanjutan dalam beramal tidak diajarkan. Ini bukan hanya persoalan istilah, tapi mencerminkan ketimpangan literasi keislaman yang masih luas.
Pendidikan yang benar tentang shadaqah dan infak akan membentuk masyarakat yang lebih peka, lebih adil, dan lebih berbelas kasih. Karena sejatinya, amal bukan hanya tentang memberi, tetapi juga tentang peduli. Tentang menempatkan diri pada posisi orang lain, dan menyadari bahwa harta hanyalah titipan, bukan milik abadi.