Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu amanah terbesar yang Allah bebankan kepada seorang laki-laki adalah tanggung jawab dalam menafkahi keluarganya. Tanggung jawab ini bukan sekadar beban materi, tetapi juga bentuk ibadah yang memiliki kedudukan tinggi dalam syariat. Namun, dalam praktiknya, banyak yang menyepelekan bahkan melalaikan, sehingga keluarga menjadi korban kelalaian seseorang yang semestinya menjadi pelindung.
Hukum menafkahi keluarga dalam Islam bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang tak bisa dinegosiasikan. Seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuan, tanpa mengurangi hak mereka, tanpa membiarkan mereka meminta kepada orang lain, tanpa membuat mereka merasa terbebani oleh kekurangan yang sebenarnya bisa dipenuhi.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233, Allah berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Ayat ini tidak hanya mengatur tentang kewajiban, tetapi juga menunjukkan keadilan syariat yang tidak menuntut di luar batas.
Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu mencerminkan nilai-nilai ini. Banyak suami yang justru membiarkan istrinya menanggung semua beban ekonomi dengan alasan mencari tambahan atau karena alasan kemalasan. Bahkan ada yang tega mengambil nafkah dari istri padahal dirinya sehat jasmani dan rohani. Ini bukan hanya ketidakadilan, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Cukup bagi seseorang dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya.” Hadist ini memberikan gambaran betapa seriusnya konsekuensi dari kelalaian dalam menafkahi keluarga. Bukan hanya berdosa, tetapi cukup dosa itu untuk menjadi sebab kemurkaan Allah.
Hukum dan Tanggung Jawab yang Tak Bisa Diwakilkan
Kewajiban menafkahi keluarga adalah tugas yang melekat pada pundak kepala rumah tangga dan tidak bisa dipindahkan kepada pihak lain, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Jika seorang suami tidak bisa menafkahi karena sakit atau musibah, maka istri boleh mencari nafkah, namun bukan untuk membebaskan suami dari tanggung jawabnya.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu lebih besar pahalanya daripada dinar yang engkau keluarkan untuk jalan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa menafkahi keluarga bukan sekadar kewajiban, tetapi juga ibadah yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Bahkan lebih utama daripada amalan-amalan sunnah yang tampak hebat.
Namun, betapa banyak yang terbalik dalam pandangan. Banyak yang lebih senang berinfak ke masjid namun mengabaikan kebutuhan istri dan anak. Banyak yang tampak dermawan di luar tetapi pelit di rumah. Banyak yang dihormati orang lain tetapi dibenci keluarganya karena sikapnya yang tidak adil dan tidak bertanggung jawab.
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa suami wajib menafkahi keluarganya dari makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya sesuai dengan kemampuan, bukan sesuai dengan keinginannya. Maka tidak sah jika seorang suami berfoya-foya untuk dirinya sendiri, sementara keluarganya hidup dalam kesulitan.
Hikmah dan Keberkahan di Balik Menafkahi Keluarga
Ketika seorang kepala keluarga melaksanakan kewajiban ini dengan niat yang ikhlas dan penuh tanggung jawab, maka Allah akan membuka pintu keberkahan yang luas. Rezeki yang ia keluarkan untuk keluarganya tidak akan habis, tetapi justru akan bertambah dan diberkahi. Karena nafkah yang diberikan dengan cinta dan tanggung jawab adalah bentuk kasih sayang yang Allah ridai.
Namun jika kewajiban ini diabaikan, maka bukan hanya hilangnya keberkahan, tetapi juga kehancuran rumah tangga yang bisa terjadi. Anak-anak yang tumbuh dalam kekurangan bisa kehilangan rasa hormat dan cinta kepada orang tua. Istri yang terus menanggung beban bisa kehilangan kepercayaan, dan keharmonisan bisa runtuh.
Banyak pernikahan yang kandas bukan karena kurang cinta, tetapi karena hilangnya rasa aman akibat kelalaian dalam memberi nafkah. Nafkah bukan hanya soal materi, tetapi juga bentuk kehadiran dan kepedulian. Jika nafkah hilang, maka hilang pula fondasi rumah tangga yang kokoh.
Di sisi lain, ada pula istri yang tidak bersyukur dan menuntut di luar batas sehingga menyulitkan suami yang sudah berusaha. Maka penting pula bagi istri untuk mengerti bahwa suami wajib memberi nafkah sesuai kemampuan, bukan sesuai keinginan. Jika keduanya saling mengerti, maka rumah tangga akan menjadi tempat yang tenang, bukan medan perang.