Sejarah dan Lahirnya Ilmu Sains Islam

Sejarah dan Lahirnya Ilmu Sains Islam

Tak banyak yang tahu bahwa dunia pernah menyaksikan kebangkitan peradaban yang tak hanya ditandai dengan kejayaan militer atau kekayaan negara, tetapi juga dengan cahaya ilmu pengetahuan yang menyinari seluruh penjuru bumi. Sejarah dan lahirnya ilmu sains Islam adalah bagian dari mozaik kemuliaan umat, yang berakar dari Al-Qur’an dan hadis, dan membentuk generasi cendekiawan yang tidak hanya menghafal, tapi juga berpikir, merenung, dan menciptakan perubahan besar di dunia.

Dalam tradisi Islam, menuntut ilmu bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah). Ilmu yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan fikih dan ibadah, tetapi mencakup pula pengetahuan yang berkaitan dengan alam semesta, kehidupan, dan ciptaan Allah secara menyeluruh. Inilah akar dari lahirnya ilmu sains Islam, yang tidak memisahkan antara iman dan akal, antara wahyu dan logika, antara langit dan bumi.

Peran Wahyu dan Akal dalam Lahirnya Ilmu Pengetahuan

Ilmu sains Islam tidak lahir dalam kekosongan, ia berangkat dari ayat pertama yang diturunkan: Iqra’ – bacalah. Sebuah perintah langsung dari Tuhan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai revolusi pengetahuan yang tidak hanya mengguncang Jazirah Arab, tetapi akhirnya mempengaruhi Eropa dan seluruh dunia. Dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang menyeru umat manusia untuk berpikir, mengamati langit dan bumi, memperhatikan penciptaan manusia, pergantian siang dan malam, dan pergerakan bintang-bintang. Semua ini adalah pintu-pintu ilmu yang terbuka lebar, dan menjadi pemicu utama sejarah dan lahirnya ilmu sains Islam.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad menjelma menjadi jantung peradaban dunia. Di sanalah dibangun Bayt al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan, tempat para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Biruni, dan Jabir Ibn Hayyan meneliti, menerjemahkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka tidak hanya membaca buku-buku dari Yunani atau Persia, tetapi juga mengkritisi, memperbaiki, dan menciptakan teori-teori baru yang akhirnya menjadi fondasi bagi perkembangan sains modern.

Namun kebangkitan ini tidak lepas dari ujian. Ada masa ketika umat Islam sendiri mulai meremehkan ilmu dunia, memisahkan antara agama dan rasionalitas, dan mengganti semangat bertanya dengan taklid membabi buta. Saat itu, api ilmu mulai padam. Peradaban yang dulu bersinar terang mulai meredup. Ini adalah bagian pahit dari sejarah, ketika warisan keilmuan yang mulia diabaikan oleh penerusnya sendiri.

Sains sebagai Cermin Tauhid dalam Islam

Bagi ilmuwan Muslim sejati, mempelajari alam semesta bukanlah bentuk sekularisme atau pengabaian terhadap agama, melainkan bagian dari tauhid. Mereka melihat keteraturan semesta sebagai bukti adanya Zat Yang Maha Mengatur. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, ilmu adalah jalan untuk mengenal Allah, dan semua pengetahuan harus bermuara pada ketundukan kepada-Nya. Inilah bedanya ilmu sains Islam dengan sains modern yang seringkali melepaskan dimensi spiritual.

Al-Khawarizmi yang dikenal sebagai bapak aljabar tidak pernah memisahkan matematika dari iman. Ibn Sina, yang menulis Al-Qanun fi at-Tibb, adalah juga seorang hafiz Al-Qur’an yang memahami ilmu kedokteran sebagai cara menjaga amanah tubuh dari Allah. Al-Biruni dalam kajian astronominya sering menyebut kekuasaan Allah sebagai penjelasan dari keteraturan bintang dan planet. Semua ini menegaskan bahwa sejarah dan lahirnya ilmu sains Islam bukanlah hasil pinjaman dari peradaban lain, tapi lahir dari dalam tubuh umat itu sendiri, melalui perpaduan antara akal, wahyu, dan semangat bertauhid.

Namun tidak semua umat memahaminya demikian. Ada yang mencibir ilmu dunia sebagai tidak penting, ada pula yang terjebak dalam pujian terhadap peradaban Barat dan lupa bahwa kita pernah lebih unggul. Pandangan ini membuat banyak generasi muda kehilangan jati diri, merasa rendah diri di hadapan kemajuan teknologi luar, dan memandang remeh sejarah keilmuan Islam. Padahal, dahulu Barat belajar dari kita. Universitas-universitas Eropa menerima naskah-naskah ilmuwan Muslim, dan dari sanalah Renaissance lahir.

Kebangkitan Kembali Melalui Pendidikan dan Kesadaran

Kini, saat dunia berada di ambang krisis moral dan sains modern kehilangan nilai-nilai spiritual, umat Islam punya peluang untuk menghidupkan kembali ilmu sains Islam yang bermartabat. Tetapi itu hanya bisa terjadi jika kita kembali kepada semangat awal: membaca, merenung, dan menciptakan. Dunia Islam harus berani mendirikan pusat-pusat riset yang berlandaskan nilai ilahiah. Pendidikan Islam harus kembali menyatukan agama dan sains dalam satu sistem yang utuh, bukan terpisah seperti dua dunia yang saling bertolak belakang.

Sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf Al-Qaradawi dan Dr. Wahbah Az-Zuhaili menegaskan pentingnya mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dalam kurikulum Islam. Mereka melihat bahwa kebangkitan Islam masa depan tidak akan cukup hanya dengan menghafal kitab, tetapi juga dengan menguasai teknologi, memahami lingkungan, dan menjawab tantangan zaman dengan ilmu dan akhlak sekaligus.

Jika para sahabat dan tabi’in dahulu mampu melahirkan peradaban emas tanpa teknologi canggih, maka tak ada alasan generasi hari ini tidak mampu melakukannya. Yang dibutuhkan adalah kesadaran, keberanian, dan komitmen untuk menjadikan ilmu sebagai cahaya hidup. Karena sejatinya, ilmu sains Islam adalah warisan yang belum selesai ditulis, dan setiap generasi diberi kesempatan untuk melanjutkannya.

Bagikan:

Related Post