Peran dan Tugas Seorang Wanita di Dunia

Peran dan Tugas Seorang Wanita di Dunia

Seorang wanita adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan keindahan fisik dan kekuatan batin yang luar biasa. Tidak hanya menjadi hiasan rumah tangga, ia adalah penjaga moral, penopang generasi, dan penenang hati. Namun, peran dan tugas yang diemban seringkali dipersempit oleh pandangan dunia yang keliru ada yang menyanjungnya setinggi langit, ada pula yang merendahkannya seakan tidak punya nilai selain fisik semata. Di sinilah pentingnya memahami hakikat yang sebenarnya, berdasarkan tuntunan wahyu dan teladan Rasulullah ﷺ.

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71). Ayat ini menegaskan bahwa di dunia, wanita bukan sekadar pelengkap, tetapi mitra sejajar dalam membangun kebaikan dan melawan keburukan.

Wanita Sebagai Penopang Keluarga dan Kemajuan Bangsa

Peran dan tugas pertama yang melekat pada seorang wanita adalah membina keluarga. Ia bukan hanya ibu yang melahirkan, tetapi pendidik pertama yang membentuk karakter anak-anaknya. Imam Al-Ghazali menyebut, “Wanita adalah sekolah. Jika ia baik, maka baiklah bangsa itu.” Pernyataan ini mencerminkan betapa besar pengaruh wanita dalam melahirkan generasi yang berilmu dan berakhlak.

Namun, realitas di dunia modern tidak selalu ramah. Banyak wanita yang dipaksa memikul beban ganda dengan menjadi ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah, tanpa dukungan moral atau penghargaan yang layak. Bahkan ada yang diremehkan perannya hanya karena tidak bekerja di ruang publik. Padahal, Rasulullah ﷺ memuliakan peran istri-istri beliau, yang sebagian besar berfokus pada pengasuhan dan pendidikan keluarga, dan itu menjadi amal besar di sisi Allah.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada keluargaku.” (HR Bukhari) Hadis ini menjadi pengingat bahwa suami berkewajiban mendukung peran wanita, bukan menindas atau mengabaikan haknya.

Wanita di Ranah Sosial dan Dakwah

Tidak hanya di rumah, peran dan tugas seorang wanita juga meluas ke ranah sosial. Sejarah Islam mencatat bagaimana wanita ikut serta dalam kegiatan dakwah, pendidikan, bahkan pengobatan di medan perang. Nama seperti Nusaibah binti Ka’ab menjadi simbol keberanian, sedangkan Aisyah r.a. menjadi teladan dalam ilmu dan fatwa.

Sayangnya, di dunia masa kini, masih banyak hambatan yang menghalangi perempuan untuk berkontribusi di masyarakat. Ada yang mengekang mereka dengan dalih agama, padahal Islam tidak melarang wanita berkiprah selama menjaga adab dan syariat. Ulama seperti Ibnu Katsir menegaskan bahwa keikutsertaan perempuan dalam kegiatan sosial adalah bagian dari kontribusi terhadap umat, selama dilakukan dengan niat yang benar.

Namun di sisi lain, ada pula penyalahgunaan kebebasan. Tidak sedikit wanita yang terjebak dalam budaya pamer dan sosial media, sehingga peran dan tugas mulia mereka tergerus oleh tuntutan gaya hidup. Mereka lebih sibuk mencari pengakuan dari manusia dibanding mencari ridha Allah.

Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat bagaimana kalian berbuat.” (HR Muslim) Hadis ini menegaskan bahwa kebebasan di dunia harus diiringi dengan tanggung jawab, bukan sekadar mengikuti hawa nafsu.

Menjaga Martabat di Tengah Godaan Dunia

Seorang wanita di zaman modern dihadapkan pada ujian berat dengan menjadikan media sosial yang mengobjektifikasi tubuh, tren yang merusak akhlak, dan tekanan sosial yang memaksa untuk mengikuti arus. Dalam situasi seperti ini, peran dan tugas mereka sebagai penjaga kehormatan menjadi semakin penting.

Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…” (QS. An-Nur: 31). Ayat ini bukan sekadar perintah berpakaian, tetapi perlindungan martabat seorang wanita di dunia yang penuh fitnah. Ulama seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi menafsirkan bahwa menutup aurat dan berhijab adalah bagian dari identitas dan kehormatan, bukan pengekangan kebebasan.

Namun, ada pula yang memutarbalikkan makna kebebasan menjadi alasan untuk menolak syariat. Mereka menganggap aturan agama sebagai beban, bukan pelindung. Padahal, kebebasan tanpa batas justru dapat meruntuhkan martabat itu sendiri.

Sejarah menunjukkan bahwa ketika wanita kehilangan pegangan agama, maka rusaklah moral masyarakat. Begitu pula sebaliknya, ketika wanita menjaga kehormatan dan mendidik generasi dengan nilai Islam, maka tegaklah peradaban.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Apabila seorang wanita menjaga salat lima waktunya, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.” (HR. Ahmad). Hadis ini bukan bentuk pengekangan, tetapi janji kemuliaan yang Allah sediakan bagi wanita yang menjalankan peran dan tugasnya dengan penuh keikhlasan.

Bagikan:

Related Post