Perbuatan Dinilai Dari Tujuannya

Perbuatan Dinilai Dari Tujuannya

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tak pernah lepas dari tindakan. Mulai dari bangun tidur hingga kembali terlelap, segalanya adalah perbuatan. Namun dalam pandangan Islam, tidak semua amal dihitung sama. Bahkan dua orang yang melakukan hal serupa bisa mendapatkan nilai berbeda. Sebab dalam Islam, perbuatan dinilai bukan hanya dari bentuknya, tapi dari tujuannya. Dan niat menjadi penentu utama apakah amal itu diterima atau tidak.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadist ini merupakan pondasi dalam seluruh ajaran Islam. Para ulama menjadikannya sebagai bagian dari hadist-hadist pokok dalam agama. Karena dari sini kita memahami bahwa perbuatan dinilai dari apa yang tersembunyi di hati, bukan semata dari apa yang terlihat oleh mata.

Seorang yang bersedekah jutaan rupiah bisa saja tidak mendapatkan apa-apa di sisi Allah jika niatnya hanya untuk pamer. Sementara seorang yang hanya bisa memberi seteguk air, tapi dengan tulus, bisa mendapatkan pahala yang luar biasa. Maka penting bagi setiap Muslim untuk selalu memeriksa tujuan dari setiap tindakannya. Apakah karena Allah? Atau karena pujian manusia?

Perbuatan Dinilai Bukan Dari Luarnya Saja

Banyak orang yang terlihat rajin beribadah, aktif berdakwah, dan ringan tangan dalam membantu. Namun jika semua itu dilakukan karena ingin dipuji, maka sia-sialah semua usahanya. Begitu pula dengan yang tampaknya biasa-biasa saja, tapi hatinya penuh keikhlasan—ia bisa jauh lebih mulia di sisi Allah.

Imam An-Nawawi dalam syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadist tentang niat merupakan tolak ukur sah atau tidaknya amal. Beliau berkata: “Hadist ini mencakup sepertiga ilmu karena amal-amal tidak akan diterima kecuali dengan niat.”

Pernyataan ini menguatkan bahwa perbuatan dinilai bukan sekadar dari besar kecilnya, tapi dari niat yang melatarbelakanginya. Bahkan dalam perkara duniawi sekalipun, seperti bekerja, menikah, atau belajar, bisa bernilai ibadah jika niatnya lurus. Tapi jika niatnya melenceng, maka ia akan menjadi debu yang berterbangan di hari kiamat.

Betapa banyak orang yang sibuk dengan aktivitas keagamaan, tapi hatinya dipenuhi dengan riya’. Ia membaca Al-Qur’an agar dikatakan merdu. Ia bersedekah agar namanya tercantum di baliho. Ia memimpin sholat agar dianggap saleh. Padahal semua itu bisa berubah menjadi dosa jika niatnya salah. Karena Allah menilai hati, bukan tampilan luar.

Namun tak sedikit pula orang baik yang direndahkan karena tidak menonjol. Ia dianggap biasa, padahal setiap harinya ia menolong dengan diam-diam, berdoa tanpa diketahui, dan beramal dengan penuh keikhlasan. Ia tidak viral di media sosial, tapi mungkin namanya disebut para malaikat. Inilah bukti bahwa perbuatan dinilai dari tujuannya, bukan dari sorotan manusia.

 

Dampak Buruk dari Niat yang Rusak

Ketika niat sudah rusak, maka perbuatan yang baik pun bisa berubah menjadi bumerang. Orang yang beramal dengan tujuan dunia akan kecewa jika tak mendapatkan balasan langsung. Ia merasa Allah tidak adil, padahal sejak awal amalnya tidak ditujukan kepada-Nya. Maka tak heran, banyak yang berhenti menolong hanya karena tidak dihargai. Banyak yang berhenti berbuat baik karena tidak dipuji.

Padahal orang yang benar-benar paham bahwa perbuatan dinilai dari tujuan, tidak akan peduli pada apresiasi manusia. Ia tetap berbuat baik meski dibalas dengan keburukan. Ia tetap sabar meski disalahpahami. Ia tetap istiqamah meski tak dipuji. Karena ia yakin, yang menilai amalnya bukan manusia, tapi Allah yang Maha Mengetahui isi hati.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menuliskan: “Niat adalah ruh dari amal. Maka amal tanpa niat bagaikan jasad tanpa jiwa. Tak akan ada kehidupan di dalamnya.”

Ulama besar ini menyadarkan bahwa niat adalah inti dari segalanya. Maka setiap orang harus mengoreksi dirinya sebelum beramal. Untuk siapa aku melakukannya? Apa tujuanku yang sebenarnya? Jika semua itu jujur karena Allah, maka sekecil apapun amal itu akan bernilai agung.

Namun dalam kenyataannya, banyak juga yang mengabaikan niat. Mereka fokus pada pencitraan, target popularitas, dan pujian orang banyak. Bahkan dalam aktivitas dakwah, ada yang menjadikannya ladang keuntungan pribadi. Mereka berdalih menyeru kebaikan, tapi tujuan utamanya adalah pengaruh, pengikut, dan profit. Perilaku seperti ini bukan hanya mencemari dakwah, tapi juga menunjukkan bahwa perbuatan dinilai telah dilupakan dalam kesombongan.

Rasulullah SAW memperingatkan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.” (HR Muslim)

Hadist ini menegaskan bahwa amal yang tidak sesuai dengan syariat—baik dari segi bentuk maupun niatnya—tidak akan diterima. Maka niat yang benar, sesuai dengan tuntunan agama, adalah syarat mutlak diterimanya amal. Tanpa itu, segala lelah dan pengorbanan bisa saja tak berbekas.

Bagikan:

Related Post