Hidup dalam sebuah lingkungan tidak sekadar tentang siapa yang tinggal di balik dinding sebelah rumah. Lebih dari itu, keberadaan tetangga adalah ujian langsung dari Allah untuk menguji akhlak dan kesabaran kita. Dalam Islam, hak-hak tetangga bukan hanya perkara sosial, tetapi termasuk dalam amalan yang bernilai ibadah. Namun begitu sering kita lupa, bahwa menyakiti mereka, bahkan dengan cara yang tampak sepele, bisa menjadi bentuk perbuatan dzalim yang berdampak besar—baik di dunia maupun akhirat.
Hak-Hak Tetangga dalam Pandangan Islam
Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadist: “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Betapa kerasnya peringatan itu. Bahkan bukan sekadar menyuruh untuk bersikap baik, tapi menunjukkan bahwa menyakiti tetangga bisa menjadi penghalang surga. Lantas bagaimana mungkin seseorang merasa tenang, jika setiap hari tetangganya hidup dalam rasa takut, tidak nyaman, atau terluka karena sikap dan perkataannya?
Dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, Imam Bukhari juga mencantumkan banyak hadist yang menjelaskan pentingnya memperlakukan tetangga dengan baik. Salah satunya adalah anjuran untuk memberikan hadiah walau hanya berupa kuah makanan. Artinya, Islam tidak menilai besar kecil pemberian, tapi ketulusan niat dan upaya menjaga hubungan.
Namun kenyataan di lapangan jauh dari itu. Banyak sanak dekat yang justru menjadi sumber pertengkaran. Ada yang sengaja membuang sampah ke pekarangan sebelah, memutar musik keras tengah malam, atau menyebarkan gosip yang merusak kehormatan orang lain. Perbuatan ini bisa tampak biasa, tapi hakikatnya adalah perbuatan dzalim—mengambil kenyamanan dan hak orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
Dzalim yang Tidak Disadari
Tak semua perbuatan buruk terlihat jelas sebagai kezaliman. Ada dzalim yang samar, yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terluka. Seperti menutup akses jalan yang biasa dilalui sanak dekat, menolak menolong ketika mereka butuh bantuan, atau bahkan memasang pagar tinggi karena tidak suka melihat wajah orang lain. Semua ini adalah bentuk pengingkaran terhadap ajaran Rasulullah ﷺ yang memerintahkan agar kita memperlakukan sanak kerabat dekat seperti keluarga sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa dzalim bisa terjadi dalam bentuk tindakan, ucapan, bahkan niat. Seorang yang berdampingan dengan memendam benci lalu menolak menyapa pun, menurut sebagian ulama, telah jatuh pada kezaliman sosial.
Di sisi lain, ada pula orang yang justru menjadi korban, tapi memilih diam. Ia diperlakukan tidak adil, dicemooh, atau diasingkan oleh komunitas sekitarnya. Namun karena tidak ingin konflik, ia memilih menahan. Kesabaran seperti ini memang mulia, tetapi bukan berarti pelaku dzalim bebas dari tanggung jawab. Dalam Islam, kezaliman antar manusia hanya bisa dihapus dengan meminta maaf langsung kepada korbannya. Tidak cukup hanya bertaubat kepada Allah.
Yang lebih menyakitkan, kadang kezaliman itu datang dari mereka yang satu masjid, satu pengajian, bahkan yang dikenal religius. Mereka rajin ibadah, tapi menyakiti jirannya dengan fitnah, kecaman, atau perilaku kasar. Dalam hadist riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seorang wanita yang rajin puasa dan shalat, tetapi menyakiti sanak saudaranya. Beliau bersabda: “Dia di neraka.” Hadist ini adalah peringatan tegas bahwa ibadah ritual tak ada nilainya jika akhlak terhadap sesama akan menjadi rusak.
Manfaat Menjaga Hak Tetangga
Menjaga hubungan baik dengan pihak yang berdampingan bukan hanya mencegah konflik, tapi juga membuka pintu berkah. Dalam QS. An-Nisa: 36, Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang dekat maupun yang jauh. Ini menunjukkan bahwa hak mereka tidak dibatasi oleh jarak fisik, tetapi juga oleh ikatan sosial dan emosional.
Seorang pria yang membagi makanan setiap Jumat kepada masyarakat dilingkungannya, walau ia sendiri tidak hidup mewah, dikenal di kampungnya sebagai orang paling dihormati. Ketika ia meninggal, bukan hanya keluarga yang menangis, tapi seluruh lingkungan. Mereka merasa kehilangan cahaya di tengah kegelapan dunia yang mulai egois dan individualistik.
Namun di sisi lain, ada orang yang memiliki segalanya: rumah besar, mobil mewah, status tinggi. Tapi ia acuh terhadap tetangganya. Tidak pernah menyapa, apalagi membantu. Bahkan ketika terjadi musibah, ia menutup pintu rapat-rapat, seolah-olah dinding rumahnya adalah benteng yang tak bisa ditembus oleh empati. Orang seperti ini, meski tidak secara terang-terangan menyakiti, tetap berada dalam zona dzalim yang tidak ia sadari.