Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, manusia sering kali terjebak dalam euforia pengetahuan dan kecanggihan, namun melupakan sesuatu yang paling mendasar dalam kehidupan sosial dan spiritual: adab dan rasa hormat. Pendidikan modern banyak menekankan kecerdasan intelektual, tetapi mengabaikan kurikulum moral yang menjadi fondasi kepribadian. Oleh karena itu, muncul kebutuhan yang sangat mendesak akan sebuah sistem pembelajaran yang mengembalikan nilai-nilai luhur Islam dalam sebuah Kurikulum Adab dan Rasa Hormat yang mampu melahirkan generasi berilmu dan berjiwa mulia.
Kurikulum bukan sekadar rangkaian pelajaran yang tertulis di atas kertas. Ia adalah arah pembentukan manusia. Dalam Islam, pendidikan sejati bukan hanya mengajarkan apa yang harus diketahui, tetapi juga bagaimana cara menghormati, berperilaku, dan memuliakan sesama. Para ulama terdahulu selalu menempatkan adab di atas ilmu. Imam Malik pernah berkata kepada muridnya, Imam Asy-Syafi’i: “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”
Ungkapan ini menggambarkan esensi dari Kurikulum Adab dan Rasa Hormat, yaitu menanamkan tata krama, sopan santun, dan kesadaran spiritual sebelum mengejar kecerdasan logika.
Makna dan Urgensi Kurikulum Adab dan Rasa Hormat
Kurikulum Adab dan Rasa Hormat merupakan sistem pendidikan yang menitikberatkan pada pembentukan karakter mulia, akhlak, serta penghormatan kepada Allah, Rasul-Nya, orang tua, guru, dan sesama manusia. Adab bukan hanya sikap sopan di hadapan orang lain, tetapi juga refleksi dari keimanan seseorang. Rasa hormat lahir dari hati yang bersih dan penuh kesadaran akan kedudukan diri di hadapan Sang Pencipta.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadarinya.” (Surah Al-Hujurat ayat 2).
Ayat ini menunjukkan bahwa adab dan rasa hormat tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi terutama kepada Rasulullah ﷺ. Bahkan suara yang terlalu keras bisa menjadi sebab hilangnya pahala. Itulah mengapa Islam sangat menekankan pendidikan adab.
Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan terbaik dalam hal adab dan rasa hormat. Beliau menghormati orang tua, menyayangi anak-anak, menghargai sahabat, bahkan bersikap lembut kepada musuh sekalipun. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Tirmidzi).
Jika tujuan diutusnya Nabi adalah untuk memperbaiki akhlak, maka sudah semestinya pendidikan Islam pun menempatkan Kurikulum Adab dan Rasa Hormat sebagai dasar utama.
Ketika Ilmu Tanpa Adab Menjadi Bumerang
Kemajuan ilmu tanpa disertai adab akan melahirkan manusia yang pandai tetapi sombong, berakal tetapi kehilangan hati nurani. Kita sering melihat orang yang berilmu tinggi, namun lisannya tajam, perilakunya kasar, dan tindakannya menyakiti sesama. Inilah tanda hilangnya keseimbangan antara kecerdasan dan kesopanan.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menegaskan, “Ilmu tanpa adab ibarat api tanpa cahaya.” Ia bisa membakar, tetapi tidak menerangi. Begitu pula manusia yang berilmu tanpa rasa hormat mereka seringkali mudah menghina, merendahkan, dan kehilangan rasa empati.
Dalam konteks masyarakat modern, Kurikulum Adab dan Rasa Hormat menjadi benteng moral bagi generasi muda. Anak-anak yang dibesarkan hanya dengan pencapaian akademik akan tumbuh menjadi individu yang haus pengakuan, bukan manusia yang berjiwa besar. Sementara anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan adab akan tahu bagaimana menempatkan diri, menghormati orang tua, dan menjaga lisan.
Adab adalah ilmu hati. Ia menuntun manusia agar tetap rendah hati di puncak ilmu, tetap tenang di tengah pujian, dan tetap sabar di bawah hinaan. Tanpa adab, segala ilmu kehilangan maknanya.
Rasulullah Sebagai Kurikulum Hidup Adab dan Rasa Hormat
Dalam diri Rasulullah ﷺ terdapat contoh sempurna bagi manusia dalam menerapkan Kurikulum Adab dan Rasa Hormat. Beliau tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mempraktikkan setiap nilai dengan ketulusan yang mendalam.
Dalam hadits riwayat Bukhari, diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah memotong pembicaraan seseorang, bahkan kepada orang yang menentangnya. Beliau mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan tanggapan dengan lembut. Dari sini kita belajar bahwa rasa hormat bukan hanya dalam bentuk kata, tetapi juga dalam cara mendengar dan menyikapi orang lain.
Rasulullah ﷺ juga dikenal sebagai sosok yang penuh kasih terhadap anak-anak. Beliau mencium, mendudukkan mereka di pangkuan, dan bermain bersama mereka. Ketika seorang sahabat merasa heran dan berkata, “Aku punya sepuluh anak, tapi tak pernah kucium satu pun,” Rasulullah menjawab dengan tegas: “Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Inilah esensi Kurikulum Adab dan Rasa Hormat: mendidik manusia untuk menyayangi dan menghormati, bukan sekadar menguasai ilmu.
Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Adab
Para ulama klasik menempatkan adab sebagai inti pendidikan. Imam Malik tidak mengizinkan muridnya duduk di majelis ilmu tanpa terlebih dahulu memahami sopan santun. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Kami lebih membutuhkan adab daripada ilmu.” Sementara Imam Ibn Mubarak mengatakan, “Kami belajar adab selama tiga puluh tahun, dan ilmu selama dua puluh tahun.”
Pernyataan-pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Kurikulum Adab dan Rasa Hormat bukanlah konsep baru, melainkan warisan yang sudah lama ada dalam tradisi Islam. Sayangnya, dalam banyak sistem pendidikan modern, adab justru dianggap pelengkap, bukan prioritas.
Ulama besar kontemporer seperti Syaikh Abdullah bin Bayyah menegaskan pentingnya menyeimbangkan antara pengetahuan dan moral. Menurut beliau, “Krisis terbesar umat hari ini bukan kekurangan ilmu, melainkan hilangnya adab.” Maka, membangun kembali Kurikulum Adab dan Rasa Hormat berarti mengembalikan keseimbangan spiritual dalam kehidupan umat.
Penerapan Kurikulum Adab dan Rasa Hormat di Dunia Pendidikan
Kurikulum Adab dan Rasa Hormat dapat diimplementasikan melalui keteladanan, bukan hanya pengajaran verbal. Guru, orang tua, dan tokoh masyarakat menjadi teladan nyata yang mencerminkan nilai-nilai Islam.
Dalam pendidikan Islam klasik, seorang murid tidak hanya belajar di madrasah, tetapi juga hidup bersama gurunya untuk meneladani akhlaknya. Mereka belajar bagaimana bersikap sopan saat berbicara, menundukkan pandangan di hadapan guru, dan menghormati setiap ucapan.
Imam Nawawi, dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, menjelaskan bahwa murid harus menjaga adab terhadap ilmu, guru, dan sesama murid. Guru yang beradab juga tidak boleh memandang rendah muridnya. Inilah bentuk hubungan dua arah yang penuh kehormatan.
Penerapan Kurikulum Adab dan Rasa Hormat di sekolah modern bisa dimulai dari hal sederhana: membiasakan salam, mengajarkan sopan santun saat berbicara, melatih empati, serta mengenalkan teladan Rasulullah ﷺ. Pendidikan karakter semacam ini harus dihidupkan di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang memberi sesuatu yang lebih baik daripada adab yang baik.” (HR. Abu Dawud). Hadits ini menunjukkan bahwa nilai adab lebih tinggi dari pemberian harta, karena adab adalah kunci ketenangan dan kehormatan hidup.
Tantangan Menjaga Adab di Era Modern
Zaman digital membawa peluang besar untuk menuntut ilmu, tetapi juga ancaman besar bagi hilangnya adab. Media sosial menjadikan banyak orang berani berkata kasar, menghina, dan mempermalukan sesama tanpa rasa malu. Nilai hormat terkikis oleh budaya individualisme.
Oleh karena itu, Kurikulum Adab dan Rasa Hormat harus menyesuaikan dengan tantangan zaman. Pendidikan digital pun perlu memasukkan etika bermedia, sopan santun dalam berkomunikasi, dan adab menggunakan teknologi. Sebab, sebagaimana kata ulama besar, “Adab adalah pakaian bagi ilmu. Jika pakaian itu robek, ilmu akan telanjang dan memalukan.”
Menanamkan adab di era modern berarti menanamkan kesadaran spiritual bahwa setiap tindakan diawasi oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya: “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat? Maka janganlah manusia melampaui batas.” (Surah Al-Alaq ayat 14-15).
Ayat ini menjadi pengingat bahwa adab bukan hanya soal hubungan sosial, tetapi juga hubungan dengan Allah. Siapa yang beradab kepada Tuhannya, pasti berakhlak baik kepada manusia.
Kurikulum Adab dan Rasa Hormat adalah jalan untuk melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga lembut hatinya, santun lisannya, dan mulia tindakannya. Sebab, ilmu tanpa adab hanya melahirkan kesombongan, sedangkan adab dengan ilmu melahirkan cahaya kehidupan.


















