Mengenal Hari Tasyrik Bagi Seorang Muslim

Mengenal Hari Tasyrik Bagi Seorang Muslim

Hari-hari besar dalam Islam bukan hanya tentang perayaan, melainkan sarat makna spiritual yang dalam. Salah satu rangkaian penting dalam ibadah haji dan Idul Adha adalah Hari Tasyrik. Sayangnya, masih banyak umat Islam yang tidak memahami keistimewaan dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Hari Tasyrik sering dianggap sebagai kelanjutan dari Idul Adha tanpa disadari betapa besar keutamaannya di sisi Allah.

Hari Tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Dalam ketiga hari ini, umat Islam dilarang berpuasa dan dianjurkan untuk memperbanyak zikir serta menikmati makanan bersama keluarga dan kaum dhuafa. Hari Tasyrik disebut juga sebagai hari makan, minum, dan mengingat Allah, karena pada hari-hari tersebut jamaah haji masih berada di Mina untuk melontar jumrah dan melanjutkan ibadah haji mereka.

Rasulullah SAW bersabda: “Hari-hari tasyrik adalah hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah.” (HR Muslim)

Hadist ini menjelaskan bahwa Hari Tasyrik bukan sekadar hari biasa. Ia adalah momen ibadah dalam bentuk yang berbeda. Bukan dengan puasa atau menyendiri, tetapi dengan berbagi, bersyukur, dan memperkuat tali silaturahmi. Namun sayangnya, banyak dari kita yang justru mengabaikan anjuran ini. Sebagian orang sibuk dengan urusan duniawi, lupa bahwa Allah masih membuka pintu pahala besar di hari-hari tasyrik.

Makna Hari Tasyrik Dalam Tradisi Islam

Dalam sejarahnya, Hari Tasyrik awalnya dinamai dari kebiasaan orang Arab yang menjemur daging qurban di bawah terik matahari untuk diawetkan. Tradisi ini terus berlanjut dan menjadi budaya di banyak wilayah Muslim. Namun dalam Islam, makna Hari Tasyrik lebih luas dari sekadar pengeringan daging. Ia adalah hari-hari istimewa yang tidak boleh dilewatkan tanpa ibadah dan perenungan.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa Hari Tasyrik termasuk dalam hari-hari yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak takbir dan dzikir, terutama setelah shalat wajib. Takbir ini dimulai sejak setelah shalat subuh pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) sampai setelah ashar pada hari ke-13 Dzulhijjah. Takbir di Hari Tasyrik adalah bagian dari syiar yang menegaskan keagungan Allah dan kemenangan iman.

Namun kini gema takbir sering kali hanya terdengar saat malam Idul Adha. Ketika masuk ke Hari Tasyrik, masjid kembali sepi, takbir berhenti, dan umat kembali sibuk pada rutinitas. Betapa banyak yang kehilangan keberkahan karena tidak memahami bahwa Hari Tasyrik adalah lanjutan dari Idul Adha yang penuh pahala. Ini bukan hari kosong, tetapi hari-hari yang dipenuhi rahmat.

Sebagian ulama juga menyebut bahwa Hari Tasrik adalah hari istirahat dari puasa agar umat bisa menikmati rezeki Allah tanpa rasa bersalah. Hari-hari ini diisi dengan makan bersama, berbagi daging qurban, dan mengeratkan ukhuwah. Sayangnya, ada yang justru berpuasa pada Hari Tasrik, padahal Rasulullah melarangnya. Dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi tidak mengizinkan berpuasa pada Hari Tasrik, kecuali bagi mereka yang tidak membawa hewan qurban saat berhaji.

Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menegaskan bahwa Hari Tasrik adalah waktu dilarang berpuasa secara mutlak bagi selain jamaah haji yang tidak memiliki hewan qurban. Maka bagi kaum Muslimin yang tidak berhaji, larangan ini berlaku dan harus dipatuhi. Kesalahan dalam memahami ini bisa membuat ibadah menjadi sia-sia, bahkan berdosa.

Sentimen Tentang Hari Tasyrik

Hari Tasyrik seharusnya menjadi hari kebahagiaan yang merata. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan ketimpangan yang memilukan. Di satu sisi, keluarga-keluarga mampu menikmati daging qurban dalam aneka hidangan. Di sisi lain, banyak kaum dhuafa yang hanya mencium aromanya tanpa bisa merasakannya. Di sinilah urgensi berbagi menjadi lebih nyata.

Mereka yang berqurban seharusnya tidak hanya memikirkan proses penyembelihan, tetapi juga pendistribusian yang merata hingga Hari Tasrik. Karena pada hari-hari inilah umat Islam diperintahkan untuk tidak bersedih, tidak lapar, dan tidak merasa sendirian. Maka siapa pun yang mampu, hendaknya menjadikan Hari Tasrik sebagai momentum untuk mengulurkan tangan lebih banyak dari biasanya.

Sayangnya, tidak sedikit yang menjadikan Hari Tasrik hanya sebagai hari libur. Mereka pergi berlibur, berfoya-foya, tanpa rasa syukur atau perhatian terhadap sesama. Ada yang membuang daging sisa, sementara di sudut kota lain, ada keluarga yang menunggu uluran tangan. Inilah potret buruk dari kurangnya pemahaman terhadap makna Hari Tasrik yang sesungguhnya.

Rasulullah SAW tidak hanya menjadikan Hari Tasrik sebagai hari makan dan minum, tapi juga hari zikir. Artinya, kebahagiaan jasmani harus diiringi dengan kekhusyukan rohani. Maka alangkah indahnya jika makan bersama keluarga dibuka dan ditutup dengan doa, jika berbagi daging dilakukan dengan senyuman, dan jika hati dipenuhi dengan syukur setiap detiknya.

Bagikan:

Related Post