Setiap tahun umat Islam di berbagai belahan dunia menyambut dengan penuh suka cita momen Maulid Nabi Muhammad SAW. Ada lantunan shalawat, ada kisah perjuangan yang dibacakan, ada pula refleksi panjang tentang kehidupan Baginda Rasul. Tetapi pertanyaan penting muncul: bagaimana sebenarnya kita memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW? Apakah sebatas acara seremonial dengan cahaya lampu dan gema rebana, atau justru menjadi momentum menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang beliau ajarkan?
Momen kelahiran Rasulullah ﷺ bukanlah kelahiran biasa. Ia menjadi tonggak perubahan peradaban, hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dalam firman Allah : “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya ayat 107) Ayat ini memberi pesan mendalam bahwa kelahiran Rasulullah adalah hadiah terbesar bagi manusia yang haus akan hidayah. Maka, memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW berarti merenungi rahmat itu, agar hidup tidak sekadar terjebak dalam rutinitas kosong, melainkan diarahkan menuju cahaya yang benar.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad
Ketika berbicara soal Maulid Nabi Muhammad SAW, sebagian orang langsung mengingat kemeriahan perayaan yang sudah berjalan berabad-abad. Sejarah mencatat bahwa peringatan Maulid mulai dikenal secara luas pada masa Dinasti Fathimiyah di Mesir sekitar abad ke-10 M. Sejak itu, tradisi ini berkembang di berbagai wilayah, dari Maroko hingga Nusantara.
Namun, tidak semua ulama sepakat mengenai hukum merayakan Maulid. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Inilah yang membuat memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW perlu hati-hati. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Husn al-Maqshid fi Amal al-Maulid menyatakan bahwa merayakan Maulid adalah amal baik jika diisi dengan bacaan Al-Qur’an, dzikir, dan pengingat tentang kehidupan Rasulullah. Sebaliknya, sebagian ulama dari kalangan yang lebih ketat menilai bahwa Maulid tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabat, sehingga dianggap bid’ah.
Di sinilah letak sentimen baik dan buruk yang harus dihadapi. Jika Maulid hanya diisi pesta, musik berlebihan, dan jauh dari nilai Islam, tentu ia mendatangkan mudarat. Tetapi jika diisi dengan shalawat, ilmu, dan ajakan meneladani Rasulullah, maka ia menjadi ladang pahala. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim). Maka, jika Maulid menjadi jalan untuk menebarkan cinta kepada Rasulullah, bukankah itu kebaikan besar?
Memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW dengan Cinta yang Nyata
Kecintaan kepada Rasulullah ﷺ tidak cukup di lisan, tidak pula hanya dengan menghadiri peringatan Maulid. Ia harus hidup dalam amal nyata. Memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW berarti menanamkan cinta dalam hati, lalu membuktikannya dengan tindakan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari Muslim)
Hadits ini mengguncang hati. Bagaimana mungkin seseorang mengaku mencintai Rasulullah jika shalatnya masih sering lalai, jika lisannya masih menyakiti, jika tangannya masih mengambil yang haram? Merayakan Maulid tanpa meneladani akhlak Nabi hanyalah seremonial kosong.
Ulama besar seperti Imam Ibn Hajar al-Asqalani pernah menegaskan bahwa memperingati Maulid bisa menjadi sarana menumbuhkan cinta Rasul. Namun, cinta itu harus dilanjutkan dengan amal. Membaca shalawat, merenungi sirah Nabi, hingga mencontoh kesabaran beliau dalam menghadapi hinaan dan penderitaan, itulah cara nyata memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sebaliknya, ada sisi buruk yang harus diwaspadai. Jika Maulid hanya dijadikan ajang pamer kemewahan, pesta yang berlebihan, bahkan bercampur dengan hal-hal haram, maka itu bukan lagi bentuk cinta. Justru hal itu mengkhianati nilai-nilai Rasulullah yang hidup sederhana, zuhud, dan penuh kasih sayang kepada fakir miskin.
Maulid Nabi Sebagai Momentum Introspeksi Diri
Banyak orang menanti Maulid hanya untuk meriah, namun sedikit yang menjadikannya sebagai kaca untuk menatap diri. Padahal, memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW bisa menjadi momen introspeksi mendalam. Rasulullah adalah manusia yang paling peduli terhadap umatnya. Dalam hadits riwayat Muslim, disebutkan doa beliau: “Ya Allah, umatku… umatku.” Doa itu beliau panjatkan hingga menangis, dan Allah pun menenangkan beliau dengan janji bahwa umatnya akan diberi rahmat.
Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah pantas disebut umat yang beliau banggakan? Atau justru kita masih sibuk dengan dunia, berpecah belah, meninggalkan ajaran beliau? Pertanyaan ini seharusnya membakar hati setiap muslim ketika memperingati Maulid.
Dalam kitab Iqtidha Shirath al-Mustaqim, Ibn Taimiyah meski termasuk ulama yang kritis terhadap Maulid, tetap mengakui bahwa sebagian orang yang merayakan Maulid dengan niat tulus mencintai Nabi bisa mendapatkan pahala karena niatnya. Artinya, esensi yang paling penting adalah isi peringatan dan niat dalam hati.
Jejak Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari
Akhirnya, memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW bukanlah sekadar hadir di sebuah majelis. Ia harus merembes ke dalam keseharian. Rasulullah adalah teladan sempurna dalam semua aspek: kelembutan hati, kejujuran dalam berdagang, ketegasan dalam kebenaran, kasih sayang kepada keluarga, hingga pengabdian total kepada Allah.
Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab ayat 21).
Betapa ayat ini seharusnya menjadi penuntun kita. Jika kita ingin benar-benar merayakan Maulid, maka rayakanlah dengan cara menghidupkan sunnah Nabi dalam rumah tangga, dalam pekerjaan, bahkan dalam bermasyarakat.
Rasulullah adalah pribadi yang menyukai kesederhanaan. Dikisahkan, beliau hanya tidur di atas tikar kasar hingga meninggalkan bekas di tubuhnya. Ketika sahabat meminta agar beliau diberi alas yang lebih nyaman, Rasulullah menjawab, “Apalah aku dengan dunia? Aku hanyalah ibarat seorang pengendara yang berteduh sebentar di bawah pohon, lalu pergi meninggalkannya.” (HR Tirmidzi).
Kisah ini menyentuh hati. Apakah kita yang hidup di zaman penuh kemewahan masih mengingat kesederhanaan itu? Jika tidak, maka memaknai Maulid Nabi Muhammad SAW harus dimulai dengan memperbaiki gaya hidup, menundukkan nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana Rasulullah ajarkan.