Hukum Mencintai Setiap Pekerjaan

Hukum Mencintai Setiap Pekerjaan

Dalam kehidupan manusia, pekerjaan bukan hanya sekadar cara untuk mendapatkan rezeki, melainkan juga ladang ibadah. Apa yang kita lakukan sehari-hari, mulai dari berdagang, bertani, mengajar, hingga bekerja di kantor modern, semuanya bisa bernilai ibadah jika diniatkan dengan tulus. Karena itu, hukum mencintai setiap pekerjaan menjadi topik yang sangat penting untuk direnungkan. Bagaimana Islam memandang pekerjaan? Apakah cinta terhadap pekerjaan termasuk hal terpuji, ataukah bisa menjerumuskan seseorang ke arah yang salah?

Pekerjaan sebagai Jalan Ibadah

Allah Ta’ala telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia diperintahkan untuk berusaha dan bekerja. Dalam  disebutkan: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah ayat 10). Ayat ini menunjukkan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah, asalkan tidak melalaikan kewajiban utama kepada Allah.

Rasulullah ﷺ sendiri adalah teladan dalam mencintai pekerjaannya. Beliau pernah menjadi penggembala, pedagang, bahkan pemimpin umat. Tidak ada yang beliau lakukan dengan setengah hati. Setiap pekerjaan yang beliau jalani penuh amanah, kejujuran, dan cinta. Dari sini kita memahami bahwa hukum mencintai setiap pekerjaan adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan, selama pekerjaan tersebut halal, tidak menzalimi orang lain, dan diniatkan untuk mencari keridhaan Allah.

Namun, terdapat sisi buruk yang patut diwaspadai. Jika cinta pada pekerjaan berubah menjadi fanatisme yang melalaikan kewajiban shalat, menjerumuskan pada keserakahan, atau membuat seseorang sombong, maka pekerjaan itu bisa menjadi fitnah. Betapa banyak orang yang rela meninggalkan keluarganya, bahkan melupakan Allah, hanya demi pekerjaan. Inilah bahaya yang membuat pekerjaan yang semula halal menjadi sia-sia, bahkan berdosa.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang mukmin yang bekerja.” (HR. Thabrani). Hadits ini menunjukkan bahwa bekerja dengan kesungguhan dan mencintai apa yang dikerjakan merupakan amalan yang Allah sukai. Tetapi, hadits lain juga memperingatkan: “Celakalah seorang hamba dari dinar, celakalah seorang hamba dari dirham.” (HR. Bukhari). Ini menjadi peringatan bahwa terlalu cinta pada harta melalui pekerjaan bisa menjerumuskan dalam kehinaan.

Cinta terhadap Pekerjaan

Setiap pekerjaan yang halal sejatinya membawa berkah. Seorang guru yang mencintai pekerjaannya akan menyalurkan ilmu dengan sepenuh hati, melahirkan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Seorang pedagang yang jujur akan melahirkan kepercayaan, menumbuhkan ekonomi yang sehat, dan menjadi teladan. Seorang petani yang bekerja dengan cinta akan mendatangkan makanan yang halal dan berkah bagi banyak orang.

Inilah keindahan ketika hukum mencintai setiap pekerjaan diterapkan dengan benar. Cinta menjadi energi yang menghidupkan setiap langkah, bukan sekadar rutinitas kering tanpa makna. Cinta pada pekerjaan membuat seseorang lebih sabar menghadapi tantangan, lebih ikhlas dalam berkorban, dan lebih mudah melihat setiap masalah sebagai jalan menuju kedewasaan.

Namun, kita juga menyaksikan sisi gelapnya. Banyak orang yang mencintai pekerjaannya secara berlebihan hingga rela mengorbankan waktu ibadah, keluarga, bahkan kesehatan. Ada yang bangga bekerja siang malam, namun hatinya kosong dari dzikir. Ada pula yang menjadikan pekerjaan sebagai sarana untuk menindas, menipu, atau mencari keuntungan dengan cara haram. Dalam kondisi seperti ini, cinta terhadap pekerjaan berubah menjadi musibah.

Para ulama mengingatkan bahwa hukum mencintai pekerjaan adalah mubah (boleh) bahkan bisa menjadi mustahab (dianjurkan) jika niatnya benar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa bekerja dengan cinta akan menumbuhkan keikhlasan. Tetapi jika cinta pada pekerjaan mengalihkan dari tujuan utama, yaitu beribadah kepada Allah, maka pekerjaan itu kehilangan nilai ibadahnya.

Menemukan Keseimbangan dalam Bekerja

Kunci utama dalam mencintai pekerjaan adalah menempatkannya dalam kerangka ibadah. Seorang muslim harus sadar bahwa apapun pekerjaan yang dijalani hanyalah jalan, bukan tujuan akhir. Tujuannya tetap ridha Allah. Dengan pemahaman ini, hukum mencintai setiap pekerjaan tidak lagi menjadi jebakan duniawi, melainkan motivasi untuk berbuat kebaikan.

Pekerjaan yang dikerjakan dengan cinta akan membentuk akhlak mulia. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai apabila salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional, penuh kesungguhan).” (HR. Baihaqi). Hadits ini memperjelas bahwa cinta pada pekerjaan mendorong seorang muslim untuk bekerja dengan kualitas terbaik, bukan asal-asalan.

Tetapi, jangan lupa bahwa pekerjaan hanyalah salah satu bagian hidup. Islam mengajarkan keseimbangan. Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk keluarga, ada waktu untuk ibadah. Jika pekerjaan mencuri seluruh hidup hingga tidak ada ruang untuk Allah, maka pekerjaan itu berubah menjadi tirani. Dan pada saat itu, cinta yang seharusnya menjadi berkah justru berubah menjadi dosa

Bagikan:

Related Post