Ketika membicarakan kehidupan bernegara, tidak ada yang bisa lepas dari urusan keuangan. Negara membutuhkan biaya untuk membangun, menjaga keamanan, mengelola pendidikan, serta menyejahterakan rakyatnya. Salah satu instrumen yang menjadi sumber pemasukan negara adalah pajak. Namun, di kalangan umat Islam, masih banyak perdebatan mengenai hukum dan dalil pajak, apakah sesuai dengan syariat atau justru bertentangan dengan ajaran Islam.
Bagi sebagian orang, pajak dianggap sebagai kewajiban warga negara yang tidak boleh dihindari. Mereka berpendapat pajak adalah bentuk partisipasi dalam pembangunan, sekaligus cermin kepedulian terhadap sesama. Tetapi di sisi lain, ada pula yang melihat pajak sebagai beban memberatkan, bahkan menjerumuskan rakyat kecil dalam kesulitan. Ada yang merasa pajak menimbulkan ketidakadilan, karena kadang lebih berat bagi yang miskin ketimbang yang kaya. Dari sinilah muncul pro dan kontra seputar hukum dan dalil pajak dalam pandangan Islam.
Pandangan Syariat Tentang Pajak
Al-Qur’an memang tidak menyebut kata “pajak” secara langsung. Namun, banyak ulama yang menafsirkan bahwa semangat pajak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam. Allah berfirman: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr ayat 7) Ayat ini menjadi dasar bahwa distribusi kekayaan harus diatur agar tidak hanya menumpuk di kalangan tertentu.
Dalam Islam, kita mengenal zakat, infak, dan sedekah sebagai bentuk kewajiban maupun anjuran dalam mendistribusikan harta. Namun, zakat memiliki aturan khusus yang sifatnya terbatas pada jenis harta dan nisab tertentu. Sedangkan pajak, dalam konteks negara modern, dianggap sebagai tambahan kewajiban agar kepentingan umum dapat terjamin.
Para ulama klasik seperti Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, dalam kitab Al-Kharaj sudah membahas persoalan pungutan negara terhadap rakyat. Menurutnya, pemerintah berhak mengambil biaya dari rakyat bila diperlukan untuk kemaslahatan bersama, selama tidak menzalimi. Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa hukum dan dalil pajak bisa dibenarkan dengan syarat digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk memperkaya penguasa.
Dalil Ulama dan Hadits Tentang Pungutan
Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim.” (HR Ahmad) Hadits ini sering dijadikan dalil oleh ulama yang menolak pungutan pajak. Namun para ahli hadits dan fuqaha menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah pungutan liar, atau pajak yang diambil tidak sesuai aturan, menindas rakyat, dan hanya menguntungkan pihak tertentu.
Ibn Taimiyyah menjelaskan dalam Majmu’ al-Fatawa, jika negara membutuhkan biaya lebih untuk membela umat Islam atau menyejahterakan rakyatnya, sementara dana zakat tidak mencukupi, maka penguasa boleh mewajibkan pungutan tambahan kepada rakyat sesuai kemampuan. Namun, hal ini harus dilakukan dengan penuh keadilan, transparansi, dan tidak boleh memberatkan rakyat miskin.
Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menekankan bahwa syariat Islam hadir untuk menjaga lima perkara pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika pajak benar-benar membantu menjaga kelima hal ini melalui pembangunan fasilitas umum, maka pajak dapat dibenarkan dalam kerangka maqashid syariah.
Pajak dalam Kehidupan Seorang Manusia
Tidak bisa dipungkiri, pajak memiliki dua wajah. Di satu sisi, pajak bisa menjadi sarana kebaikan. Berkat pajak, jalan dibangun, sekolah berdiri, rumah sakit hadir, dan fasilitas umum dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Pajak menjembatani keadilan sosial, karena yang kaya memberi lebih banyak untuk membantu yang kurang mampu. Dalam konteks ini, pajak bisa menjadi wujud nyata gotong royong dalam Islam yang penuh rahmat.
Tetapi di sisi lain, pajak bisa menjadi bencana bila dikelola secara tidak adil. Betapa banyak rakyat kecil yang menjerit karena dipaksa membayar pungutan, sementara penguasa hidup dalam kemewahan. Pajak menjadi simbol penindasan ketika tidak ada transparansi, atau digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat. Inilah yang disebut dalam hadits sebagai pengambilan pajak yang zalim, yang mengundang murka Allah dan bisa menutup jalan seseorang menuju surga.
Bayangkan seorang buruh dengan gaji pas-pasan, yang tetap dipaksa membayar pajak tanpa melihat beban hidupnya. Bandingkan dengan orang kaya yang punya banyak celah untuk menghindar dari pajak. Ketidakadilan semacam ini melahirkan kekecewaan, kebencian, bahkan ketidakpercayaan terhadap negara. Maka jelaslah, hukum dan dalil pajak harus dipahami tidak hanya sebagai kewajiban rakyat, tetapi juga tanggung jawab besar bagi penguasa agar tidak berbuat zalim.
Dalam kehidupan umat Islam, para khalifah terdahulu pun menghadapi masalah serupa. Umar bin Khattab misalnya, sangat berhati-hati dalam memungut pajak atau jizyah. Beliau tidak pernah membebani rakyat lebih dari kemampuannya. Bahkan, jika ada yang sakit, tua, atau lemah, Umar membebaskannya dari pungutan. Inilah contoh adil yang seharusnya menjadi pedoman bagi pemimpin masa kini dalam menerapkan sistem pajak.
Pada akhirnya, pajak bukan sekadar angka dan pungutan. Pajak adalah amanah, kepercayaan, sekaligus ujian keadilan. Umat Islam perlu memahami bahwa perdebatan tentang hukum dan dalil pajak tidak berhenti pada boleh atau tidak, tetapi pada bagaimana pajak itu dikelola. Bila dikelola dengan jujur, adil, dan penuh tanggung jawab, pajak bisa menjadi jalan keberkahan. Namun bila disalahgunakan, ia bisa berubah menjadi kutukan yang menghancurkan sebuah bangsa.