Perjalanan Isra dan Miraj merupakan peristiwa agung yang tidak hanya menyingkap kebesaran Allah, tetapi juga memperlihatkan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ. Perjalanan spiritual ini mengajarkan manusia tentang iman, ketaatan, serta arti sejati kedekatan seorang hamba dengan Rabb-nya. Di dalamnya terdapat hikmah, harapan, sekaligus ujian yang membuat hati bergetar antara rasa bahagia dan getir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan momen luar biasa ini dalam Alquran: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Isra Ayat 1)
Ayat ini adalah bukti nyata bahwa Perjalanan Isra Miraj bukan sekadar kisah sejarah, melainkan peristiwa yang wajib diyakini sebagai bagian dari aqidah. Ia menjadi penegas bahwa Allah mampu memperjalankan kekasih-Nya dengan kuasa yang melampaui logika manusia.
Kisah Perjalanan Malam yang Menggetarkan
Dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim, disebutkan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu diangkat ke langit hingga Sidratul Muntaha. Di sanalah beliau bertemu dengan para nabi terdahulu seperti Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa. Pertemuan itu bukanlah sekadar silaturahmi para nabi, tetapi simbol persatuan risalah yang berujung pada Islam sebagai penyempurna.
Namun, di balik kemuliaan itu, ada sisi getir yang penuh tantangan. Kaum Quraisy yang mendengar kisah tersebut justru menertawakan, mencemooh, bahkan mendustakan beliau. Mereka berkata dengan sinis, “Bagaimana mungkin engkau melakukan perjalanan sejauh itu hanya dalam semalam?” Inilah bukti bahwa kebenaran terkadang menimbulkan cemoohan, dan keimanan sejati diuji saat akal manusia tidak mampu menjangkaunya.
Tetapi di sisi lain, ada keteguhan hati para sahabat. Abu Bakar Ash-Shiddiq, dengan keyakinannya yang teguh, berkata: “Jika Muhammad yang mengatakannya, maka itu pasti benar.” Kalimat sederhana ini membuat beliau digelari Ash-Shiddiq, yang selalu membenarkan Nabi tanpa ragu. Sentimen ini memperlihatkan kontras antara mereka yang hatinya keras dengan mereka yang hatinya dipenuhi cahaya iman.
Isra Miraj dan Penetapan Shalat
Salah satu anugerah terbesar dari Perjalanan Isra Miraj adalah turunnya kewajiban shalat lima waktu. Pada awalnya, Allah memerintahkan lima puluh kali shalat sehari. Namun, setelah Nabi Musa memberikan nasihat kepada Rasulullah ﷺ agar memohon keringanan, akhirnya kewajiban itu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Meski jumlahnya lima, pahala yang dijanjikan tetap setara dengan lima puluh.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa penetapan shalat melalui peristiwa luar biasa ini menunjukkan betapa pentingnya ibadah shalat dalam Islam. Ia bukan sekadar ritual, melainkan tali penghubung langsung antara hamba dengan Allah. Tidak heran jika Rasulullah ﷺ menyebut shalat sebagai “tiang agama.”
Namun, di sinilah juga letak ujian yang membuat hati terasa pedih. Banyak orang yang meremehkan shalat, meninggalkannya, atau melaksanakannya tanpa kekhusyukan. Padahal, ia adalah hadiah istimewa dari Nabi Muhammad ﷺ kepada umatnya, yang beliau bawa dari langit ketujuh. Meninggalkan shalat sama saja dengan mengabaikan warisan paling berharga dari peristiwa agung ini.
Hikmah dan Pesan Moral dari Perjalanan Isra dan Miraj
Perjalanan Isra Miraj tidak hanya sebuah catatan sejarah, melainkan pelajaran spiritual yang menuntun umat Islam untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Peristiwa itu memperlihatkan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan bahwa mukjizat Nabi adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa perjalanan ini adalah bukti nyata kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ di hadapan seluruh makhluk. Beliau diangkat ke langit bukan sekadar untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi juga untuk menerima syariat utama yang akan menjadi pilar Islam hingga akhir zaman.
Ada kebahagiaan yang meluap ketika kita mengingat bagaimana Rasulullah ﷺ mendapat kehormatan agung ini. Namun, ada pula kesedihan mendalam ketika menyadari bahwa banyak umatnya yang justru melupakan pesan utama dari perjalanan tersebut. Bagaimana mungkin kita mengaku mencintai beliau jika anugerah shalat lima waktu saja sering kita abaikan?
Kisah ini mengajarkan, bahwa iman yang sejati bukanlah sekadar kata-kata, tetapi penerimaan penuh atas segala ketetapan Allah, meski terkadang akal manusia menolaknya. Sebagaimana Abu Bakar RA membenarkan tanpa ragu, demikian pula seharusnya seorang mukmin bersikap.