Bulan Rabiul Awwal menjadi bulan yang istimewa bagi umat Islam. Sebab di bulan ini lahir junjungan kita, Rasulullah Muhammad ﷺ, yang membawa cahaya bagi alam semesta. Maka tidak heran jika umat Islam di berbagai tempat menjadikan bulan ini sebagai momentum penuh keberkahan. Salah satu amalan yang kerap digaungkan adalah berbagi di Bulan Maulid Nabi.
Namun, berbagi bukan sekadar soal memberi harta. Ia adalah cermin kasih sayang, kepedulian, sekaligus bentuk cinta nyata kepada Rasulullah. Sayangnya, tidak semua orang memahami makna ini. Ada yang menjadikan Maulid sebatas pesta seremonial, penuh kemewahan dan pujian kosong, sementara fakir miskin tetap lapar, anak yatim tetap terpinggirkan. Inilah sisi buruk yang harus dihindari.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa berbagi, terlebih di Bulan Maulid Nabi, adalah jalan untuk membuktikan cinta sejati kepada sesama.
Makna Berbagi sebagai Wujud Syukur Atas Kelahiran Nabi
Kelahiran Rasulullah ﷺ adalah karunia terbesar bagi manusia. Dalam firman Allah berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya ayat 107). Ayat ini menjadi pengingat bahwa hadirnya Nabi adalah rahmat, dan rahmat itu harus diteladani. Salah satu wujud nyata dari rahmat ialah memberi, membantu, dan menolong mereka yang lemah.
Berbagi di Bulan Maulid Nabi berarti meneladani sifat dermawan Rasulullah. Diriwayatkan, Ibn Abbas berkata: “Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan ketika Jibril menemuinya.” (HR Bukhari) Jika di bulan Ramadan saja beliau begitu dermawan, bagaimana dengan bulan kelahiran beliau yang penuh berkah? Bukankah sudah seharusnya umat Islam memperbanyak amal kebaikan, termasuk berbagi rezeki?
Namun ada sisi lain yang perlu direnungkan. Banyak orang merayakan Maulid dengan menyalakan pesta besar, makanan melimpah hanya untuk mereka yang mampu hadir, sementara fakir miskin tidak diundang. Hal ini justru bertolak belakang dengan spirit Rasulullah. Beliau selalu mendahulukan kaum lemah, selalu menaruh perhatian pada anak yatim, selalu tersentuh oleh penderitaan umatnya. Maka jika berbagi di Bulan Maulid Nabi hanya berputar pada kalangan tertentu, maka ruhnya hilang, hanya tinggal kemeriahan kosong.
Menyentuh Hati dengan Amal Berbagi
Ada sesuatu yang berbeda ketika seseorang menunaikan sedekah atau hadiah pada bulan kelahiran Nabi. Hati terasa lebih hangat, jiwa terasa lebih lapang, seolah ada ikatan spiritual antara amal kecil yang dilakukan dengan cinta besar kepada Rasulullah. Itulah mengapa ulama-ulama seperti Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Husn al-Maqshid fi Amal al-Maulid menilai bahwa peringatan Maulid yang diisi dengan sedekah, dzikir, dan pengajaran sirah Nabi adalah kebaikan yang patut dilestarikan.
Berbagi di Bulan Maulid Nabi tidak harus berupa uang atau makanan besar. Senyuman tulus, kata-kata yang menenangkan hati, bahkan doa untuk saudara yang sedang susah pun termasuk berbagi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikit pun, meski hanya dengan engkau bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (HR Muslim).
Namun sayangnya, tidak sedikit orang yang menolak bahkan mencibir kegiatan santunan saat bulan kelahiran baginda SAW. Mereka menganggapnya bid’ah yang tidak pernah dicontohkan. Padahal, esensi yang diperdebatkan bukanlah memberi itu sendiri, melainkan tata cara dan bentuk acaranya. Jika memberi dilakukan dengan niat ikhlas, tanpa melanggar syariat, maka tentu ia menjadi amalan yang mendatangkan pahala. Sebab memberi adalah nilai universal dalam Islam yang diperintahkan kapan saja, apalagi dalam bulan penuh keberkahan seperti bulan kelahiran Baginda SAW.
Maulid sebagai Momentum Menyebarkan Rahmat
Apabila kita benar-benar ingin meneladani Rasulullah ﷺ, maka Maulid bukan sekadar peringatan kelahiran. Ia adalah ajakan untuk hidup dengan akhlak beliau. Rasulullah digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai uswah hasanah, teladan terbaik. Dan salah satu teladan terbesar beliau adalah kemurahan hati.
Dalam hadits, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR Ahmad). Maka jelaslah, berbagi di Bulan Maulid Nabi menjadi salah satu cara untuk meneladani beliau, dengan memberikan manfaat bagi orang lain.
Bayangkan seorang anak yatim yang merasakan kasih sayang dari umat Rasulullah karena menerima santunan. Bayangkan seorang ibu miskin yang tersenyum lega karena bisa makan kenyang dari bingkisan sederhana yang dibagikan. Semua itu bukan hanya membantu mereka, tetapi juga menjadi bukti bahwa umat Muslim masih meneruskan cinta yang diwariskan.
Namun, mari kita renungi pula sisi buruk yang kerap terjadi. Ada yang berbagi bukan karena ikhlas, tetapi demi citra. Ada yang memberikan santunan di depan kamera, menjadikannya konten semata, sementara hati tidak benar-benar tulus. Rasulullah telah mengingatkan: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.” (HR Muslim). Jika niatnya untuk pamer, maka yang diperoleh hanyalah pujian manusia, bukan pahala dari Allah.
Maka penting sekali mengembalikan makna memberi pada inti sejatinya seperti keikhlasan. Memberi bukanlah ajang memamerkan kebaikan, tetapi sarana menebar rahmat, sebagaimana Rasul sendiri menjadi rahmat bagi seluruh alam.