Kemiskinan Lebih Dekat Kepada Kufur

Kemiskinan Lebih Dekat Kepada Kufur

Dalam hidup ini, ada dua ujian besar yang mampu mengguncang fondasi iman manusia yakni kekayaan dan kemiskinan. Keduanya sama-sama berbahaya jika tidak disikapi dengan bijak. Namun dari keduanya, satu keadaan sering kali disebut lebih dekat kepada kehancuran spiritual yaitu kemiskinan.

Tidak sedikit orang yang salah memahami pernyataan ini. Mereka mengira bahwa menjadi miskin adalah sebuah aib atau dosa. Padahal bukan itu maksudnya. Kemiskinan tidak serta-merta menjadikan seseorang hina di mata Tuhan. Namun, kondisi hidup yang penuh kekurangan dan penderitaan bisa menjadi jalan tercepat bagi seseorang untuk kehilangan harapan, lalu perlahan menjauh dari nilai-nilai iman.

 

Kemiskinan Lebih Dekat Kepada Kufur

Rasulullah SAW sendiri pernah berdoa agar dilindungi dari ujian yang satu ini: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan.” (HR Abu Dawud)

Mengapa Nabi menyandingkan antara kufur dan kemiskinan dalam satu doa? Karena beliau sangat memahami bahwa saat perut kosong, akal bisa kabur. Ketika dapur tak lagi mengepul, banyak yang rela menukar kehormatan demi sesuap nasi. Dalam keadaan sempit, keimanan diuji di titik paling rapuh.

Bayangkan seorang ayah yang setiap hari pulang tanpa membawa apa-apa. Istri yang menahan lapar, anak-anak yang menangis karena belum makan. Dalam kepedihan seperti itu, mudah bagi seseorang untuk berpikir bahwa hidup ini tidak adil. Dan saat rasa kecewa tumbuh, iman bisa goyah.

Tentu, tidak semua orang yang miskin akan jatuh dalam kekafiran. Banyak pula yang tetap sabar, bahkan semakin mendekat kepada Allah di tengah kesempitan hidup. Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta di lapangan. Kemiskinan sering kali menjadi pemicu keputusasaan, kejahatan, hingga penolakan terhadap nilai-nilai agama.

Banyak kasus yang membuktikan hal ini. Remaja putus sekolah karena tidak mampu bayar iuran. Ibu rumah tangga terpaksa menjual tubuhnya demi membeli beras. Pemuda yang tergelincir ke dalam narkoba karena merasa tak punya masa depan. Semua itu lahir dari akar yang sama: kemiskinan yang tak tersentuh tangan kepedulian.

 

 

Namun di balik ujian yang berat itu, tersimpan pula kekuatan luar biasa. Orang-orang yang mampu bertahan dalam kemiskinan dengan hati yang bersih adalah orang yang luar biasa kuat imannya. Mereka tidak mengeluh, tidak mencaci takdir, bahkan tetap mampu tersenyum. Mereka menunggu dengan sabar saat Allah mengubah keadaan, sambil tetap berusaha dan berdoa.

Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 6)

Ayat ini bukan sekadar janji, tetapi pelipur bagi hati-hati yang letih. Bahwa setiap penderitaan ada batasnya. Bahwa tidak ada malam yang abadi. Namun untuk bisa sampai ke titik itu, seseorang harus memiliki iman yang teguh. Dan di sinilah tantangannya—karena tidak semua kuat.

Oleh sebab itu, Islam sangat mendorong umatnya untuk membantu sesama yang miskin. Zakat, infaq, sedekah, dan wakaf bukan hanya simbol kedermawanan, tetapi bentuk nyata dari solidaritas sosial. Ketika seorang kaya berbagi dengan ikhlas, ia tidak hanya menyelamatkan kehidupan saudaranya di dunia, tetapi juga menjaga imannya dari kehancuran.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman seseorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadist ini mengajarkan bahwa kepedulian adalah bagian dari keimanan. Ketika kita melihat saudara kita hidup dalam kemiskinan dan kita hanya diam, maka iman kita patut dipertanyakan. Kita mungkin tidak bisa mengubah seluruh dunia, tetapi kita bisa meringankan satu beban, menyeka satu air mata, dan menghidupkan kembali satu harapan.

Sayangnya, dalam masyarakat modern, kemiskinan sering kali dianggap sebagai kegagalan pribadi. Padahal, banyak dari mereka yang miskin bukan karena malas, tapi karena sistem yang tidak adil. Mereka bekerja keras, tapi upah tidak cukup. Mereka berusaha, tapi tidak diberi kesempatan. Dan saat kita memalingkan wajah, mereka perlahan-lahan tenggelam dalam gelapnya keputusasaan.

Ada juga yang menghakimi orang miskin sebagai tidak cukup berdoa atau kurang bersyukur. Padahal, kita tidak pernah tahu seberapa sering mereka sujud di malam hari. Justru banyak di antara mereka yang lebih dekat dengan Tuhan daripada kita yang hidup berkecukupan. Namun tetap saja, penderitaan yang panjang bisa memunculkan keraguan dalam hati siapa pun.

Itulah mengapa negara dan masyarakat harus hadir. Kemiskinan bukan hanya persoalan individu, tetapi masalah kolektif. Ketika satu bagian tubuh merasakan sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya. Begitu pula umat. Tidak akan pernah benar-benar sejahtera jika masih ada yang kelaparan di antara kita.

Akhirnya, mari kita pahami bahwa kemiskinan bukan dosa, tetapi bisa menjadi jalan menuju kufur jika tidak ditangani dengan bijak. Maka bagi mereka yang diuji, bersabarlah dan tetaplah berpegang pada tali Allah. Dan bagi mereka yang diberi kelapangan, jangan tutup mata dan telinga. Karena mungkin, keselamatan iman seseorang terletak di tangan kita—melalui uluran, melalui empati, melalui cinta.

Bagikan:

Related Post