Di tengah guncangan ekonomi yang merata, banyak orang mulai menarik diri. Harga kebutuhan melonjak, pekerjaan tak menentu, dan utang menumpuk. Situasi ini membuat sebagian besar masyarakat memilih untuk mengerem pengeluaran, bahkan untuk hal-hal yang sifatnya ibadah. Tak sedikit yang berkata dalam hati, “Bagaimana mungkin aku memberi, jika aku sendiri sedang kesulitan?” Tapi justru di tengah krisis, Ujian terbesar bagi kemanusiaan muncul: apakah kita masih mampu sedekah jika krisis ekonomi sedang terjadi dan ketika tak memiliki banyak?
Ujian Keimanan dalam Keterbatasan
Sedekah bukanlah amalan yang hanya cocok dilakukan saat dompet tebal. Justru, nilai spiritualnya terasa lebih dalam ketika dikerjakan dalam kondisi serba terbatas. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Satu dirham yang disedekahkan oleh orang miskin lebih utama daripada seratus ribu dirham dari orang kaya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini merobek paradigma yang salah: bahwa hanya orang kaya yang layak bersedekah. Kenyataannya, keberkahan sedekah tidak diukur dari jumlah, tetapi dari ketulusan hati dan keikhlasan memberi. Dalam sejarah Islam, kita mengenal kisah luar biasa dari para sahabat yang tetap berbagi meski mereka sendiri lapar. Salah satunya adalah kisah sahabat yang memberikan roti terakhir miliknya kepada seorang tamu, dan Allah pun menurunkan ayat dalam QS. Al-Hasyr: 9 yang memuji keutamaan orang yang mengutamakan saudaranya meski ia sendiri membutuhkan.
Namun dalam kenyataan, ketakutan sering menang. Krisis membuat banyak orang lebih waspada, lebih pelit, dan bahkan bersikap egois. “Utamakan keluarga sendiri dulu,” begitu alasan yang sering terdengar. Tak salah memang, tapi jika setiap orang hanya memikirkan dirinya, maka siapa yang akan menjadi perpanjangan tangan Allah di muka bumi ini?
Banyak yang lupa bahwa sedekah bukan sekadar amal sosial, tapi juga bentuk tauhid. Ketika seseorang memberi di saat sulit, ia sedang berkata kepada Tuhan: “Aku percaya, Engkau adalah sebaik-baik pemberi rezeki.”
Keajaiban di Tengah Keterjepitan
Ada kisah nyata dari seorang pedagang kecil yang bisnisnya nyaris bangkrut saat krisis pandemi melanda. Ia hanya memiliki sisa uang untuk membeli bahan dagangan dua hari ke depan. Namun, di tengah kebimbangannya, ia memilih menyisihkan sepuluh ribu untuk diberikan kepada tukang parkir tua yang biasa mangkal di pasar. Esoknya, tak disangka, ia mendapatkan pesanan besar dari pembeli luar kota. Dari sana, usahanya bangkit kembali.
Cerita seperti ini mungkin terdengar sederhana, tapi mengandung pelajaran besar. Bahwa keajaiban terkadang muncul justru setelah keberanian memberi. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, sedekah adalah cermin akhlak seseorang. Ia mengungkap seberapa dalam kepercayaannya kepada janji Allah, bukan kepada logika dunia.
Namun tetap ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Di masa krisis, tidak sedikit yang memanfaatkan kemurahan hati orang lain untuk kepentingan pribadi. Lembaga amal gadungan bermunculan, donasi diselewengkan, dan penerima bantuan dipilih berdasarkan kedekatan. Hal ini menciptakan kekecewaan dan membuat masyarakat skeptis terhadap kegiatan filantropi.
Bahkan lebih menyakitkan ketika melihat orang yang hidup berkecukupan, tapi tetap menutup mata dan enggan berbagi. Mereka menganggap masa krisis sebagai alasan untuk menumpuk, bukan membuka tangan. Kekayaan disembunyikan, sumbangan dikurangi, dan hati menjadi kaku. Padahal, rezeki yang ditahan bukanlah jaminan kelangsungan hidup. Justru bisa menjadi penyebab datangnya murka Tuhan.
Suara Ulama dalam Kegelapan Ekonomi
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menulis bahwa sedekah adalah perisai dari bencana. Ketika seseorang berbagi, ia sedang melindungi dirinya dari musibah yang tak tampak. Maka, dalam kondisi ekonomi yang tak menentu, sedekah bukan beban tambahan, tapi perisai spiritual yang tak ternilai.
Ulama kontemporer pun menyerukan pentingnya berbagi di masa sulit. Mereka menyebut sedekah sebagai bentuk solidaritas nyata antarumat. Ustaz Salim A. Fillah pernah menyampaikan bahwa justru dalam masa terjepit, hati manusia diuji: apakah ia hanya akan menyelamatkan diri, atau menarik orang lain agar ikut selamat?
Namun realitanya tak selalu seindah seruan para ulama. Banyak yang patah semangat setelah berbagi, tetapi tak kunjung melihat hasilnya. “Aku sudah memberi, tapi hidup tetap sulit,” begitu keluh mereka. Tapi bisa jadi, balasan itu bukan dalam bentuk harta, melainkan keselamatan dari keburukan yang tak terlihat. Mungkin ia selamat dari sakit parah, mungkin anaknya lolos dari kecelakaan, atau mungkin jiwanya lebih tenang dari orang lain.
Dalam Alquran Allah menegaskan bahwa akan melipatgandakan ganjaran bagi mereka yang menginfakkan harta di jalan-Nya. Tapi Allah pula yang menentukan bentuk dan waktu dari balasan tersebut. Maka sedekah bukan soal “kapan dibalas,” tapi soal “apakah kita cukup percaya”.