Sedekah Mencegah dari Kematian yang Buruk

Sedekah Mencegah dari Kematian yang Buruk

Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang bisa menghindar dari maut. Kematian adalah keniscayaan, namun bagaimana cara seseorang meninggal adalah sesuatu yang bisa berbeda-beda. Ada yang berpulang dalam keadaan damai, penuh doa dan keberkahan. Ada pula yang pergi dalam kondisi mengerikan, tanpa persiapan, tanpa iman, dan tanpa ampunan. Dalam perjalanan spiritual umat Islam, banyak riwayat dan pengalaman yang menunjukkan bahwa sedekah bukan hanya membawa keberkahan di dunia, tetapi juga dapat mencegah seseorang dari kematian yang buruk.

Keajaiban Amal di Ujung Usia

Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadist: “Sesungguhnya sedekah memadamkan kemurkaan Allah dan mencegah dari kematian yang buruk.” (HR Thabrani)

Hadist ini bukan sekadar rangkaian kata untuk memotivasi, tetapi merupakan pesan penting yang menyentuh langsung ketakutan terbesar manusia: meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Bukan jumlah harta yang diukur, tetapi bagaimana niat dan keikhlasan dalam memberi dapat menjadi pelindung di saat ajal datang tiba-tiba.

Namun kenyataannya, banyak orang yang mengabaikan nilai sedekah, terutama di masa muda atau ketika hidup sedang baik-baik saja. Mereka merasa masih punya banyak waktu. Sayangnya, kematian tidak pernah memberi tanda. Ia datang tanpa izin, tanpa aba-aba, kadang dalam tidur, kadang di tengah tawa.

Ada kisah nyata dari seorang pemuda yang sering menyisihkan uang jajannya untuk berbagi makanan kepada fakir miskin. Ia dikenal sederhana, rendah hati, dan tak pernah menuntut balasan. Suatu hari, dalam perjalanan pulang, ia terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Namun, secara ajaib, ia hanya mengalami luka ringan, sementara kendaraan yang ditumpanginya ringsek parah. Banyak yang percaya, itu adalah buah dari sedekah-nya yang ikhlas, yang mungkin telah mencegah malaikat maut mencabut nyawanya dengan cara yang mengenaskan.

Ketika Amal Dikhianati oleh Kesombongan

Sayangnya, tidak semua sedekah mendatangkan keberkahan. Ada pula yang menjadikannya alat pamer. Mereka memberi karena ingin dihormati, ingin tampil dermawan, bukan karena cinta pada sesama atau ketulusan kepada Allah. Dalam Alquran Allah memperingatkan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)…” (QS. Al-Baqarah: 264)

Shadaqah seperti ini justru bisa membawa celaka. Ia bukan amal penyelamat, tapi justru menjadi dosa tambahan. Ketika niat ternoda, maka doa dan harapan yang menyertainya pun kehilangan kekuatan. Jika seseorang berharap dilindungi dari wafat yang buruk, tapi amalnya dipenuhi riya dan pamrih, bagaimana mungkin ia berharap keselamatan dari sisi Allah?

Lebih tragis lagi, ada orang yang secara terang-terangan menghina mereka yang meminta-minta. Ia merasa lebih tinggi karena bisa memberi. Padahal, dalam pandangan agama, orang yang memberi seharusnya merasa sedang diberi kesempatan—bukan merasa lebih mulia. Ulama salaf mengatakan bahwa memberi adalah bentuk syukur, bukan alasan untuk menyombongkan diri.

Antara Takdir dan Upaya

Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah benar shadaqah bisa mencegah takdir kematian? Bukankah ajal sudah ditentukan oleh Allah sejak di Lauhul Mahfuz? Para ulama menjelaskan bahwa memang wafatnya seseorang adalah takdir yang tidak bisa dihindari, tapi cara dan kondisi meninggal bisa dipengaruhi oleh amal seseorang.

Imam Al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa ada takdir muallaq (bergantung) yang bisa berubah berdasarkan doa dan amal saleh. Maka, shadaqah, sebagai salah satu bentuk ibadah besar, berpotensi menunda atau mengubah cara meninggal seseorang. Dari yang semula mungkin meninggal dalam dosa, menjadi wafat dalam kebaikan.

Namun dalam praktiknya, banyak yang menyepelekan hal ini. Mereka merasa aman karena masih muda, sehat, dan kuat. Mereka menunda shadaqah, menunda taubat, dan menunda perbaikan diri. Mereka lupa bahwa banyak orang yang meninggal dalam keadaan tertawa di pesta, bukan dalam sujud di sajadah.

Di sisi lain, ada pula mereka yang semasa hidupnya sederhana, tidak dikenal, bahkan dipandang remeh. Tapi ketika meninggal, ratusan orang datang mengantar, tangis pecah dari hati yang tulus. Ketika ditelusuri, ternyata semasa hidupnya ia rajin memberi makan anak yatim, membantu tetangga tanpa diketahui orang lain, dan menyisihkan hartanya setiap Jumat. Mereka yang seperti inilah yang akan dilindungi dari wafat yang tercela, karena amalnya menjadi cahaya yang menuntunnya di alam kubur.

Bagikan:

Related Post