Sedekah dengan Niat yang Ikhlas

Sedekah dengan Niat yang Ikhlas

Di tengah hiruk pikuk kehidupan, di antara rutinitas yang tiada henti, banyak dari kita masih menyempatkan untuk berbagi. Ada yang memberi harta, ada yang menyumbangkan tenaga, dan ada pula yang mengulurkan waktu untuk mereka yang membutuhkan. Tapi satu hal, seberapa dalam niat kita dalam melakukannya? Apakah benar-benar karena ikhlas, atau hanya sekadar ingin terlihat dermawan di mata manusia?

Memberi Tanpa Mengharap Balas

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah karena mengharap ridha Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)

Ayat ini menjadi pondasi kuat tentang makna ikhlas dalam memberi. Bahwa hakikat dari sedekah bukanlah pujian manusia, bukan pula ucapan terima kasih. Melainkan semata-mata demi mendapatkan rida dari Allah. Tapi betapa seringnya niat itu tercampur. Ada harapan di balik amplop, ada gengsi di balik pemberian.

Seorang lelaki paruh baya pernah menyumbang besar untuk pembangunan masjid di desanya. Namanya pun dicetak di marmer, ditaruh di depan pintu utama. Awalnya ia bangga, merasa amalnya abadi. Namun beberapa tahun kemudian, namanya dihapus karena bangunan direnovasi. Ia marah besar. Ia merasa dikhianati. Inilah wajah dari amal yang niatnya tidak lurus. Jika pemberian kita sakit ketika tak lagi dikenang, mungkin di sanalah niat kita perlu diperiksa kembali.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Bukan besarnya pemberian yang akan dibalas, tetapi ke mana hati itu diarahkan saat memberi. Bahkan seteguk air, jika diberikan dengan ikhlas, bisa menjadi penyelamat di akhirat. Namun sedekah miliaran, jika diberikan karena ingin status sosial, bisa jadi hanya menjadi tumpukan amalan kosong.

Antara Ketulusan dan Ambisi Terselubung

Tak sedikit yang bersedekah untuk urusan duniawi. Ada yang berharap usahanya lancar, jodohnya datang, hutangnya lunas. Tidak salah berharap, tapi ketika sedekah dijadikan alat tukar, lalu kecewa saat tak kunjung mendapat hasil, itu berarti ada ambisi yang tersembunyi di balik kebaikan. Amal yang seharusnya memperhalus jiwa malah menjadi penguat pamrih.

Ada kisah menyayat hati dari seorang ibu miskin yang setiap Jumat menaruh uang receh di kotak amal masjid. Orang-orang menertawakannya. “Untuk apa seribu rupiah?” tanya mereka. Namun ia hanya tersenyum. “Mungkin ini kecil di mata manusia, tapi jika Allah terima, nilainya bisa lebih dari emas,” katanya.

Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, “Tulus adalah ketika seorang hamba tidak peduli apakah amalnya diketahui manusia atau tidak. Ia cukup tahu bahwa Allah melihatnya.”

Kutipan ini bukan hanya teori, tapi cambuk bagi mereka yang terlalu sibuk mencari pengakuan. Banyak yang merasa telah berbuat baik, tapi dalam diam menanti pujian. Padahal, semakin tulus seseorang, semakin sedikit pula kebutuhannya terhadap pengakuan. Ia memberi dan melupakan. Ia berbagi dan berlalu.

Sayangnya, di zaman sekarang, amal baik sering dipublikasikan. Setiap shadaqah disertai unggahan, lengkap dengan caption motivasi dan emoji. Tidak semua publikasi itu buruk, tapi jika kehendaknya kabur, jika tujuannya untuk tampil lebih saleh dari orang lain, maka apa yang didapat hanya kesenangan sesaat—bukan ganjaran dari langit.

Ujian Terbesar Ada di Dalam Diri

Banyak yang mampu memberi, tapi tidak semua mampu menjaga kehendak. Justru ketika seseorang merasa telah melakukan amal besar, saat itulah godaan riya datang. Hati berbisik, “Orang-orang perlu tahu kamu dermawan.” Dan jika itu diikuti, ikhlas pun sirna perlahan.

Imam Ibn Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin mengatakan bahwa ketulusan itu seperti mencari semut hitam di atas batu hitam di malam gelap. Sulit, tersembunyi, tapi nyata. Maka, menjaga kehendak bukan soal satu waktu. Ia adalah perjuangan sepanjang amal dilakukan.

Betapa indahnya jika seseorang bisa memberi dengan tenang, tanpa suara, tanpa jejak, kecuali yang tercatat oleh malaikat. Betapa damainya jika hati merasa cukup dengan pandangan Allah saja. Dan betapa dahsyatnya kekuatan sedekah yang lahir dari keheningan dan ketulusan.

Namun tidak semua orang diberi kemewahan itu. Ada yang sudah biasa memberi, tapi tetap merasa kosong. Ada pula yang berhenti bersedekah karena merasa tak dilihat manusia. Mereka belum memahami bahwa balasan terbaik bukanlah decak kagum manusia, tapi senyapnya keberkahan yang datang tiba-tiba—dalam bentuk kesehatan, ketenangan, atau kemudahan hidup yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

Bagikan:

Related Post