Keutamaan Sedekah dengan Hal Terbaik

Keutamaan Sedekah dengan Hal Terbaik

Dalam hidup yang penuh ketidakpastian, manusia sering kali mencari jalan untuk merasa lebih dekat dengan Tuhannya. Salah satu jalan itu adalah sedekah. Tapi bukan sembarang memberi. Ada nilai lebih yang hanya bisa lahir jika apa yang diberikan berasal dari sesuatu yang paling berharga. Sedekah dengan yang terbaik bukan hanya menunjukkan ketulusan, tetapi juga menguji sejauh mana seseorang bisa menaklukkan ego dan rasa memiliki.

Memberi yang Paling Dicintai

Allah SWT berfirman dalam alquran: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…” (QS. Ali Imran: 92)

Ayat ini menampar hati dengan jujur. Ia tidak sekadar memerintahkan untuk berbagi, tetapi meminta sesuatu yang lebih dalam—memberikan apa yang paling dicintai. Itulah standar terbaik dalam berderma menurut Islam. Sayangnya, banyak orang justru memilih sebaliknya. Mereka memberikan baju yang sudah tidak layak pakai, makanan yang hampir kedaluwarsa, atau uang receh yang bahkan tidak mereka butuhkan.

Kita lupa bahwa nilai sedekah tidak hanya terletak pada objeknya, tetapi juga pada pengorbanan dan keikhlasan. Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah menyuruh umatnya untuk asal memberi. Beliau bersabda dalam sebuah hadist: “Sebaik-baik sedekah adalah dari kelebihan harta, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.” (HR Bukhari)

Namun dalam praktiknya, banyak yang bersedekah agar terlihat dermawan, bukan karena ingin menggapai rida Allah. Mereka menyumbang besar di hadapan kamera, tapi pelit di rumah sendiri. Mereka membeli pujian, bukan menyemai keberkahan.

Seorang wanita kaya di kota besar dikenal sering menyumbang ke panti asuhan. Tapi diam-diam, ia memperlakukan pembantu rumah tangganya dengan kasar, bahkan tidak digaji layak. Ia memberi jutaan rupiah ke luar rumah, tapi menahan ribuan rupiah dari orang yang bekerja untuknya setiap hari. Di sinilah muncul pertanyaan tajam: benarkah itu sedekah terbaik, atau hanya topeng kebaikan?

Ketulusan yang Tertanam dalam Keikhlasan

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa shadaqah terbaik adalah yang diberikan secara diam-diam, dari harta yang paling dicintai, dan kepada orang yang paling membutuhkan. Dalam tulisan itu, ia menekankan bahwa bukan banyaknya yang penting, melainkan kualitas batin saat memberi.

Namun kualitas batin ini kerap dikalahkan oleh ego. Banyak yang berbagi hanya karena ingin disebut baik, bukan karena benar-benar peduli. Mereka berlomba-lomba mencetak nama di plakat masjid, tapi tak pernah menyapa tetangganya yang kelaparan.

Di sisi lain, ada seorang buruh harian yang setiap Jumat selalu menyisihkan sebagian kecil dari upahnya untuk membeli air galon dan memberikannya ke masjid. Bagi sebagian orang, itu mungkin tampak kecil. Tapi bagi Allah, bisa jadi itu donasi terbaik, karena diberikan dari hasil keringat sendiri, tanpa paksaan, tanpa pamrih.

Hadist lain dari Rasulullah ﷺ menyebutkan: “Satu dirham yang dishadaqahkan oleh orang miskin lebih baik dari seratus dirham yang diberikan oleh orang kaya.” (HR. Ahmad)

Hadist ini memperkuat fakta bahwa nilai sebuah pemberian bukan ditentukan oleh besar kecilnya nominal, tapi oleh seberapa besar pengorbanan dalam memberikannya. Kadang, yang sedikit justru paling mulia karena penuh makna.

Antara Godaan Dunia dan Ketulusan Hati

Namun tidak semua orang mampu bertahan dalam niat yang murni. Dunia terus menawarkan penghargaan bagi yang terlihat memberi. Nama disanjung, foto tersebar, bahkan disematkan gelar “dermawan”. Di tengah sorotan itu, sangat mudah bagi niat untuk menyimpang. Shadaqah menjadi ajang pamer, bukan ladang amal.

Lebih parah lagi, ada yang bersedekah sambil menyakiti. Memberikan bantuan lalu mengungkitnya, memberi makanan sambil menghina, atau mencatat amal lalu menyebarkannya ke mana-mana. Tindakan seperti ini merusak nilai terbaik dari shadaqah itu sendiri. Dalam Alquran, Allah memperingatkan dengan tegas:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya…” (QS. Al-Baqarah: 264)

Ayat ini adalah alarm bagi siapa pun yang memberi. Bahwa jika niatnya tercemar, maka pahala pun bisa lenyap seketika. Maka siapa pun yang ingin menggapai keutamaan sedekah terbaik, harus terlebih dahulu membersihkan hatinya. Ia harus bertanya: “Untuk siapa aku memberi?”

Ada ironi menyakitkan di tengah masyarakat. Mereka yang punya lebih, sering kali merasa tak perlu memberi. Mereka yang tak punya apa-apa justru berlomba mencari kesempatan untuk memberi. Dalam keadaan sempit, mereka tetap rela berbagi, walau hanya sebutir kurma atau selembar seribu rupiah.

Bagikan:

Related Post