Namanya dikenang dalam keheningan yang penuh haru. Khadijah binti Khuwailid, wanita mulia yang tidak hanya menjadi cinta pertama Rasulullah, tetapi juga menjadi pelita pertama yang menerangi langkah-langkah awal Islam. Kehidupannya bukan sekadar cerita tentang cinta, tetapi tentang pengorbanan yang tak bertepi, tentang keimanan yang teguh, dan tentang wafat yang meninggalkan jejak duka mendalam di hati Rasul terakhir umat manusia.
Dari balik tembok rumahnya yang teduh, Khadijah menyaksikan seorang lelaki muda yang penuh kejujuran, menjalani hidup sebagai saudagar yang tak pernah menipu. Lelaki itu bernama Muhammad. Dalam diam, ia mengagumi kepribadiannya. Bukan karena harta, bukan pula karena status, tetapi karena keluhuran akhlak yang sulit dicari tandingannya di Mekkah kala itu.
Perjalanan Khadijah Sampai Wafat
Khadijah, meski lebih tua, tidak ragu untuk meminang Muhammad melalui perantara. Dan di sinilah perjalanan mereka dimulai. Sebuah ikatan yang dibangun di atas cinta yang tulus dan keyakinan yang kuat. Bersama, mereka menjalani hari-hari dengan penuh kasih, menghadapi dunia dengan tenang, dan saling menopang dalam suka maupun duka.
Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira, dan Rasulullah pulang dengan tubuh gemetar dan wajah yang pucat, Khadijah adalah orang pertama yang mendekapnya. Dengan lembut ia menenangkan sang suami yang ketakutan. Ia tidak meragukan apa pun. Tanpa bertanya terlalu banyak, ia hanya berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu. Engkau menyambung tali silaturahim, membantu orang yang susah, memuliakan tamu, dan menolong orang yang tertimpa musibah.”
Kata-katanya menjadi kekuatan pertama dalam perjuangan Nabi Muhammad. Iman Khadijah bukan iman yang ditanam setelah bukti datang. Iman itu tumbuh sejak dari kepercayaan, dari cinta yang jujur, dari pengenalan yang mendalam terhadap sosok yang dicintainya. Ia adalah perempuan pertama yang beriman kepada Islam, yang mempersembahkan seluruh hidupnya demi tegaknya risalah kenabian.
Namun hidup tak selalu berjalan lembut seperti awal pertemuan mereka. Cobaan demi cobaan datang. Khadijah harus merelakan hartanya habis demi membiayai perjuangan dakwah. Ia menyerahkan rumahnya, menyedekahkan kekayaannya, dan mengorbankan kenyamanan yang dulu ia miliki sebagai saudagar terkemuka. Semua itu dilakukan tanpa keluhan, tanpa air mata yang diumbar.
Masa-masa paling kelam terjadi ketika Rasulullah dan para pengikutnya diboikot oleh Quraisy. Mereka diasingkan di lembah tandus, tanpa makanan, tanpa pasokan, selama tiga tahun. Di usia senja, Khadijah ikut merasakan kelaparan. Ia menyaksikan anak-anak kelaparan, sahabat-sahabat suaminya menahan lapar, dan tubuhnya sendiri semakin melemah.
Namun semangatnya tak padam. Ia tetap mendampingi Rasulullah. Tak sedikitpun keimanannya goyah. Padahal tubuhnya mulai rapuh, dan kesehatannya semakin menurun. Tidak banyak orang tahu, bahwa saat banyak sahabat yang masih ragu, Khadijah telah memberi seluruh dirinya tanpa syarat.
Lalu datanglah waktu itu. Ketika tubuhnya tidak lagi mampu menahan sakit. Di usia 65 tahun, Khadijah wafat dalam pelukan cinta, dalam genggaman tangan Rasulullah yang berlinang air mata. Tahun itu dikenang sebagai tahun kesedihan. Rasulullah kehilangan pelindung utama, tempat ia mencurahkan isi hati, perempuan yang selalu percaya kepadanya ketika dunia belum percaya.
Rasulullah SAW bersabda: “Dia adalah perempuan terbaik di zamannya.” (HR Bukhari)
Kehilangan Khadijah adalah luka yang bahkan waktu pun tak sepenuhnya mampu menyembuhkan. Meski beliau kemudian menikah lagi, nama Khadijah selalu tersimpan di relung hati terdalam. Setiap kali Rasulullah menyebut namanya, matanya berkaca-kaca. Setiap hadiah datang, beliau menyuruh agar diberikan kepada sahabat-sahabat lama Khadijah. Dan ketika Aisyah bertanya tentang hal itu, Rasulullah menjawab, “Dia adalah wanita yang beriman kepadaku saat semua orang mendustakanku, dia yang membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, dan dia yang membantuku dengan hartanya saat semua orang menolak.”
Khadijah wafat tanpa melihat Islam jaya. Ia tidak menyaksikan pembebasan Mekkah, tidak merasakan kemenangan kaum Muslimin, tidak menikmati hasil dari perjuangannya. Namun ia pergi dalam keadaan yang paling mulia. Namanya diabadikan oleh malaikat, disebut-sebut oleh langit. Bahkan Jibril pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, “Sampaikan salam dari Allah kepada Khadijah.” Rasulullah pun menjawab dengan haru, “Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan kepada-Nya juga aku sampaikan salam.”
Perjalanan Khadijah berakhir di dunia, tapi pengaruhnya abadi. Ia bukan hanya istri seorang Nabi. Ia adalah saksi sejarah awal Islam, cahaya pertama dari rumah tangga kenabian, dan contoh nyata bahwa cinta sejati adalah tentang keteguhan, pengorbanan, dan keyakinan yang tidak pernah padam.