Dalam sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW, terdapat satu fase yang begitu menyayat hati, masa yang dikenal sebagai ‘Amul Huzn, atau Tahun Kesedihan. Tahun itu bukan sekadar penggalan waktu dalam hitungan kalender Hijriah. Ia adalah periode yang menggores luka mendalam dalam hati Nabi terakhir umat manusia. Tahun yang memperlihatkan bagaimana seorang utusan Tuhan pun diuji dengan kehilangan, kesendirian, dan duka yang menyesakkan dada.
Kesedihan Nabi tidak datang tiba-tiba. Ia hadir perlahan, tapi menghantam dengan keras. Dalam waktu berdekatan, dua orang terkasih yang selama ini menjadi pilar utama perjuangan beliau wafat. Pertama, sang istri tercinta Khadijah binti Khuwailid, perempuan pertama yang memeluk Islam dan menjadi pelindung setia bagi Nabi sejak awal risalah turun. Kedua, pamannya, Abu Thalib, sosok yang selama ini menjadi perisai politik dan sosial bagi Nabi dari tekanan kaum Quraisy.
Tahun Kesedihan Baginda Nabi Muhammad
Khadijah bukan hanya istri. Ia adalah tempat Nabi mencurahkan keresahan, tempat beliau menemukan ketenangan saat wahyu pertama turun. Ia adalah penopang, teman sejati dalam perjuangan, dan penyokong materi dakwah. Ketika Khadijah wafat, langit seakan runtuh dalam hati Rasulullah. Duka yang datang bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehilangan seseorang yang telah mengorbankan seluruh hidupnya demi mendukung Islam.
Abu Thalib, meskipun tidak pernah secara formal masuk Islam, adalah sosok yang berdiri gagah membela keponakannya. Ia menghadapi celaan dari kaumnya sendiri, melindungi Muhammad dengan segenap yang ia punya. Ketika Abu Thalib wafat, perlindungan terhadap Nabi pun ikut menghilang. Tekanan dari Quraisy semakin membabi buta. Mereka menyakiti, mengusir, bahkan mencoba membunuh Nabi tanpa rasa takut. Semua karena pelindung itu sudah tiada.
Dua kehilangan besar dalam waktu yang sangat berdekatan adalah pukulan berat bagi Rasulullah SAW. Tidak heran jika tahun itu dinamakan sebagai Tahun Kesedihan. Namun di tengah guncangan itu, beliau tidak lantas menyerah. Justru dari luka itulah muncul kekuatan yang lebih dalam. Beliau tidak memaki takdir, tidak pula mempertanyakan keputusan Allah. Justru beliau semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Rasulullah bersabda dalam hadistnya: “Sesungguhnya besarnya balasan tergantung pada besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka.” (HR Tirmidzi)
Hadist ini menjadi pelipur lara bagi siapa saja yang sedang berada dalam titik terendah. Jika Nabi saja diuji dengan begitu berat, siapa kita yang berharap hidup tanpa badai? Kesedihan yang datang dalam hidup bukan selalu tanda murka, bisa jadi itu adalah cara Allah membentuk jiwa yang lebih tangguh.
Namun bukan berarti Nabi tidak pernah merasa hancur. Beliau manusia, dengan perasaan yang nyata. Dalam salah satu riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah menangis di atas kubur Khadijah. Air mata jatuh, bukan karena lemah, tetapi karena cinta yang dalam dan kehilangan yang nyata. Begitu juga saat berdakwah ke Thaif, beliau dilempari batu hingga berdarah, lalu berdoa dengan nada putus asa namun penuh harap.
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadu lemahnya kekuatanku, kurangnya daya upayaku, dan hinanya diriku di hadapan manusia…”
Tangisan itu, doa itu, menjadi saksi bahwa Rasulullah pun merasakan getirnya kehidupan. Dan dari sana kita belajar bahwa tidak mengapa bersedih, asal tidak larut. Tidak mengapa menangis, asal tetap yakin bahwa Allah akan memberikan ganti yang lebih baik.
Tahun Kesedihan menjadi titik balik. Di tengah keterpurukan itu, Allah membuka langit. Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi tidak lama setelahnya, seolah menjadi pelipur bagi jiwa yang sedang terluka. Dalam peristiwa itulah, Rasulullah naik ke langit, bertemu para Nabi, melihat surga dan neraka, dan menerima perintah salat lima waktu. Sebuah kehormatan agung, di tengah luka yang masih basah.
Kisah ini memberikan pelajaran mendalam bagi kita. Bahwa setiap duka yang dalam, selalu disertai dengan harapan yang datang. Bahwa di balik kehilangan, ada penguatan jiwa. Dan bahwa kesedihan bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari kebangkitan yang lebih kokoh.
Kesedihan Rasulullah menjadi inspirasi bahwa ujian bukan hanya milik orang biasa. Bahkan seorang Nabi pun diuji, bahkan mungkin lebih berat. Namun justru dari sanalah kita bisa mengambil pelajaran: bahwa cinta sejati tidak mati, bahwa iman yang kuat lahir dari badai kehidupan, dan bahwa setiap manusia—siapa pun dia—berhak menangis, selama air mata itu tidak membuatnya berpaling dari Allah