Setiap aktivitas ekonomi dalam Islam bukan hanya bernilai duniawi, tapi juga memiliki dimensi spiritual. Termasuk dalam aktivitas jual beli yang melibatkan keuntungan, modal, dan perputaran uang. Namun, di balik kesibukan para pedagang mengejar laba, ada satu kewajiban yang sering kali terlupakan yakni zakat perdagangan. Ini bukan sekadar instrumen keuangan umat, tetapi bentuk pembersih harta dan penguat keadilan sosial.
Islam tak pernah melarang umatnya menjadi kaya. Bahkan Rasulullah SAW sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi nabi. Namun, dalam kekayaan itu ada ujian dan kewajiban. Zakat atas hasil perdagangan menjadi cermin tanggung jawab sosial para pelaku usaha terhadap sesamanya.
Saat bisnis tumbuh, omzet naik, dan keuntungan berlipat, muncul perasaan memiliki yang besar terhadap harta. Di sinilah zakat perdagangan menjadi pengingat bahwa tidak semua yang kita miliki adalah hak kita. Ada bagian yang Allah titipkan untuk kaum fakir dan mustahik, yang harus kita keluarkan tanpa syarat dan tanpa pamrih.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS At-Taubah: 103)
Ayat ini menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban teknis. Ia membersihkan hati dari kerak rakus, menyucikan usaha dari noda kezaliman, dan melindungi bisnis dari potensi kerugian yang tak kasat mata.
Zakat Perdagangan dalam Praktik Nyata
Zakat ini diwajibkan atas harta yang diperoleh dari aktivitas bisnis, baik berupa barang dagangan maupun jasa. Selama modal dan keuntungan yang diperoleh telah mencapai nishab—yakni senilai 85 gram emas—dan telah dimiliki selama satu tahun hijriyah (haul), maka zakat wajib dikeluarkan sebesar 2,5%.
Contohnya, seorang pemilik toko elektronik memiliki stok barang, kas tunai, dan piutang dagang yang jika dikalkulasikan total nilainya mencapai Rp100 juta. Maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar Rp2.500.000 dari total nilai tersebut. Tidak perlu menunggu omzet miliaran, karena Islam menilai kemampuan zakat dari nilai kekayaan yang berkembang, bukan besarnya nama atau popularitas usaha.
Namun, praktik ini belum merata. Banyak pelaku UMKM hingga pebisnis besar yang menunda atau bahkan abai. Ada yang beralasan belum mengerti cara menghitungnya. Ada pula yang bersembunyi di balik narasi bahwa bisnisnya belum stabil. Padahal Rasulullah SAW telah memperingatkan:
“Siapa yang diberi kekayaan oleh Allah, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat hartanya akan dijadikan ular berbisa yang melilit lehernya.” (HR Bukhari)
Peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi menggugah kesadaran bahwa harta yang tidak dizakati bisa menjadi bumerang. Ia menjerat pemiliknya, membawa kesempitan batin, bahkan menjadi sebab musibah dalam usaha.
Sebaliknya, bagi yang ikhlas menunaikan zakat dari hasil dagangnya, akan merasakan keajaiban yang sulit dijelaskan dengan logika biasa. Usaha yang sederhana menjadi berkembang. Pelanggan datang tanpa henti. Dan di saat bisnis lain terseok, usahanya justru tetap berdiri. Semua itu bukan karena strategi, tapi karena keberkahan dari berbagi.
Antara Godaan Dunia dan Kewajiban Akhirat
Dalam dunia usaha, ada pasang surut yang tak bisa dihindari. Kadang laris manis, kadang sepi pembeli. Di sinilah ujian terbesar bagi pebisnis Muslim: mampukah ia tetap jujur, adil, dan menunaikan zakat saat sedang untung?
Sering kali, keuntungan disimpan, kerugian diumbar. Laporan keuangan dimanipulasi untuk menghindari kewajiban. Bahkan ada yang berani berkata, “Ini uang saya, saya kerja keras mencarinya. Kenapa harus dibagi?”
Pernyataan seperti ini menyedihkan. Karena seolah lupa bahwa setiap keuntungan adalah titipan. Bahwa setiap pelanggan yang datang, setiap transaksi yang sukses, semua terjadi atas izin Allah. Dan Allah tidak meminta semuanya dikembalikan. Hanya 2.5%—jumlah yang sangat kecil, namun besar nilainya bagi mereka yang membutuhkan.
Ada juga yang merasa cukup dengan sedekah, lalu mengabaikan zakat. Padahal zakat adalah kewajiban, sedangkan sedekah adalah sunnah. Tidak bisa diganti. Tidak bisa ditukar. Bahkan sedekah sebesar apa pun tidak bisa menutup kewajiban zakat yang belum ditunaikan.
Zakat perdagangan pun bukan hanya untuk pedagang pasar atau pemilik toko. Di era digital ini, pelaku bisnis online, reseller, dropshipper, bahkan freelancer yang memperoleh penghasilan dari penjualan jasa dan produk, juga termasuk dalam golongan yang wajib memperhatikan zakat ini jika telah memenuhi syaratnya.
Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak awal membangun usaha. Bukan setelah sukses besar, tapi justru sejak omzet mulai terbentuk. Karena semakin dini seseorang membiasakan zakat, semakin ringan ia menjalaninya, dan semakin terbuka pintu-pintu rezeki untuknya.
“Allah berfirman: Wahai anak Adam, berinfaklah, maka Aku akan berinfak kepadamu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini menjadi bukti bahwa memberi tidak akan pernah merugikan. Bahwa zakat bukan hanya alat bantu sosial, tapi juga jaminan spiritual bagi pelaku usaha. Jika Allah yang menjamin rezeki, maka siapa yang bisa menandinginya?
Sebaliknya, bagi yang terus menahan, mungkin sesekali terlihat untung. Tapi jangan heran jika usahanya terasa berat, hatinya sempit, dan hidupnya dipenuhi kekhawatiran. Karena keberkahan tidak bisa dibeli dengan uang. Ia hanya datang pada harta yang bersih, hati yang jujur, dan jiwa yang mau berbagi.