Mengenal Dekat Zakat Peternakan

Mengenal Dekat Zakat Peternakan

Di antara berbagai bentuk harta yang wajib dizakati dalam Islam, ada satu jenis yang sejak zaman Nabi Muhammad SAW telah dikenal luas—yaitu zakat peternakan. Bagi sebagian orang, zakat ini mungkin terdengar asing, karena dominasi pembicaraan zakat kerap terpusat pada emas, uang tunai, atau hasil perdagangan. Padahal, dalam masyarakat agraris yang juga menggantungkan hidup dari hewan ternak, zakat peternakan menjadi sangat relevan.

Peternakan bukan hanya aktivitas ekonomi biasa. Ia adalah simbol keberlangsungan hidup, sumber gizi, dan juga ladang amal. Namun, tidak semua peternak memahami bahwa hewan yang mereka rawat dan ternakkan selama bertahun-tahun dapat memiliki dimensi spiritual. Zakat peternakan hadir sebagai penyucian kekayaan dan bentuk solidaritas antara yang kuat dan yang lemah.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS At-Taubah: 103)

Ayat ini mempertegas bahwa harta, dalam bentuk apapun termasuk hewan ternak, mengandung hak orang lain di dalamnya. Zakat peternakan bukan hanya tentang memberi, tetapi tentang membersihkan jiwa dari kerak keserakahan dan rasa memiliki yang berlebihan.

Dasar dan Ketentuan Zakat Peternakan

Zakat peternakan dikenakan atas hewan ternak tertentu, yaitu unta, sapi, dan kambing (termasuk domba). Ketentuan ini didasarkan pada hadist Rasulullah SAW yang bersabda:

“Tidak ada zakat atas hewan ternak kecuali setelah mencapai nishab.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nishab untuk masing-masing hewan pun berbeda. Unta wajib dizakati jika telah mencapai lima ekor, sapi 30 ekor, dan kambing 40 ekor. Jika jumlah hewan belum mencapai nishab, maka zakat peternakan tidak wajib. Namun, jika sudah melebihinya dan dipelihara selama satu tahun, maka kewajiban itu tidak bisa dihindarkan.

Sayangnya, banyak peternak di pedesaan yang belum memahami konsep ini. Beberapa mengira bahwa hanya pengusaha besar atau pemilik lahan luas yang harus membayar zakat. Padahal Islam sangat memperhatikan keadilan. Zakat peternakan tidak mengenal kelas ekonomi. Ia bergantung pada jumlah hewan dan durasi kepemilikan.

Ada pula yang beralasan bahwa hewan ternaknya tidak dijual, hanya untuk kebutuhan pribadi. Namun, selama hewan tersebut dipelihara untuk berkembang biak atau diternakkan sebagai sumber penghasilan, maka tetap wajib dizakati. Bahkan jika hewan dipelihara bersama dalam satu kelompok masyarakat, zakat peternakan tetap harus diperhitungkan dan ditunaikan.

Tidak hanya itu, perhitungan zakat peternakan juga memiliki dimensi moral. Hewan yang sehat, diberi makan, dan dirawat dengan baik mencerminkan keberkahan harta. Sementara peternak yang enggan berbagi, yang menyembunyikan jumlah ternaknya, bisa saja terlihat kaya di dunia, tapi sengsara di akhirat.

Dampak Sosial Zakat Peternakan

Zakat peternakan tidak hanya memberikan manfaat spiritual bagi pemiliknya, tetapi juga dampak sosial yang besar bagi masyarakat sekitarnya. Hewan ternak adalah aset yang memiliki nilai tinggi. Ketika zakat dalam bentuk hewan diberikan kepada yang membutuhkan, maka bukan hanya nutrisi yang dibagikan, tetapi juga potensi usaha baru bagi penerima zakat.

Bayangkan satu keluarga dhuafa menerima satu ekor kambing dari hasil zakat peternakan. Dari situ, mereka bisa memulai beternak kecil-kecilan, yang hasilnya nanti akan menyelamatkan mereka dari kemiskinan. Inilah keajaiban berbagi yang tidak selalu hadir dalam bentuk uang, tetapi bisa mengubah kehidupan secara perlahan dan berkelanjutan.

Namun di sisi lain, masih banyak lembaga zakat dan pemerintah daerah yang belum optimal mensosialisasikan pentingnya zakat peternakan. Padahal, potensi zakat dari sektor ini sangat besar, khususnya di wilayah-wilayah yang mengandalkan peternakan sebagai mata pencaharian utama.

Bahkan ironisnya, di beberapa daerah, hewan ternak berlimpah tetapi kemiskinan tetap tinggi. Ini terjadi karena zakat peternakan tidak ditunaikan sebagaimana mestinya. Para pemilik enggan memberikan hewan terbaik, memilih menyerahkan yang lemah atau cacat, padahal Rasulullah melarang memberikan zakat dari harta yang buruk.

“Janganlah kalian mengambil zakat dari harta-harta yang jelek.” (HR Bukhari)

Hadist ini menjadi teguran bagi mereka yang menganggap zakat hanya sebagai kewajiban administratif. Padahal hakikatnya adalah ketulusan memberi yang mencerminkan kesadaran akan kepemilikan sejati.

Zakat peternakan juga menjadi indikator bahwa Islam bukan hanya agama ibadah ritual, tapi juga agama sosial. Ia mengatur bagaimana keseimbangan kekayaan terjadi. Dengan zakat ini, para peternak tidak hanya memberi makan pada orang miskin, tapi juga membuka harapan dan menghapus kesenjangan.

Namun kita tidak menutup mata bahwa masih ada kekhawatiran di kalangan peternak. “Kalau saya zakatkan, nanti jumlah hewan saya berkurang,” atau “Bagaimana kalau habis-habisan?” Ketakutan ini wajar, tetapi tidak berdasar. Karena zakat tidak akan membuat seseorang miskin. Justru dengan menunaikan zakat peternakan, Allah menjamin akan menambah keberkahan dalam rezeki.

Rasulullah SAW bersabda: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR Muslim)

Jika sedekah saja tidak mengurangi harta, maka bagaimana dengan zakat yang justru lebih besar pahalanya? Ini adalah jaminan spiritual yang tidak bisa dihitung secara logika dunia, tetapi nyata dalam kehidupan banyak peternak yang istiqomah menunaikan zakatnya.

Bagikan:

Related Post