Di antara berbagai jenis zakat yang dikenal dalam syariat Islam, zakat rikaz sering kali menjadi pembahasan yang terlupakan. Padahal, zakat ini memiliki keunikan tersendiri, karena menyangkut harta karun atau temuan harta benda yang tersembunyi dan bukan berasal dari aktivitas perdagangan atau investasi. Dalam dunia modern, keberadaan zakat rikaz bisa saja masih terjadi, tetapi belum sepenuhnya dipahami secara luas oleh masyarakat.
Zakat rikaz merujuk pada harta temuan yang diduga berasal dari peninggalan zaman dahulu, seperti emas, perak, atau benda berharga lainnya yang ditemukan di dalam tanah atau tempat tersembunyi. Dalam literatur fikih klasik, harta ini sering dikaitkan dengan peninggalan kaum terdahulu, seperti Romawi, Persia, atau kerajaan kuno. Harta tersebut bukan hasil usaha, bukan warisan, dan bukan pula hasil rampasan. Karena itu, Islam memiliki ketentuan khusus dalam memperlakukannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Pada rikaz (harta temuan), ada kewajiban zakat seperlima (20%).” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini menjadi dasar hukum utama zakat rikaz. Artinya, siapa pun yang menemukan harta karun atau barang berharga tersembunyi, maka ia wajib mengeluarkan 20% dari total nilai temuan tersebut sebagai zakat, tanpa menunggu haul (satu tahun kepemilikan) atau nishab (batas minimum).
Karakteristik Zakat Rikaz
Zakat rikaz memiliki perbedaan mendasar dari jenis zakat lainnya. Jika zakat perdagangan atau zakat pertanian menuntut adanya usaha atau aktivitas ekonomi, maka zakat rikaz justru datang dari harta yang ditemukan secara tidak disengaja. Inilah yang membuatnya memiliki nilai emosional yang tinggi. Di satu sisi, penemuan itu bisa membawa kegembiraan luar biasa karena mendadak menjadi kaya. Namun di sisi lain, bisa juga menjadi ujian kejujuran dan ketakwaan.
Dalam kehidupan nyata, tidak sedikit orang yang mendadak menemukan barang-barang berharga di kebun, pekarangan, bahkan di lokasi pembangunan. Ada yang segera melaporkannya dan mengeluarkan zakat rikaz sebagaimana mestinya. Namun ada pula yang menyembunyikannya, menjual secara diam-diam, atau menyimpannya untuk kepentingan pribadi.
Tindakan menyembunyikan zakat rikaz menunjukkan lemahnya keimanan. Padahal, harta tersebut bukan hasil keringat sendiri. Ia datang sebagai ujian, apakah sang penemu bersedia memberikan hak Allah atau tidak. Dan ujian ini tidak mudah. Godaan dunia, rasa tamak, serta ketakutan kehilangan kekayaan sering kali menutupi hati untuk tunduk pada perintah syariat.
Sebaliknya, bagi mereka yang dengan ringan hati menunaikan zakat rikaz, Allah janjikan keberkahan yang lebih besar. Karena mereka menyadari bahwa keberuntungan sejati bukan hanya memiliki harta, tetapi juga mampu membersihkannya dari hak orang lain.
Namun masyarakat masih banyak yang belum paham tentang zakat rikaz. Banyak yang menyamakan antara rikaz dan harta warisan, atau menganggap bahwa zakat hanya berlaku bagi pedagang dan petani. Padahal zakat rikaz memiliki posisi yang kuat dalam hukum Islam. Ia tidak membutuhkan syarat waktu seperti zakat harta. Begitu harta ditemukan, maka zakatnya wajib segera ditunaikan.
Dinamika Sosial dalam Praktik Zakat Rikaz
Zakat temuan bukan hanya permasalahan pribadi antara manusia dan Tuhan. Ia juga membawa dampak sosial yang besar. Ketika zakat ini dikeluarkan, 20% dari nilai temuan bisa digunakan untuk membantu kaum miskin, membangun fasilitas umum, dan menguatkan perekonomian umat. Sebaliknya, ketika ia disembunyikan, akan lahir ketimpangan dan kesenjangan yang semakin menganga.
Bayangkan seseorang menemukan koin emas kuno senilai satu miliar rupiah. Jika ia menunaikan zakat rikaz, maka dua ratus juta rupiah dapat menjadi sumber kehidupan bagi banyak keluarga dhuafa. Tapi jika ia memilih menutup rapat dan menggunakan seluruhnya untuk kepentingan pribadi, maka ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Dalam sejarah Islam, para sahabat sangat berhati-hati dalam masalah harta temuan. Mereka tahu bahwa zakat temuan bukan hanya soal angka, tetapi soal amanah. Bahkan ada yang lebih memilih menyerahkan seluruhnya kepada negara Islam karena khawatir lalai dalam perhitungan. Sementara hari ini, di era materialisme, nilai zakat sering kali dipertanyakan. Ada yang bertanya, “Mengapa harus 20%? Bukankah terlalu besar?” Padahal angka itu berasal dari sabda Rasulullah SAW yang tidak diragukan kebenarannya.
Zakat temuan juga menjadi pelajaran tentang seberapa besar cinta kita pada dunia. Saat harta datang tiba-tiba, di situlah iman diuji. Apakah kita tetap ingat pada Allah dan syariat-Nya? Atau kita terjebak dalam keinginan memperkaya diri tanpa batas?
Sayangnya, masih minim edukasi tentang zakat rikaz di tengah masyarakat. Lembaga zakat dan otoritas keagamaan sering kali lebih fokus pada zakat konvensional. Padahal dengan semakin luasnya eksplorasi tanah, pembangunan gedung, dan penggalian arkeologi, kemungkinan ditemukannya harta kuno pun semakin besar.
Kesadaran tentang zakat rikaz harus ditanamkan bukan hanya pada individu, tapi juga pada instansi dan korporasi. Ketika perusahaan konstruksi menemukan benda berharga saat proyek berlangsung, maka mereka juga wajib menunaikan zakat ini jika barang tersebut termasuk kategori rikaz. Begitu pula kolektor, pemburu barang antik, atau komunitas sejarah yang kerap menemukan peninggalan berharga. Tanpa kesadaran zakat, maka seluruh hasil temuan itu bisa menjadi beban di akhirat.