Hujan yang Membawa Berkah

Hujan yang Membawa Berkah

Langit mendung perlahan berubah menjadi basah. Suara tetesan air dari langit membentur atap rumah, jalanan, dan tanah-tanah kering yang menanti pelepas dahaga. Di balik setiap rintik yang jatuh, tersimpan pesan rahmat dan ujian. Sebagian orang menyambutnya dengan senyum, sebagian lagi dengan keluh. Karena bagi sebagian, hujan adalah pertanda berkah, tetapi bagi yang lain, ia bisa menjadi sumber duka.

Hujan telah menjadi bagian dari siklus kehidupan. Ia tidak hanya menjadi pembasuh alam, tetapi juga pembawa kabar dari langit. Ia turun tidak sembarangan, melainkan atas izin dan kehendak Tuhan. Ketika awan menggumpal dan angin bergerak, hati sebagian manusia bergetar. Ada yang bersyukur karena sawahnya akan kembali hijau, namun ada pula yang khawatir rumahnya akan terendam air yang datang tanpa ampun.

 

Hujan yang Membawa Berkah

Islam memandang hujan sebagai anugerah, bukan kutukan. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-bijian yang dituai.” (QS Qaf: 9)

Air dari langit adalah bentuk kasih sayang, sebab tanpanya kehidupan akan lumpuh. Tanaman layu, hewan kehausan, dan manusia tak lagi bisa bertahan. Maka dari itu, saat air menetes dari langit, Rasulullah SAW tidak mengeluh, melainkan menengadahkan wajahnya ke arah langit sambil membaca doa:

“Allahumma shayyiban nafi’an” (Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat). (HR Bukhari)

Namun, tidak semua menerima kehadiran hujan dengan rasa bahagia. Di pelosok desa, ada anak-anak kecil yang harus melipat kaki di sudut rumah reyot karena atap bocor dan tanah menjadi lumpur. Di kota besar, kemacetan meningkat, genangan muncul di mana-mana, dan amarah pengendara pun seringkali meledak. Di beberapa tempat, bahkan banjir menghanyutkan rumah, menyapu mimpi, dan merobohkan harapan.

Betapa kontrasnya makna hujan bagi setiap jiwa. Ia bisa menjadi penyelamat, bisa pula menjadi cobaan. Dan di sinilah kebesaran Allah terlihat. Ia menguji manusia dengan satu hal yang sama, namun hasilnya bergantung pada bagaimana kita menyikapinya. Apakah kita akan bersabar, atau malah berkeluh-kesah?

Ada kisah mengharukan dari seorang petani tua yang setiap kali melihat langit mendung, ia tersenyum sambil berdoa. Meski tubuhnya ringkih, ia tetap berangkat ke ladang dengan semangat yang menyala. Ia tahu bahwa setiap tetes air yang jatuh akan menghidupkan tanah yang ia cintai. “Selama tanah ini basah, hidup masih layak diperjuangkan,” katanya sambil menatap langit.

Sebaliknya, seorang pedagang di kota justru murung saat hujan turun. Lapaknya sepi, pembeli enggan datang, dan ia terpaksa menutup dagangan lebih awal. Ia merasa langit tak berpihak padanya. Padahal, ia tak menyadari bahwa mungkin di suatu tempat, hujan yang sama sedang menyelamatkan ribuan benih dari kekeringan.

Begitulah kehidupan. Satu kejadian, berbagai makna. Satu peristiwa, berjuta rasa.

Hujan pun mengajarkan kita untuk rendah hati. Sebab ia turun dari langit, membasahi bumi tanpa memilih. Ia tidak hanya jatuh di ladang orang saleh, tetapi juga di rumah orang zalim. Ia tidak hanya menghidupi pohon-pohon yang subur, tetapi juga rerumputan liar yang tumbuh di pinggir jalan. Itulah kasih Tuhan yang melampaui logika manusia.

Namun kita juga diajarkan untuk bijak. Ketika hujan turun deras hingga berpotensi membahayakan, kita tidak diminta untuk pasrah semata. Kita diperintahkan untuk ikhtiar, menyiapkan saluran air, menjaga lingkungan, dan membantu sesama yang terdampak. Iman tidak berarti diam, tetapi berbuat sambil berharap.

Rasulullah SAW sendiri memohon kepada Allah agar hujan tidak membahayakan. Beliau pernah berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan di atas perbukitan, ladang-ladang, dan lembah yang subur.” (HR Bukhari dan Muslim)

Doa ini bukan penolakan terhadap hujan, melainkan permohonan agar ia turun dengan manfaat, bukan kerusakan. Sebab sesuatu yang baik pun, jika datang dalam kadar berlebihan, bisa menjadi bencana. Itulah sebabnya kita dituntut untuk selalu memohon kepada-Nya agar diberi keberkahan, bukan sekadar limpahan.

Akhirnya, hujan adalah pelajaran. Ia adalah cermin kehidupan yang mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan keimanan. Ia bisa membuat kita menangis karena kehilangan, tapi juga bisa membuat kita tersenyum karena pengharapan yang tumbuh kembali. Setiap tetesnya membawa pesan: bahwa kehidupan akan terus bergerak, bahwa kesedihan bisa berganti harapan, dan bahwa di balik awan kelabu, selalu ada langit biru yang menanti.

Bagikan:

Related Post