Hikmah Dalam Kegiatan Qurban

Hikmah Dalam Kegiatan Qurban

Setiap kali hari raya Idul Adha tiba, langit terasa lebih teduh dan bumi dipenuhi dalam gema takbir yang mengguncang jiwa. Di tengah hiruk pikuk persiapan penyembelihan hewan, tersimpan sebuah ibadah yang sangat agung: Qurban. Bukan sekadar prosesi menyembelih sapi, kambing, atau domba, namun lebih dari itu, qurban adalah manifestasi ketaatan, cinta, dan pengorbanan hamba kepada Tuhannya.

Asal muasal ibadah ini begitu dalam. Ia bermula dari kisah agung antara Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS. Ketika perintah Allah datang melalui mimpi, Ibrahim tak ragu untuk menunaikannya. Dan Ismail pun, dalam usia mudanya, menjawab dengan ketundukan yang menakjubkan. Mereka tidak berdialog dengan amarah, tidak pula dengan air mata, melainkan dengan iman yang menggetarkan langit.

 

Hikmah Dalam Kegiatan Qurban

Allah SWT mengabadikan momen itu dalam Al-Qur’an: “Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, Kami panggil dia: ‘Wahai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS As-Saffat: 103–105)

Dalam kejadian itu, Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan. Dan dari situlah ibadah qurban menjadi syariat yang diwariskan kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk penghormatan terhadap ketundukan tanpa syarat.

Namun di balik semua itu, tersimpan hikmah yang sangat besar. Qurban bukan hanya tentang darah dan daging. Bukan pula tentang siapa yang menyembelih paling banyak. Qurban adalah tentang hati. Sejauh mana hati rela untuk melepas apa yang paling dicintai demi Tuhan yang paling dicintai.

 

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darahnya akan jatuh di tempat yang diridhai Allah sebelum jatuh ke tanah. Maka bersihkanlah jiwa kalian dengan qurban.” (HR Tirmidzi)

Dari sabda ini, jelas bahwa ibadah qurban memiliki dimensi spiritual yang sangat tinggi. Ia menjadi simbol penyucian diri, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk ketulusan.

Namun tidak semua orang menyambutnya dengan mudah. Ada yang merasa berat untuk mengeluarkan uang. Ada yang membandingkan harga hewan dengan kebutuhan rumah tangga. Bahkan ada pula yang merasa qurban hanya cocok untuk mereka yang sudah kaya.

Pandangan semacam ini tidak sepenuhnya salah, karena realitas ekonomi memang berbeda-beda. Namun jika kita memahami bahwa hewan yang disembelih bukan sekadar kurban fisik, melainkan simbol dari ego yang ditundukkan, maka ibadah ini akan terasa lebih ringan. Justru bagi mereka yang menabung dari jauh hari, menyisihkan sedikit demi sedikit, qurban akan terasa lebih berarti.

Kesedihan mungkin sempat muncul saat melihat harga hewan melonjak. Hati terasa berat ketika harus melepas simpanan yang sudah lama dikumpulkan. Tapi di saat yang sama, ada rasa haru ketika melihat daging yang dipotong dibagikan kepada orang-orang yang jarang sekali mencicipi lauk selain tempe.

Hikmah lain dari qurban adalah memperkuat rasa kemanusiaan. Ia menjadi pengingat bahwa di tengah kelimpahan yang kita rasakan, ada banyak saudara yang hidup dalam kesederhanaan. Mereka yang setiap hari makan seadanya, yang anak-anaknya jarang menikmati daging, dan yang hari-harinya diwarnai oleh kesabaran dalam kelaparan.

Dengan qurban, kita diajak untuk tidak hanya peduli, tapi juga berbagi. Tidak sekadar merenung, tapi juga bertindak. Inilah bentuk ibadah yang bukan hanya vertikal, tetapi juga horizontal. Antara hamba dan Tuhannya, serta antara sesama manusia.

Sayangnya, di sebagian tempat, makna qurban mulai bergeser. Ia menjadi ajang pamer. Siapa yang menyembelih paling besar, siapa yang fotonya paling banyak diunggah, siapa yang paling cepat menyelesaikan pemotongan. Padahal Rasulullah SAW menyembelih dua ekor kambing dengan tangan beliau sendiri, dengan penuh ketenangan, tanpa sorotan kamera, dan tanpa hingar-bingar.

Mari kita kembalikan ruh qurban ke tempat semestinya. Jadikan ia sebagai momen kontemplasi. Bahwa setiap tetesan darah itu adalah simbol pengorbanan kita atas dunia yang fana. Bahwa setiap potong daging yang dibagikan adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati lahir dari memberi, bukan dari memiliki.

Qurban juga mengajarkan kedisiplinan. Ia tidak bisa dilakukan sembarangan waktu. Harus pada hari tertentu, dengan syarat tertentu. Ini menanamkan nilai bahwa ibadah bukan sekadar niat, tapi juga tata cara. Bahwa cinta kepada Allah harus disertai dengan ketundukan pada aturan-Nya.

Akhirnya, qurban bukan hanya untuk mereka yang mampu. Tapi untuk mereka yang mau. Mau menundukkan ego. Mau melepaskan harta. Mau mendekatkan diri. Karena hakikat qurban adalah tentang kerelaan, bukan tentang jumlah. Tentang iman, bukan tentang status. qurban disini sekarang juga !

Bagikan:

Related Post