Manusia Bermanfaat Bagi Orang Lain

Manusia Bermanfaat Bagi Orang Lain

Dalam kehidupan ini, ukuran keberhasilan bukanlah sekadar tumpukan harta, gelar panjang, atau popularitas yang mencolok. Islam memandang nilai sejati seseorang dari seberapa besar ia bisa menjadi manusia bermanfaat bagi orang lain. Bukan dari apa yang ia miliki, tetapi dari apa yang ia berikan. Bukan dari banyaknya ucapan, tetapi dari dampak nyata yang ia ciptakan.

Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR Thabrani)

Hadist ini seakan menjadi cermin bagi siapa saja yang ingin merenungi makna hidupnya. Apakah kehadirannya membawa kebaikan? Ataukah justru menjadi beban bagi lingkungan sekitarnya? Sebab tidak sedikit orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Sibuk mengejar kesenangan pribadi, lupa bahwa menjadi manusia bermanfaat adalah misi kemanusiaan yang paling luhur.

Banyak yang merasa telah sukses karena rumahnya megah, mobilnya mewah, dan bisnisnya berkembang. Namun jika hartanya tak pernah membantu orang miskin, tak pernah membebaskan orang dari utang, atau tak pernah memberi harapan kepada yang terpuruk, lalu untuk apa semua kekayaan itu? Apakah ia layak disebut manusia bermanfaat jika kehadirannya tidak memberi arti bagi sekitar?

Ulama dan Pandangan Tentang Manusia Bermanfaat

Para ulama sejak dahulu telah menjadikan kemanfaatan sebagai tolok ukur kualitas seseorang. Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim menyebutkan bahwa amal terbaik bukan hanya yang bersifat ibadah pribadi, tetapi juga yang berdampak sosial. Menurutnya, manusia bermanfaat adalah yang mampu meringankan beban saudaranya, memberi jalan keluar bagi yang kesulitan, dan hadir saat orang lain ditinggalkan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahkan menulis: “Hakikat kemuliaan manusia terletak pada sejauh mana ia memberi manfaat, bukan pada seberapa banyak ia menerima.”

Namun dunia hari ini terlalu sibuk menciptakan manusia kompetitif yang berorientasi pada diri sendiri. Anak-anak diajarkan mengejar ranking, bukan diajarkan untuk peduli pada teman yang kesulitan. Remaja diajarkan bagaimana tampil paling keren, bukan bagaimana menjadi teman paling setia. Maka tak heran jika lahir generasi yang cerdas secara intelektual, tapi miskin empati dan kepedulian.

Manusia bermanfaat bukan harus jadi kaya terlebih dahulu. Tak perlu menunggu sukses, baru mulai memberi. Terkadang, senyuman pun bisa menjadi manfaat. Mendengarkan keluhan seseorang, menenangkan yang sedang gelisah, atau membantu ibu membawa belanjaan juga bagian dari manfaat. Tapi semua itu hanya bisa dilakukan oleh hati yang hidup dan mata yang jernih memandang penderitaan orang lain.

Dampak Baik dan Buruk Menjadi Manusia Bermanfaat

Menjadi manusia bermanfaat adalah bentuk ibadah sosial yang dampaknya sangat luas. Orang yang gemar memberi akan selalu dikenang. Namanya harum, doanya dipanjatkan oleh banyak orang, bahkan setelah ia meninggal dunia. Sebaliknya, orang yang pelit manfaat, sering kali terlupakan, bahkan dicibir meskipun masih hidup. Ia mungkin sukses di atas kertas, tapi tidak pernah benar-benar berarti di hati manusia.

Ada kisah inspiratif tentang seorang pemilik warung sederhana yang setiap malam menyisihkan makanan untuk tetangganya yang miskin. Meski tak pernah viral, warung itu tak pernah sepi. Orang-orang datang bukan hanya untuk membeli, tapi juga untuk merasakan kehangatan dan kebaikan yang tulus. Inilah contoh nyata dari manusia bermanfaat, yang kebaikannya menjelma menjadi rezeki dan keberkahan.

Namun sebaliknya, betapa banyak orang yang dikenal kaya raya, tapi tetangganya hidup dalam kekurangan. Ia bisa membeli barang-barang mewah, namun enggan mengulurkan tangan. Ia sibuk memperluas bisnis, tapi buta terhadap anak-anak yatim di dekat rumahnya. Ia merasa telah berjasa besar hanya karena menyumbang saat bencana besar, tapi tak pernah membantu orang terdekat. Manusia bermanfaat tidak menunggu panggung, ia bergerak karena cinta dan tanggung jawab.

Dalam pandangan Islam, orang yang membantu saudaranya dijanjikan pertolongan dari Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang membantu meringankan beban seorang Muslim di dunia, maka Allah akan meringankan beban darinya di hari kiamat.” (HR Muslim)

Hadist ini menunjukkan bahwa menjadi manusia bermanfaat adalah investasi akhirat. Allah membalas bukan hanya apa yang kita berikan, tapi juga kehadiran kita yang menyembuhkan luka sesama. Tapi jika kita menutup mata, berpura-pura tidak tahu, dan terus hidup dalam zona nyaman, maka jangan salahkan siapa-siapa jika keberkahan hidup terasa jauh.

Ada pula yang berbuat baik hanya karena ingin pujian. Ia memberi karena ingin nama, bukan karena cinta. Ia membantu sambil merekam dan memamerkannya. Ia bukan manusia bermanfaat, tapi manusia yang sedang mencari tepuk tangan. Padahal dalam Islam, amal yang paling bernilai adalah yang paling tersembunyi. Allah Maha Mengetahui siapa yang benar-benar ikhlas.

Bagikan:

Related Post