Fenomena konsumsi makanan pedas di masyarakat saat ini telah menjadi bagian dari gaya hidup yang sulit dipisahkan. Banyak orang menganggap bahwa makan tanpa rasa pedas terasa hambar, tidak menggugah selera, dan kurang memuaskan. Dari warung kaki lima hingga restoran mewah, makanan pedas selalu mendapat tempat istimewa di lidah sebagian besar masyarakat. Namun, benarkah kebiasaan mengonsumsi makanan pedas ini baik dalam pandangan Islam? Adakah dalil yang membahas soal batasan, manfaat, atau bahkan bahayanya?
Islam adalah agama yang sempurna. Ia mengatur segala aspek kehidupan, termasuk soal makanan. Meski tidak ada dalil yang secara eksplisit melarang makanan pedas, namun syariat memberikan panduan jelas mengenai makanan yang baik, sehat, dan tidak membahayakan tubuh. Dalam konteks ini, konsumsi makanan pedas bisa masuk dalam ranah yang perlu ditimbang dari aspek maslahat dan mudaratnya.
Allah SWT berfirman: “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik (thayyib), dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Maidah: 88)
Ayat ini menjadi dasar bahwa makanan pedas selama tidak berbahaya, tidak menimbulkan penyakit, dan dikonsumsi dengan adab yang benar, tetap dalam batas kehalalan dan kebaikan. Namun jika sampai mengganggu kesehatan, merusak pencernaan, atau menimbulkan gangguan emosional, maka perlu dikaji ulang, karena Islam tidak menganjurkan umatnya menyiksa diri melalui makanan.
Pandangan Ulama Tentang Makanan Pedas
Dalam banyak kitab fiqih klasik, makanan pedas tidak dibahas secara spesifik. Namun para ulama sering kali menyinggung soal makanan yang memicu panas berlebihan dalam tubuh. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengelompokkan makanan menjadi beberapa jenis berdasarkan efeknya pada tubuh. Ia menjelaskan bahwa makanan yang terlalu panas bisa menyebabkan ketidakseimbangan pada organ, memicu kemarahan, dan bahkan mempercepat gejolak syahwat jika dikonsumsi berlebihan.
Rasulullah SAW sendiri tidak dikenal sebagai orang yang suka makan makanan pedas. Dalam berbagai riwayat hadist, beliau lebih menyukai makanan sederhana, tidak berlebihan dalam bumbu, dan menekankan aspek kesederhanaan dalam segala hal, termasuk dalam makan. Ini bukan berarti makanan pedas dilarang, tapi Islam mendorong umatnya untuk hidup seimbang, termasuk dalam soal selera makan.
Hadist dari Miqdam bin Ma’dikarib menyebut: “Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam selain perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia tidak bisa (menahan lapar), maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk bernapas.” (HR Tirmidzi)
Hadist ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam makan. Ketika seseorang terlalu sering menyantap makanan pedas dalam jumlah banyak, bahkan hingga mengganggu sistem pencernaan dan kesehatan, ia telah melanggar prinsip moderasi yang diajarkan oleh Rasulullah.
Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Zad al-Ma’ad juga menjelaskan bahwa makanan yang terlalu ekstrem—baik terlalu panas, terlalu dingin, terlalu manis, atau terlalu asam—dapat merusak keseimbangan alami tubuh. Ia menyarankan agar makanan dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan fisik, bukan sekadar mengikuti hawa nafsu lidah.
Sentimen Baik dan Buruk dalam Fenomena Makanan Pedas
Banyak yang menganggap makanan pedas sebagai bentuk kenikmatan dunia. Ada kebanggaan tersendiri ketika seseorang mampu menyantap makanan dengan tingkat kepedasan yang ekstrem. Bahkan, berbagai tantangan makan pedas bermunculan di media sosial, dijadikan konten viral, dan ditonton jutaan orang. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya ketertarikan manusia terhadap sensasi ekstrem.
Namun di balik rasa gurih dan pedas yang menggoda, makanan pedas bisa menjadi bumerang. Banyak kasus iritasi lambung, gangguan usus, hingga penyakit akut yang diakibatkan oleh konsumsi cabai berlebihan. Dalam beberapa kasus, orang mengalami muntah, pingsan, bahkan harus dilarikan ke rumah sakit setelah mengikuti tantangan makan makanan pedas. Di sinilah letak bahayanya jika nafsu lebih dikedepankan daripada akal sehat.
Islam melarang menyakiti diri sendiri. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Jika konsumsi makanan pedas sudah sampai tahap menyiksa tubuh, mengganggu aktivitas, atau bahkan membahayakan jiwa, maka ini masuk dalam kategori yang dilarang. Apalagi jika dilakukan hanya untuk hiburan atau mencari sensasi.
Di sisi lain, ada yang merasa bahwa tanpa makan-makanan pedas, hidup terasa hambar. Ini menunjukkan adanya ketergantungan yang mungkin bersifat psikologis. Bahkan sebagian orang merasa lebih percaya diri dan bersemangat setelah mengonsumsi hidangan pedas. Rasa panas yang membakar lidah dianggap sebagai bentuk ketangguhan atau uji nyali.
Namun apakah hal itu benar-benar bermanfaat? Jika manfaat yang dirasa hanya bersifat sementara, sementara efek jangka panjangnya merusak tubuh, maka tidak sepatutnya dipertahankan. Islam tidak melarang kenikmatan, tapi membatasi pada yang mendatangkan maslahat. Maka jika hidangan pedas dikonsumsi secara wajar dan tidak membahayakan, itu masih dalam batas dibolehkan. Namun jika sudah menjadi candu atau berlebihan, maka ia menjelma menjadi mudarat.