Mengapa Manusia Mencintai Dunia

Mengapa Manusia Mencintai Dunia

Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki dorongan alami untuk mencintai dunia dengan kenyamanan, kekuasaan, dan kekayaan. Sejak dilahirkan, kehidupan dunia menawarkan keindahan yang menawan: makanan lezat, rumah megah, popularitas, serta segala hal yang bisa membuat seseorang merasa di atas angin. Tak heran jika banyak yang akhirnya terjebak, larut dalam mengejar hal-hal yang fana, bahkan hingga lupa akan tujuan akhir hidupnya. Inilah realita yang membuat banyak hati tenggelam—terlalu sibuk mencintai dunia, padahal dunia bukan tempat tinggal abadi.

Godaan yang Terlihat Indah Tapi Menyesatkan

Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam sebuah hadist: “Dunia itu manis dan hijau, dan Allah menjadikan kamu sebagai pengelola di dalamnya. Maka berhati-hatilah terhadap dunia dan terhadap wanita.” (HR Tirmidzi)

Hadist ini mengandung pesan bahwa dunia memang memikat, tetapi memikat bukan berarti menenangkan. Ia bisa tampak menggembirakan, tapi menyimpan perangkap. Manusia yang tidak memiliki kekuatan iman akan mudah terbawa arus, mengejar jabatan tanpa etika, menimbun harta tanpa peduli halal-haram, dan mencari pujian tanpa memedulikan kehinaan di sisi Allah.

Namun tidak semua yang mencintai dunia adalah orang yang durhaka. Ada pula yang mencintainya dengan niat baik: untuk menafkahi keluarga, untuk membantu sesama, atau untuk memperkuat dakwah. Akan tetapi, jika cinta itu berubah menjadi ketergantungan, maka akan muncul penyakit hati yang membutakan. Seseorang mulai merasa takut kehilangan, menjadi tamak, iri, dan cemas berlebihan. Dunia menjadi poros hidup, dan akhirat hanya jadi wacana.

Allah berfirman didalam Al-quran: “Ketahuilah, bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan saling berbangga antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan…” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini seperti tamparan bagi mereka yang terlalu sibuk bersaing, saling pamer, dan merasa unggul karena capaian materi. Padahal semua itu hanyalah fatamorgana yang tak punya nilai di hadapan Tuhan jika tidak disertai keimanan dan amal saleh.

Ketika Dunia Menjadi Tujuan Hidup

Sayangnya, sebagian besar manusia tak sadar bahwa cintanya pada dunia telah berubah menjadi obsesi. Mereka bangun pagi bukan untuk ibadah, tapi untuk mengejar target penjualan. Mereka rela bekerja tanpa henti, tapi mengeluh saat disuruh shalat. Dunia menjadi tuhan kedua, dan waktu habis untuk hal-hal yang tak akan dibawa ke kubur.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa cinta dunia adalah pangkal segala dosa. Dari sanalah lahir kesombongan, kerakusan, pengkhianatan, dan hilangnya belas kasih. Ketika hati sudah dipenuhi oleh keinginan duniawi, maka akhlak pun menjadi rusak. Seseorang bisa mengorbankan kehormatan, bahkan keimanan, hanya demi menikmati secuil kenikmatan dunia yang sementara.

Namun anehnya, meskipun tahu bahwa dunia tidak kekal, banyak yang tetap memujanya. Mereka menyimpan pakaian yang tak terpakai, menghitung kekayaan seolah hidup seribu tahun, dan menunda amal karena merasa masih punya waktu. Mereka tahu mati itu pasti, tapi tak bersiap seolah hidup adalah segalanya.

Ada pula yang merasa bangga karena telah memiliki segalanya, padahal hatinya kosong. Rumah besar tapi sunyi dari zikir, mobil mewah tapi jarang digunakan untuk menolong, dan jabatan tinggi tapi jauh dari rasa takut kepada Allah. Inilah wajah buram dari mencintai dunia tanpa kendali.

Dunia Sebagai Ladang, Bukan Istana

Tidak semua cinta terhadap dunia harus dihindari. Islam tidak melarang manusia menjadi kaya, sukses, atau terkenal. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri adalah pedagang sukses sebelum menjadi nabi. Para sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq juga orang-orang kaya raya. Namun bedanya, dunia tidak pernah menguasai hati mereka. Mereka menjadikan harta sebagai alat, bukan tujuan.

Seseorang pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Bolehkah aku menjadi orang kaya?” Beliau menjawab, “Boleh, selama dunia itu di tanganmu, bukan di hatimu.”

Ucapan ini sederhana tapi tajam. Bahwa mencintai dunia tidak menjadi dosa selama ia tidak menghilangkan rasa takut pada Allah, tidak mengganggu ibadah, dan tidak menjadikan kita lupa bahwa akhirat adalah tempat pulang. Dunia hanyalah ladang, tempat menanam amal yang akan dipanen di akhirat. Maka jika dunia dijadikan istana, kita akan kecewa. Tapi jika dijadikan jalan, maka kita akan sampai ke tujuan yang sebenarnya.

Namun betapa banyak orang yang tertukar. Mereka membangun karier setinggi langit tapi tidak pernah membangun akhlaknya. Mereka menyimpan emas dan properti tapi melupakan sedekah. Mereka menyimpan dendam hanya karena masalah warisan, dan rela memutus silaturahmi demi sepetak tanah.

Bagikan:

Related Post