Mengapa Baginda Nabi Begitu Mencintai Umatnya

Mengapa Baginda Nabi Begitu Mencintai Umatnya

Di tengah malam yang sunyi, saat kebanyakan manusia terlelap dalam mimpinya, ada satu jiwa mulia yang menangis dalam sujudnya. Doanya bukan untuk diri sendiri, bukan untuk keluarga, melainkan untuk mereka yang bahkan belum pernah ia temui umatnya. Dialah Baginda Nabi Muhammad ﷺ, sang utusan terakhir, yang tidak hanya membawa risalah, tetapi juga kasih sayang yang tak tertandingi bagi seluruh manusia, khususnya mereka yang mengaku sebagai pengikutnya. Apa yang membuat beliau begitu besar dalam mencintai umatnya hingga air matanya tumpah bukan karena luka, tapi karena rindu dan khawatir akan keadaan kita?

Tangisan di Tengah Malam untuk Mereka yang Tak Pernah Bertemu

Salah satu kisah yang mengguncang hati adalah ketika Baginda Nabi mengangkat tangan dan berdoa dengan suara lirih, “Ya Allah, umatku… umatku…” Hingga Malaikat Jibril datang dan bertanya mengapa beliau menangis. Allah kemudian mengutus Jibril untuk menyampaikan bahwa: “Kami akan membuatmu ridha terhadap umatmu dan tidak akan membuatmu kecewa.” (HR. Muslim)

Tangisan itu bukan dibuat-buat. Ia lahir dari cinta tulus yang tidak mengharapkan balasan. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa mencintai begitu dalam terhadap mereka yang belum lahir, yang bahkan belum tentu setia pada risalah yang ia bawa? Tapi inilah bentuk cinta sejati. Bukan menunggu dibalas, melainkan terus memberi tanpa syarat.

Namun yang memilukan, sebagian umatnya justru tak menggubris cinta itu. Mereka mengaku pengikut, tapi melupakan sunnahnya. Mereka menyebut namanya dalam selawat, tapi tidak meneladani akhlaknya. Mereka bangga menyebut “ummati”, tapi tak tahu betapa Baginda Nabi rela memikul beban dunia dan akhirat demi keselamatan mereka.

Kecintaan yang Tak Tertandingi oleh Siapa Pun

Dalam Alquran Allah berfirman: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (kebaikan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)

Ayat ini adalah pengakuan langsung dari langit tentang betapa besar cinta Baginda Nabi kepada umatnya. Beliau tidak hanya mendidik dengan ucapan, tetapi dengan perbuatan yang penuh kasih. Saat dilempari batu di Thaif, beliau tidak memohon kebinasaan bagi penduduknya, melainkan berharap agar kelak lahir generasi yang beriman.

Di Perang Uhud, saat tubuhnya berdarah dan gigi beliau patah, beliau tetap berseru, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

Adakah pemimpin yang masih memaafkan saat tubuhnya disakiti? Adakah manusia yang masih memikirkan kebaikan orang lain saat dirinya disiksa? Inilah level tertinggi dari mencintai umatnya, sebuah ketulusan yang tak tertandingi oleh siapapun.

Namun sebagian manusia justru mengkhianati cinta ini. Mereka menyebarkan kebencian, mengadu domba, bahkan menyakiti sesama muslim. Mereka lebih mencintai dunia, lebih membela tokoh idola atau paham tertentu dibanding mencintai warisan akhlak yang dibawa Baginda Nabi. Padahal, dalam hadist Rasulullah bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari)

Bukti cinta bukan hanya di bibir, tapi di perbuatan. Maka siapa yang benar-benar mencintai beliau, akan menjaga lisan, memperbaiki akhlak, dan memperjuangkan apa yang beliau tinggalkan.

Harapan Terakhir di Padang Mahsyar

Hari di mana seluruh manusia digiring dalam ketakutan, bumi diganti dengan padang putih tanpa bayangan, dan setiap jiwa hanya memikirkan keselamatannya sendiri. Saat semua nabi berkata, “Nafsi, nafsi” (diriku, diriku), hanya satu yang berkata, “Ummati, ummati.”

Itulah Baginda Nabi Muhammad ﷺ.

Beliau tidak tenang hingga bisa memberikan syafaat kepada umatnya. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau akan menunggu hingga orang terakhir dari umatnya keluar dari neraka. Seolah beliau tidak ingin masuk surga sendirian, tapi ingin membawa seluruh umatnya, termasuk mereka yang berdosa, selama masih ada iman di hatinya.

Namun betapa sering umatnya melupakan syafaat ini. Mereka meremehkan dosa, meninggalkan shalat, menertawakan larangan agama. Mereka hidup seolah tidak akan bertemu dengannya, padahal setiap langkah akan dipertanggungjawabkan. Ada yang mencintainya dengan air mata, tapi lebih banyak yang mengecewakan beliau dengan tawa yang tak tahu diri.

Imam Al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah menulis bahwa syafaat Rasulullah akan diberikan kepada orang yang tulus mencintainya dan menjaga ajarannya. Maka bukan cukup hanya berselawat, tapi harus ada bukti nyata dari rasa cinta itu. Bukan dengan parade, tapi dengan perbaikan diri.

Bagikan:

Related Post