Rasulullah dalam Membahagiakan Fakir Miskin dan Dhuafa

Rasulullah dalam Membahagiakan Fakir Miskin dan Dhuafa

Tidak ada teladan yang lebih indah dibandingkan Rasulullah dalam membahagiakan orang-orang yang terlupakan oleh dunia: mereka yang lemah, terpinggirkan, dan tidak memiliki kekuatan untuk bersuara. Di tengah masyarakat yang kala itu keras dan kaku, kehadiran beliau bagaikan cahaya yang menyapu gelapnya rasa putus asa di hati fakir miskin dan dhuafa. Beliau tidak hanya memberikan makanan atau pakaian, tetapi juga memuliakan mereka dengan perhatian, senyuman, dan doa yang menguatkan.

Banyak orang kaya merasa puas ketika memberi sedikit dari kelebihannya, tetapi Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa memberi bukan hanya soal harta, melainkan menyentuh hati dan mengangkat derajat orang yang menerima. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Bukanlah orang miskin itu orang yang berkeliling meminta-minta, tetapi orang miskin adalah yang tidak memiliki apa-apa dan tidak menampakkannya.” (HR Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap mereka membutuhkan mata hati yang peka, bukan sekadar pandangan kasat mata.

Namun di sisi lain, sejarah juga mencatat bahwa ada orang-orang yang tega menghinakan orang-orang lemah, menjadikan mereka bahan cemooh, atau menutup pintu saat mereka datang meminta pertolongan. Inilah wajah gelap manusia yang buta hati mereka lupa bahwa di balik setiap kesusahan, ada ujian yang Allah titipkan, bukan hanya untuk yang miskin, tetapi juga bagi yang mampu.

Rasulullah dan Kasih Sayang Kepada Fakir Miskin dan Dhuafa

Dalam setiap langkah kehidupannya, Rasulullah dalam membahagiakan umat tidak pernah memandang status sosial. Beliau biasa duduk bersama orang-orang lemah dan tak mampu, makan bersama di tanah yang sama, dan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa merasa terganggu. Kisah terkenal menggambarkan ketika seorang perempuan tak punya apa-apa memegang tangan beliau di jalan dan memintanya duduk untuk mendengar ceritanya. Rasulullah ﷺ pun duduk dan mendengarkan hingga perempuan itu merasa lega.

Para ulama menjelaskan, sebagaimana diungkapkan oleh Imam An-Nawawi, bahwa akhlak beliau ini merupakan cerminan dari ayat Al-Qur’an, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.” (QS. Asy-Syu’ara: 215). Kerendahan hati ini bukan kelemahan, melainkan kemuliaan yang tidak dimiliki oleh pemimpin-pemimpin dunia yang hanya mau duduk dengan orang-orang sekelas mereka.

Namun, realitas umat kini terkadang berlawanan dengan teladan itu. Banyak yang lebih rela menghabiskan harta untuk kemewahan pribadi daripada untuk membantu orang yang benar-benar membutuhkan. Tidak sedikit yang hanya membantu demi pencitraan atau popularitas di media sosial. Padahal, Rasulullah ﷺ memberi tanpa berharap pamrih, bahkan seringkali menyembunyikan kebaikannya dari pandangan orang lain.

Memberi Kehormatan Bersama Bantuan

Bagi orang-orang yang tak punya kesempatan, bantuan yang diberikan dengan cara yang salah dapat melukai hati. Rasulullah ﷺ selalu memastikan bahwa pemberiannya tidak merendahkan martabat penerima. Beliau pernah menyarankan agar memberi dengan tangan sendiri, sambil mengucapkan kata-kata yang menguatkan. Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maknanya bukan untuk membanggakan diri sebagai pemberi, tetapi agar setiap Muslim bercita-cita menjadi orang yang mampu memberi.

Para sahabat pun meneladani akhlak ini. Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan dikenal berlomba-lomba dalam membantu mereka yang lemah dan putus asa, bahkan hingga mengorbankan harta terbaik mereka. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan bahwa memberi yang disertai empati akan menumbuhkan rasa cinta dan kesatuan dalam hati umat. Sebaliknya, memberi dengan rasa sombong hanya akan menambah jurang pemisah antara yang kaya dan miskin.

Tetapi dunia modern sering mengajarkan hal sebaliknya. Banyak sistem bantuan yang membuat penerima merasa seperti beban atau angka statistik semata. Di sinilah ajaran Rasulullah dalam membahagiakan menjadi penting untuk dihidupkan kembali agar setiap bantuan menjadi jembatan hati, bukan sekadar transaksi sosial.

Membangkitkan Kembali Jiwa Kepedulian

Tidak dapat dipungkiri, ada sebagian dari orang-orang tak mampu dan lemah yang diuji dengan sifat malas atau terbiasa meminta tanpa usaha. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat. Rasulullah ﷺ pun membedakan antara orang yang benar-benar membutuhkan dan yang mampu bekerja tetapi enggan. Beliau mengajarkan agar kita membantu dengan cara yang mendidik, seperti memberikan pekerjaan atau keterampilan, bukan hanya sedekah yang bersifat sementara.

Namun, bagi mereka yang memang lemah, sakit, atau tak punya daya, Islam memerintahkan agar kita menjaga dan melindungi mereka. Allah berfirman, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang tak punya yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19). Ayat ini menegaskan bahwa membantu mereka bukan pilihan, tetapi kewajiban yang melekat pada setiap Muslim yang mampu.

Rasulullah ﷺ memahami bahwa kebahagiaan orang tak mampu bukan hanya datang dari terpenuhinya kebutuhan pokok, tetapi dari rasa diterima, dihormati, dan diperlakukan setara. Beliau memberi teladan bahwa senyuman tulus, sapaan ramah, dan perhatian kecil dapat menjadi hadiah yang tak ternilai bagi hati yang terluka.

Bagikan:

Related Post