Mengenal Apa Itu Mubaligh dan Kyai

Mengenal Apa Itu Mubaligh dan Kyai

Dalam kehidupan umat Islam, kita sering mendengar istilah mubaligh dan kyai. Dua sebutan ini seakan melekat dalam keseharian masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Namun, tidak semua orang benar-benar memahami secara mendalam mengenal apa itu mubaligh dan kyai. Ada yang memandang keduanya dengan penuh penghormatan, ada pula yang justru menyalahgunakan gelar ini untuk kepentingan duniawi. Maka penting untuk menelaah lebih dalam, bagaimana Islam menempatkan posisi seorang mubaligh dan kyai, apa tugasnya, serta bagaimana masyarakat seharusnya menyikapinya.

Seorang mubaligh secara bahasa berarti orang yang menyampaikan. Dari kata balagha yang artinya “menyampaikan atau menyebarkan.” Dalam tradisi Islam, mubaligh adalah orang yang berperan menyampaikan ajaran agama kepada umat. Sementara kyai adalah istilah yang berkembang di Nusantara, khususnya Jawa, yang merujuk pada seorang ulama atau guru agama yang dihormati, biasanya memiliki pesantren dan banyak murid. Meski berbeda istilah, keduanya sama-sama memiliki peran besar dalam membina umat menuju jalan kebenaran.

Kedudukan Mubaligh dan Kyai dalam Pandangan Islam

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan betapa mulianya peran orang yang menyeru kepada kebaikan. Alquran menyatakan: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fussilat ayat 33). Ayat ini menjelaskan betapa mulia kedudukan orang yang menjadi penyampai dakwah. Maka, mengenal apa itu mubaligh dan kyai sama dengan memahami salah satu instrumen penting dalam menegakkan ajaran Islam.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR Bukhari). Hadits ini menjadi dasar bagi para mubaligh untuk berdakwah, meski ilmunya tidak seluas ulama besar. Mereka tetap memiliki kewajiban menyebarkan apa yang diketahui, tentu dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyesatkan umat.

Adapun kyai, dalam pandangan ulama, adalah sosok pewaris nabi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi.” (HR Tirmidzi). Maka seorang kyai tidak hanya dituntut menyampaikan ilmu, tetapi juga meneladani akhlak Nabi, membimbing murid-muridnya dengan kasih sayang, serta menjadi teladan dalam kehidupan sosial.

Namun, di sinilah letak permasalahannya. Ada mubaligh dan kyai yang benar-benar ikhlas menyampaikan ilmu untuk mencari ridha Allah. Mereka hidup sederhana, tidak terikat harta atau popularitas. Tapi ada juga yang tergoda oleh gemerlap dunia, menjadikan dakwah sebagai panggung mencari pengaruh dan kekayaan. Sungguh ini potret buruk yang sering membuat masyarakat bingung dan kecewa.

Cinta dan Kritik terhadap Peran Mereka

Ketika membicarakan mengenal apa itu mubaligh dan kyai, kita tidak bisa hanya menyoroti kebaikan mereka. Harus ada keseimbangan, karena dalam realitas ada sisi manis sekaligus pahit. Di satu sisi, masyarakat mencintai sosok kyai dan mubaligh yang bijak, rendah hati, dekat dengan umat. Kehadiran mereka ibarat pelita di tengah kegelapan. Orang-orang datang berbondong-bondong ke majelis taklim, merasakan ketenangan, tercerahkan oleh nasihat mereka.

Namun, ada pula kisah memilukan ketika sebagian mubaligh dan kyai justru memecah belah umat. Mereka menyampaikan ceramah penuh kebencian, mencela kelompok lain, bahkan memperjualbelikan ayat demi kepentingan politik. Inilah sisi gelap yang harus diwaspadai. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api neraka.” (QS. Al-Baqarah ayat 174)

Ayat ini seakan menampar keras mereka yang menjadikan ilmu agama sebagai komoditas. Maka, mengenal apa itu mubaligh dan kyai tidak cukup dengan melihat jubah, sorban, atau popularitasnya. Yang terpenting adalah akhlak, ketulusan, serta kesesuaian ajaran mereka dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Ulama besar Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin pernah mengingatkan bahwa ilmu yang tidak diamalkan dan hanya dijadikan alat mencari dunia akan menjerumuskan pemiliknya pada kehinaan. Maka seorang mubaligh dan kyai yang sejati adalah mereka yang ilmunya melahirkan ketakwaan, bukan sekadar kepandaian retorika.

Harapan Umat terhadap Mubaligh dan Kyai

Masyarakat membutuhkan teladan. Di tengah gempuran modernisasi, krisis moral, dan arus informasi yang sering membingungkan, peran mubaligh dan kyai menjadi sangat penting. Mengenal apa itu mubaligh dan kyai berarti menyadari bahwa mereka adalah penjaga moral umat. Dari lisan mereka lahir nasihat, dari perilaku mereka lahir keteladanan.

Harapan umat begitu besar. Mereka ingin para mubaligh dan kyai hadir di tengah kesusahan, membela yang lemah, menenangkan hati yang resah. Mereka ingin mendengar dakwah yang lembut, meneduhkan, bukan menghujat. Mereka ingin melihat kyai yang bersahaja, bukan yang sibuk mengejar fasilitas dan pujian.

Namun, jika harapan ini dikhianati, jika para penyiar lebih sibuk memikirkan kepentingan pribadi, maka luka yang ditinggalkan sangat dalam. Umat bisa kehilangan kepercayaan, bahkan menjauh dari agama. Rasulullah telah mengingatkan: “Barangsiapa yang menyesatkan umatku, maka laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia akan menimpanya.” (HR Ahmad).

Maka tugas umat bukan hanya mencintai, tetapi juga kritis. Jangan mudah terkagum dengan kata-kata indah tanpa melihat amal nyata. Jangan cepat percaya hanya karena gelar kyai atau panggilan pendakwah. Islam mengajarkan untuk menilai seseorang dari ketakwaannya, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat ayat 13).

Bagikan:

Related Post