Kurikulum Ekonomi dan Keluarga

Kurikulum Ekonomi dan Keluarga

Dalam pusaran kehidupan modern yang penuh dengan tekanan finansial dan kompetisi material, banyak keluarga kehilangan keseimbangan. Di satu sisi, mereka mengejar kemakmuran ekonomi dengan penuh ambisi; di sisi lain, kehangatan dan keharmonisan rumah tangga justru terkikis perlahan. Padahal, Islam telah lama menanamkan sebuah fondasi luhur melalui Kurikulum Ekonomi dan Keluarga. Merupakan sebuah pedoman hidup yang tidak hanya mengatur cara mencari harta, tetapi juga bagaimana menjaga keberkahannya.

Keluarga adalah madrasah pertama bagi manusia. Di sinilah nilai-nilai kejujuran, kesabaran, dan tanggung jawab tumbuh sejak dini. Ketika ekonomi keluarga dijalankan sesuai ajaran Islam, maka harta bukan lagi sumber keserakahan, melainkan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya, jika ekonomi keluarga dikelola tanpa nilai agama, maka harta dapat berubah menjadi fitnah yang melahirkan pertengkaran, iri hati, dan kehancuran.

Maka, Kurikulum Ekonomi dan Keluarga bukan sekadar teori tentang uang, melainkan pendidikan jiwa tentang bagaimana manusia menyeimbangkan dunia dan akhirat, antara mencari rezeki dan menjaga kasih sayang, antara perhitungan finansial dan ketenangan batin.

Pondasi Kurikulum Ekonomi dan Keluarga dalam Islam

Islam tidak pernah memisahkan antara urusan ekonomi dan spiritualitas. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15).

Ayat ini mengajarkan bahwa mencari rezeki adalah bagian dari ibadah, bukan semata kebutuhan hidup. Itulah ruh utama dalam Kurikulum Ekonomi dan Keluarga. Ketika seorang ayah bekerja keras menafkahi keluarganya dengan cara yang halal, ia sejatinya sedang beribadah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar untuk memerdekakan budak, satu dinar untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu dan yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak kemajuan ekonomi, namun menempatkannya pada posisi yang seimbang. Nafkah kepada keluarga bukan beban, tetapi ladang pahala.

Namun, di sisi lain, Islam juga memperingatkan bahaya cinta dunia yang berlebihan. Ketika orientasi ekonomi keluarga hanya pada harta, maka nilai-nilai spiritual mudah hilang. Anak-anak diajarkan menghitung uang lebih cepat daripada menghitung syukur. Suami dan istri bersaing dalam gaya hidup, bukan dalam ibadah. Maka, Kurikulum Ekonomi dan Keluarga harus menanamkan kesadaran bahwa keberkahan lebih penting daripada kelimpahan.

Nilai-Nilai Spiritual dalam Kurikulum Ekonomi dan Keluarga

Dalam pandangan Islam, setiap rupiah yang masuk dan keluar dari rumah tangga akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, untuk apa ia amalkan; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan; serta tentang tubuhnya, untuk apa ia gunakan.” (HR. Tirmidzi).

Hadits ini menjadi dasar pendidikan ekonomi Islami dalam keluarga. Dalam Kurikulum Ekonomi dan Keluarga, anak-anak harus diajarkan sejak kecil bahwa uang bukan hanya alat, tetapi juga ujian. Mereka perlu memahami bahwa rezeki bukan sekadar hasil kerja keras, melainkan juga hasil dari kejujuran dan doa.

Islam menekankan pentingnya keseimbangan. Alquran menyebutkan: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).

Ayat ini menjadi prinsip utama dalam Kurikulum Ekonomi dan Keluarga. Hidup hemat bukan berarti pelit, dan hidup sederhana bukan berarti miskin. Keseimbangan inilah yang menciptakan ketenangan rumah tangga.

Namun, realitas saat ini justru memperlihatkan kebalikan. Banyak keluarga yang hidup di atas kemampuan demi gengsi sosial. Hutang dianggap biasa, padahal menjadi beban moral dan spiritual. Rasulullah ﷺ bahkan menolak menshalatkan jenazah seseorang yang masih memiliki hutang dan belum melunasinya. Betapa seriusnya Islam memandang tanggung jawab finansial ini.

Maka, Kurikulum Ekonomi dan Keluarga harus mengajarkan nilai tanggung jawab, bukan sekadar kemampuan menghasilkan uang. Orang tua harus menjadi contoh dalam mengatur keuangan dengan bijak, tidak boros, tidak tamak, dan selalu mengutamakan keberkahan.

Tantangan Ekonomi Keluarga di Era Modern

Kehidupan modern menciptakan banyak tekanan baru. Biaya hidup meningkat, kebutuhan gaya hidup semakin kompleks, sementara nilai kebersamaan semakin menurun. Suami sibuk bekerja, istri lelah mengurus rumah, anak-anak tumbuh dengan kesepian meskipun segala fasilitas terpenuhi. Inilah paradoks ekonomi keluarga masa kini yang penuh harta, namun miskin rasa.

Kurikulum Ekonomi dan Keluarga hadir untuk menyeimbangkan kembali hal itu. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan diukur dari banyaknya uang, tetapi dari ketenangan hati. Sebagaimana firman Allah SWT: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Ekonomi yang dijalankan tanpa nilai dzikir akan membuat keluarga mudah goyah. Namun jika setiap nafkah dimulai dengan doa, setiap usaha disertai kejujuran, maka rezeki akan terasa cukup dan hati pun damai.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada keluarga yang diuji dengan kekurangan. Hidup dalam kesempitan, bekerja keras, namun rezeki terasa sempit. Dalam situasi seperti ini, Kurikulum Ekonomi dan Keluarga mengajarkan makna sabar dan tawakal. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar dan itu juga baik baginya.” (HR. Muslim).

Ayat dan hadits ini memberikan kekuatan spiritual dalam menghadapi ujian ekonomi. Sebab, Islam tidak menjanjikan kemewahan, tetapi menjanjikan ketenangan bagi mereka yang bersyukur dan sabar.

Pandangan Ulama Tentang Ekonomi dan Keluarga

Para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun telah lama membahas keterkaitan antara ekonomi dan moralitas. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa rezeki yang halal adalah pilar utama keluarga sakinah. Ia berkata, “Tidak ada keberkahan dalam harta yang diperoleh dengan kecurangan, karena setiap suapan yang haram akan memadamkan cahaya iman dalam hati.”

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa kekuatan ekonomi suatu bangsa berawal dari rumah tangga yang kuat dan jujur. Bila keluarga terbiasa dengan nilai kerja keras dan amanah, maka masyarakatnya akan makmur tanpa kerakusan.

Dalam konteks kontemporer, ulama seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi juga menekankan pentingnya Kurikulum Ekonomi dan Keluarga yang berbasis syariah. Menurutnya, keluarga Muslim seharusnya memiliki literasi keuangan Islam dalam menentukan halal dan haram dalam transaksi, menjauhi riba, serta mengelola harta dengan niat ibadah.

Implementasi Kurikulum Ekonomi dan Keluarga di Kehidupan Sehari-Hari

Untuk menghidupkan Kurikulum Ekonomi dan Keluarga, dibutuhkan langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, setiap keluarga harus memiliki kesadaran spiritual bahwa ekonomi adalah bagian dari amanah. Setiap keputusan keuangan mulai dari mencari pekerjaan, memilih investasi, hingga menggunakan harta harus disertai niat untuk mencari ridha Allah.

Kedua, pendidikan ekonomi keluarga harus dimulai sejak anak-anak kecil. Mereka perlu diajarkan nilai kejujuran dalam jual beli, pentingnya sedekah, dan bahaya keserakahan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Artinya, ekonomi yang baik bukan yang menumpuk kekayaan, tetapi yang menebar manfaat.

Ketiga, dalam rumah tangga, suami dan istri harus menjadi mitra dalam mengatur keuangan. Islam menganjurkan musyawarah dalam segala urusan, termasuk keuangan. Firman Allah SWT: “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38).

Keluarga yang terbuka dalam hal ekonomi akan lebih kuat menghadapi ujian. Tidak ada rahasia keuangan yang tersembunyi, tidak ada kecurigaan yang menimbulkan konflik.

Keempat, Kurikulum Ekonomi dan Keluarga juga mengajarkan pentingnya berbagi. Harta yang dikeluarkan dalam zakat, infak, dan sedekah tidak akan berkurang, bahkan bertambah berkali lipat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim). Dengan membiasakan keluarga untuk berbagi, hati menjadi lapang dan rezeki menjadi berkah.

Namun, tidak semua orang mampu menerapkan prinsip ini dengan mudah. Ada keluarga yang diuji dengan sifat tamak, ada yang terlalu boros, dan ada pula yang terlalu takut miskin hingga enggan berbagi. Inilah tantangan moral dalam Kurikulum Ekonomi dan Keluarga sebagaimana mengajarkan keseimbangan antara hemat dan dermawan, antara usaha dan tawakal.

Kurikulum Ekonomi dan Keluarga sejatinya bukan sekadar teori, melainkan cermin dari keimanan. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati bukan diukur dari banyaknya harta, melainkan dari banyaknya keberkahan. Ketika keluarga mampu menata ekonomi dengan prinsip Islam, maka rumah tangga akan menjadi tempat yang penuh kasih, tenang, dan jauh dari keserakahan dunia.

Bagikan:

Related Post