Setiap manusia hidup dengan rutinitas. Apa yang dikerjakan setiap hari, yang diulang terus-menerus, lambat laun akan menjadi karakter. Dan dalam Islam, kebiasaan bukanlah hal sepele. Ia bisa menjadi tolok ukur kualitas iman, kepribadian, dan konsistensi seorang hamba di mata Allah. Kebiasaan yang baik akan mengangkat derajat, sementara kebiasaan buruk bisa menjadi sebab kehinaan, bahkan meskipun seseorang terlihat baik di luar.
Rasulullah SAW bersabda: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang paling konsisten meskipun sedikit.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini memberikan pelajaran bahwa yang menjadi tolok ukur bukanlah besar kecilnya perbuatan, tapi kontinuitasnya. Sebab dari kebiasaan itulah seseorang akan dinilai apakah ia istiqamah atau hanya semangat sesaat. Banyak orang yang hanya rajin ibadah saat Ramadhan, tapi lalai di bulan-bulan lain. Ada pula yang semangat bersedekah saat bencana, lalu kembali pelit saat kondisi tenang. Ini menunjukkan bahwa tolok ukur keimanan seseorang terlihat dari apa yang ia lakukan secara terus-menerus, bukan dari momen tertentu.
Bahkan dalam ilmu fikih, para ulama menjadikan ‘urf (kebiasaan masyarakat) sebagai tolok ukur dalam memahami hukum jika tidak ditemukan dalil spesifik. Artinya, Islam sendiri mengakui kekuatan kebiasaan dalam membentuk hukum dan perilaku.
Imam Al-Qarafi mengatakan: “Kebiasaan itu bisa menjadi dasar hukum sebagaimana nash dalam beberapa keadaan.”
Ini membuktikan bahwa kebiasaan tidak hanya berdampak pada diri pribadi, tapi juga pada masyarakat dan hukum sosial. Maka kebiasaan yang baik harus dijaga, karena ia menjadi identitas dan cerminan nilai hidup yang dianut seseorang atau komunitas.
Tolok Ukur Keimanan dan Akhlak Sehari-hari
Jika seseorang ingin mengetahui kualitas dirinya, jangan hanya lihat saat ia berada di masjid atau dalam acara keagamaan. Lihatlah saat ia sendirian, saat tidak ada yang memperhatikan, dan saat tidak ada sorotan publik. Di sanalah kebiasaan sejatinya terbentuk, dan dari sanalah tolok ukur keimanan yang sesungguhnya bisa dinilai.
Orang yang terbiasa jujur dalam hal-hal kecil, besar kemungkinan ia jujur dalam urusan besar. Tapi siapa yang biasa menipu dalam urusan kecil, ia bisa melakukan kejahatan besar ketika ada kesempatan. Maka kebiasaan jujur, sabar, rendah hati, tidak pamer, bukan sekadar perilaku sesaat, tapi tolok ukur kematangan iman.
Sebaliknya, ada yang rajin sholat tapi terbiasa menggunjing. Ada yang pintar membaca Al-Qur’an tapi tidak bisa menahan emosi. Ada pula yang dikenal aktif di kegiatan dakwah tapi suka meremehkan orang lain. Kebiasaan seperti ini justru menjadi tolok ukur buruk, karena menunjukkan bahwa ilmu dan ibadah belum meresap ke dalam hati dan perilaku sehari-hari.
Rasulullah SAW memperingatkan: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh menjadi baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hati yang baik akan melahirkan kebiasaan baik. Sedangkan hati yang sakit akan menimbulkan kebiasaan buruk meskipun secara lahiriah terlihat agamis. Inilah sebabnya mengapa tolok ukur kualitas seseorang bukan pada penampilan semata, tapi pada kebiasaan yang muncul dari dalam dirinya.
Kebiasaan Baik Menjadi Cerminan Karakter Asli
Banyak yang mampu tampil mengesankan sesekali, tapi sedikit yang mampu menjaga kebaikan sebagai rutinitas. Seseorang mungkin bisa pura-pura ramah di depan kamera, tapi apakah ia bisa tetap sabar saat dimarahi anaknya? Bisa jadi ia dermawan di media sosial, tapi apakah ia tetap memberi saat tak ada yang melihat? Di sinilah kebiasaan menjadi tolok ukur keaslian karakter.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menegaskan: “Karakter sejati seseorang tampak dari kebiasaannya. Tidak ada yang lebih jujur dalam menunjukkan isi hati selain apa yang biasa dilakukan setiap hari.”
Mereka yang terbiasa mengucap syukur akan tetap tenang di saat krisis. Mereka yang biasa bangun malam untuk tahajud, akan lebih kuat menghadapi musibah. Sebaliknya, mereka yang biasa mengeluh, terbiasa iri, dan terbiasa membandingkan hidupnya dengan orang lain akan mudah goyah bahkan oleh hal sepele. Maka tolok ukur kekuatan mental dan spiritual seseorang tidak bisa dilihat dari pencapaiannya, tapi dari apa yang ia lakukan berulang-ulang saat tak ada yang menilai.
Namun masih banyak orang yang meremehkan kebiasaan. Mereka menganggap kebiasaan buruk sebagai hal sepele: menunda-nunda, berkata kasar, tidak menepati janji, dan lain-lain. Padahal dari situlah karakter buruk terbentuk, lalu menjadi beban di akhirat. Sebab Allah tidak hanya menilai momen besar dalam hidup kita, tapi setiap detik yang kita habiskan, dan setiap kebiasaan yang kita pelihara.