Hukum dan Dalil Makan

Hukum dan Dalil Makan

Makan adalah salah satu aktivitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Setiap manusia, tanpa terkecuali, memerlukan makanan agar tubuh dapat bertahan hidup. Namun, dalam pandangan Islam, hukum dan dalil makan bukanlah perkara sederhana. Aktivitas ini bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan biologis, melainkan juga menjadi bagian dari ibadah jika dilakukan sesuai aturan syariat. Di sinilah perbedaan antara seorang mukmin dengan mereka yang tidak beriman: bagi seorang mukmin, makan tidak hanya untuk perut, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Islam menuntun umatnya untuk selalu memperhatikan apa yang dimakan, bagaimana cara memakan, serta untuk tujuan apa makanan itu dikonsumsi. Sebaliknya, ketika makan dilakukan tanpa aturan, dengan rakus, serakah, dan melanggar ketentuan Allah, maka ia dapat menjadi sumber malapetaka, penyakit, bahkan murka Allah. Inilah pentingnya membahas hukum dan dalil makan agar kita memahami bahwa sekecil apa pun aktivitas, Islam tetap memberikan arahan yang jelas.

Pandangan Al-Qur’an Tentang Makan

Al-Qur’an memberikan banyak penekanan mengenai makan, terutama pada aspek kehalalan dan kebaikan. Allah berfirman: “Wahai sekalian manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah ayat 168)

Ayat ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, makanan harus halal secara hukum. Kedua, makanan itu juga harus baik, artinya menyehatkan dan tidak membahayakan tubuh. Dari sini dapat dipahami bahwa hukum dan dalil makan selalu berkaitan erat dengan halal dan thayyib. Tidak semua yang halal otomatis baik, dan tidak semua yang baik otomatis halal.

Sebagai contoh, makanan berlemak tinggi mungkin halal, tetapi jika dikonsumsi berlebihan bisa merusak kesehatan. Sebaliknya, makanan bergizi seperti daging babi mungkin dianggap baik secara nutrisi, tetapi jelas diharamkan dalam Islam. Maka keseimbangan antara halal dan baik menjadi kunci agar aktivitas makan menjadi ibadah yang penuh keberkahan.

Hadits Nabi Tentang Makan

Rasulullah ﷺ memberikan banyak teladan dalam urusan makan. Beliau bersabda: “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus melakukannya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafas.” (HR Bukhari)

Hadits ini mengandung pelajaran mendalam. Hukum dan dalil makan tidak sekadar berbicara tentang halal atau haram, melainkan juga tentang kesederhanaan. Rasulullah ﷺ memperingatkan bahwa kerakusan dalam makan bisa menjadi pintu berbagai penyakit, bahkan bisa mematikan hati. Tidak sedikit orang yang akhirnya jatuh dalam penderitaan karena terlalu menuruti nafsu makan tanpa batas.

Namun di sisi lain, makan juga dapat menjadi ibadah yang besar pahalanya. Dalam hadits, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang ketika makan, ia memuji-Nya, dan ketika minum ia memuji-Nya.” (HR Muslim) Dari sini terlihat, betapa makan yang sederhana pun bisa mengundang ridha Allah jika dilakukan dengan syukur.

Hukum dan Dalil Makan yang Diharamkan

Ada makanan yang dengan jelas diharamkan dalam Islam, seperti bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah.  “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al-Maidah ayat 3)

Larangan ini bukan tanpa alasan. Bangkai dapat membawa penyakit, darah menjadi sarang kuman, dan daging babi terbukti membawa cacing berbahaya. Di sinilah terlihat bahwa hukum dan dalil makan tidak hanya mengatur dari sisi spiritual, tetapi juga membawa maslahat bagi kesehatan jasmani manusia.

Akan tetapi, terdapat juga kondisi darurat yang membuat makanan haram bisa dikonsumsi. Allah berfirman: “Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al-Baqarah ayat 173) Ayat ini menunjukkan betapa Allah Maha Pengasih, bahwa dalam keadaan darurat, hukum bisa menjadi lebih fleksibel demi menjaga kehidupan seorang hamba.

Makan dalam Islam bukanlah sekadar memenuhi selera. Ia bisa menjadi jalan menuju ketaatan atau sebaliknya jalan menuju murka. Banyak orang yang lupa diri, menjadikan makan dengan makan-makanan mewah dan instan sebagai ajang pamer kekayaan, pesta pora, dan bahkan mubazir. Padahal, Allah dengan tegas melarang kemubaziran. Allah berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra ayat 27)

Bukankah hati kita sering tersayat melihat orang kaya membuang makanan, sementara di sudut jalan ada fakir miskin yang kelaparan? Inilah wajah buruk dari makan yang tidak mengikuti aturan syariat. Hukum dan dalil makan mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan, tidak hanya antara halal dan haram, tetapi juga antara kenyang dan lapar, antara kebutuhan pribadi dan kepedulian terhadap sesama.

Di sisi lain, betapa indahnya ketika seseorang makan dengan penuh syukur, lalu menyisihkan sebagian hartanya untuk memberi makan orang miskin. Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang memberi makan seorang mukmin hingga ia kenyang, maka Allah akan memasukkannya ke dalam salah satu pintu surga yang tidak dimasuki oleh selainnya.” (HR Tirmidzi) Hadits ini menggetarkan hati, karena menunjukkan betapa besar pahala memberi makan orang lain.

Hukum makan juga mencakup adab dan tata cara. Ulama besar seperti Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menjelaskan adab-adab makan, di antaranya membaca basmalah sebelum makan, makan dengan tangan kanan, tidak mencela makanan, dan berhenti sebelum kenyang. Semua ini adalah bagian dari hukum dan dalil makan yang memperhalus jiwa seorang mukmin, menjadikan setiap suap makanan sebagai ladang pahala.

Namun, jika adab-adab ini dilanggar, makan bisa menjadi sumber dosa. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setan makan dengan tangan kiri, maka janganlah kamu makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim) Hadits ini bukan sekadar larangan teknis, melainkan bentuk pendidikan agar seorang muslim tidak menyerupai setan dalam kebiasaannya.

Bagikan:

Related Post