Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Muslim di Indonesia mulai menunjukkan peningkatan minat terhadap berqurban unta dan kerbau. Jika dulu sapi dan kambing menjadi hewan qurban yang umum, kini unta dan kerbau mulai mendapat tempat di hati sebagian kaum Muslimin. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan keinginan untuk menunaikan ibadah secara lebih maksimal, tetapi juga menunjukkan kebangkitan semangat berbagi dengan cara yang lebih besar.
Namun berqurban unta bukan hanya soal ukuran dan nilai ekonomi. Ia memiliki dimensi spiritual yang dalam. Rasulullah SAW sendiri tidak melarang umatnya untuk menyembelih hewan qurban dalam berbagai jenis, selama memenuhi syarat sah dan tidak mengandung cacat. Justru unta menjadi hewan yang sangat utama untuk dijadikan qurban, sebagaimana dijelaskan dalam hadist shahih:
“Seseorang menyembelih unta sebagai qurban, lebih utama daripada menyembelih sapi atau kambing.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini memberikan dorongan kuat kepada mereka yang mampu secara finansial untuk menunaikan ibadah qurban dalam bentuk yang lebih afdal. Namun di sisi lain, muncul pula tantangan dan pertanyaan. Apakah berqurban unta bisa dilakukan di wilayah yang tidak memiliki habitat unta? Bagaimana pendistribusiannya agar tetap sesuai syariat?
Makna Berqurban Dengan Unta
Berqurban unta adalah bentuk ibadah yang tidak hanya besar secara fisik, tetapi juga mencerminkan keikhlasan dan totalitas dalam ketaatan. Unta adalah hewan yang nilainya mahal, sulit dirawat, dan tidak umum di berbagai wilayah. Maka siapa yang mampu menyembelih unta, menunjukkan bahwa ia benar-benar menempatkan Allah di atas segalanya—di atas harta, kebiasaan, dan kemudahan.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amal anak Adam pada hari Nahr yang lebih dicintai Allah selain menyembelih hewan qurban.” (HR Tirmidzi)
Dalam konteks ini, berqurban unta menjadi manifestasi dari ayat dan hadist yang menekankan pentingnya memberikan yang terbaik kepada Allah. Sebagaimana Nabi Ibrahim rela menyembelih putranya demi perintah Ilahi, maka menyembelih hewan ternak terbaik pun menjadi simbol ketaatan total.
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa hewan qurban terbaik adalah unta, kemudian sapi, lalu kambing. Urutan ini ditentukan bukan hanya karena ukuran daging, tetapi karena status simboliknya dalam budaya Arab dan pengorbanan finansial yang lebih besar.
Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua orang memahami esensi berqurban unta. Ada yang melakukannya demi pamer di media sosial, menunjukkan gengsi, atau sekadar mengikuti tren. Di sinilah letak bahaya riya’. Amal yang seharusnya ikhlas karena Allah, berubah menjadi sarana pencitraan diri.
Sebaliknya, ada pula yang menolak gagasan berqurban unta karena dianggap terlalu berlebihan. Mereka merasa cukup dengan kambing atau sapi, bahkan ada yang meremehkan semangat mereka yang ingin berqurban lebih besar. Padahal syariat tidak pernah membatasi niat baik seseorang selama dalam koridor yang benar. Yang salah bukan qurbannya, tapi niatnya jika tidak benar.
Tantangan Dalam Berqurban Unta di Indonesia
Di Indonesia, berqurban unta tentu menghadapi tantangan logistik. Unta bukan hewan asli Indonesia. Ia harus didatangkan dari luar negeri, biasanya dari Timur Tengah atau Afrika. Biayanya besar, prosedurnya rumit, dan distribusinya memerlukan perhatian ekstra. Namun dengan kemajuan teknologi dan kolaborasi lembaga sosial, semua itu menjadi mungkin dilakukan.
Ada pula fenomena berqurban unta secara patungan, yang dilakukan di luar negeri, lalu dagingnya dibagikan kepada kaum dhuafa di wilayah yang sangat membutuhkan. Ini menjadi solusi bagi mereka yang ingin mendapatkan pahala qurban unta, tapi terkendala kondisi geografis. Meskipun penyembelihan dilakukan di negara lain, selama niat, dana, dan pengelolaan sesuai syariat, maka ibadah tetap sah.
Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa penyembelihan qurban dapat dilakukan oleh wakil di tempat lain, selama memenuhi ketentuan hukum Islam dan diniatkan secara jelas oleh yang berqurban. Maka berqurban unta melalui lembaga amil yang amanah tetap diakui dan diberi ganjaran besar.
Namun tidak sedikit masyarakat yang sinis terhadap praktik ini. Mereka menganggap berqurban unta sebagai gaya hidup baru orang kaya, bukan ibadah. Ada pula yang memprovokasi dengan mengatakan bahwa uang qurban lebih baik disedekahkan. Padahal qurban dan sedekah adalah dua ibadah berbeda dengan fungsi yang tidak saling meniadakan.
Berqurban unta bukan sekadar tentang jumlah daging, tapi tentang melawan ego. Ketika seseorang merelakan hartanya yang besar untuk dibagi kepada yang membutuhkan, maka ia sedang menaklukkan dirinya sendiri. Namun jika masyarakat masih terjebak pada prasangka dan rasa iri, maka keindahan ibadah ini tidak akan pernah dirasakan.