Dalam hidup, setiap manusia pasti melewati fase yang penuh kesempitan masa di mana beban terasa berat, jalan tampak gelap, dan harapan seolah menipis. Namun, justru di sanalah Allah sering kali membuka pintu rahmat yang tersembunyi. Di balik setiap kesulitan, terdapat peluang untuk mendekatkan diri kepada-Nya, sebuah Kesempatan dalam Kesempitan Beribadah yang sering tak disadari.
Kesempitan hidup bukanlah hukuman, melainkan panggilan lembut dari Allah agar hamba-Nya kembali mengingat siapa yang sesungguhnya berkuasa atas takdir. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dengan janji yang menenangkan hati:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 5–6)
Ayat ini tidak hanya menyampaikan harapan, tetapi juga hikmah. Bahwa dalam setiap kesempitan, selalu ada kesempatan untuk melihat cahaya iman, memperkuat ibadah, dan merasakan kedekatan yang lebih intim dengan Sang Pencipta.
Namun, kenyataannya, tidak semua orang mampu memaknai kesempitan dengan pandangan hati yang benar. Sebagian orang memilih mengeluh, menyalahkan keadaan, bahkan menjauh dari Allah. Sementara sebagian lainnya, justru menemukan kekuatan besar untuk beribadah lebih sungguh-sungguh di tengah penderitaan. Perbedaan itu bukan terletak pada keadaan, tetapi pada keimanan.
Menemukan Cahaya di Tengah Gelapnya Ujian
Kesempatan dalam Kesempitan Beribadah dapat dirasakan ketika hati belajar menerima bahwa segala ujian adalah bentuk kasih sayang Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan bahwa kesulitan bukan sekadar penderitaan, tetapi tanda perhatian dari Allah. Sebab, hanya mereka yang dicintai-Nya yang diberi ujian agar jiwanya tumbuh lebih kuat.
Kesempitan ekonomi, penyakit, kehilangan, atau kekecewaan adalah ladang untuk menanam amal yang tinggi nilainya di sisi Allah. Orang yang tetap beribadah dalam kesulitan memiliki derajat yang berbeda dibanding mereka yang hanya taat saat lapang.
Imam Ibnul Qayyim pernah berkata dalam Madarij As-Salikin: “Terkadang Allah menahan nikmat dunia dari seorang hamba, agar hamba itu lebih bergantung kepada-Nya. Maka ujian itu bukan keburukan, melainkan bentuk kebaikan yang belum disadari.”
Ketika hati telah memahami hal ini, maka kesempitan bukan lagi dianggap sebagai beban, tetapi sebagai ladang pahala. Di saat air mata mengalir karena perihnya ujian, sebenarnya pintu rahmat sedang terbuka lebar.
Allah SWT berfirman: “Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini menegaskan bahwa sabar bukan berarti diam tanpa usaha, melainkan terus berjuang sambil memperkuat hubungan dengan Allah. Sabar adalah bentuk ibadah yang tinggi nilainya. Orang yang mampu bersabar di tengah kesempitan berarti telah menemukan Kesempatan dalam Kesempitan Beribadah, sebab di situlah kualitas imannya diuji dan dimurnikan.
Ibadah di Tengah Ujian Setiap Manusia
Ibadah di masa lapang terasa mudah. Namun beribadah di masa sempit di saat hati gelisah, rezeki menipis, atau tubuh lemah adalah bentuk keteguhan yang hanya dimiliki oleh orang-orang pilihan.
Rasulullah ﷺ pernah mengalami kesempitan luar biasa dalam hidupnya. Dihina, diusir dari Makkah, kehilangan orang-orang yang dicintainya, bahkan lapar berhari-hari. Tetapi tidak sekalipun beliau berhenti beribadah. Justru semakin berat ujian, semakin kuat ibadahnya. Dalam riwayat disebutkan bahwa kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri dalam shalat malam.
Ketika Aisyah r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini padahal dosamu telah diampuni?”
Beliau menjawab: “Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jawaban ini menunjukkan betapa ibadah tidak tergantung pada keadaan, tetapi pada kesadaran. Di tengah kesempitan, Nabi tetap melihat kesempatan untuk memperbanyak syukur dan kedekatan kepada Allah.
Begitu pula para sahabat. Bilal bin Rabah disiksa di tengah padang pasir yang membakar kulitnya, tetapi lisannya tak berhenti mengucap “Ahad, Ahad” Allah yang Maha Esa. Khabbab bin Al-Aratt dicambuk sampai berdarah, namun tidak menyerah. Mereka memahami bahwa kesempitan dunia hanyalah jalan menuju kemuliaan akhirat.
Ulama salaf juga meneladani semangat ini. Imam Ahmad bin Hanbal pernah dipenjara dan disiksa karena mempertahankan kebenaran dalam fitnah Khalq Al-Qur’an. Namun di balik kesempitan itu, beliau berkata, “Aku belum pernah merasakan manisnya iman seperti ketika aku berada di dalam penjara.”
Pernyataan ini mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya. Di balik penderitaan fisik, ada kedamaian spiritual yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar mengenal Tuhannya. Inilah puncak dari Kesempatan dalam Kesempitan Beribadah ketika tubuh terkurung, tapi jiwa merdeka karena dekat dengan Allah.
Menjadikan Kesulitan Sebagai Jalan Mendekap Allah
Tidak ada manusia yang ingin hidup dalam kesempitan. Namun, hanya melalui kesempitanlah banyak orang mengenal hakikat dirinya dan Tuhan yang disembahnya. Ujian membuat manusia menyadari betapa lemahnya dia, dan betapa kuatnya Allah.
Allah SWT berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak akan diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)
Ayat ini adalah pengingat bahwa ujian adalah bukti keimanan, bukan tanda kebencian. Justru dengan ujian itulah Allah mengangkat derajat seorang hamba.
Dalam kesempitan, seseorang belajar makna doa yang sesungguhnya. Ia tidak lagi berdoa sekadar dengan lisan, melainkan dengan air mata dan ketundukan jiwa. Ia merasakan bahwa setiap sujud bukan hanya kewajiban, tetapi tempat berlindung.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Doa adalah senjata orang mukmin, tiang agama, dan cahaya langit dan bumi.” (HR. Al-Hakim)
Doa dalam kesempitan lebih tulus, lebih dalam, lebih jujur. Karena ketika semua pintu dunia tertutup, hanya pintu Allah yang tetap terbuka.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa “Ujian adalah panggilan Allah agar hamba kembali kepada-Nya dengan kesadaran penuh. Ia seperti obat yang pahit namun menyembuhkan.”
Dengan demikian, Kesempatan dalam Kesempitan Beribadah adalah momentum spiritual yang tidak boleh disia-siakan. Di saat kesulitan datang, Allah sedang mengundang kita untuk merasakan nikmat ibadah yang lebih tinggi daripada sekadar rutinitas.
Seseorang yang beribadah dalam kesempitan akan memahami bahwa kekuatan sejati tidak datang dari harta, kedudukan, atau manusia lain, melainkan dari Allah semata. Ia belajar untuk bergantung sepenuhnya pada Dzat yang Maha Mengatur segalanya.
Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: “Wahai anak Adam, jika engkau mengingat-Ku dalam kesempitan, Aku akan mengingatmu dalam kelapangan.” (HR. Ahmad)
Janji ini begitu indah dan menggugah. Siapa pun yang mendekat kepada Allah di saat susah, akan mendapatkan pertolongan yang luar biasa di masa lapang.
Namun, tidak semua orang bisa menemukan hikmah ini. Sebagian justru menjauh ketika diuji. Mereka menganggap bahwa doa tak lagi berguna, dan ibadah tak memberi hasil. Padahal, di saat itulah Allah sedang menguji keikhlasan: apakah kita beribadah karena cinta kepada-Nya, atau hanya karena ingin mendapat balasan dunia.
Ulama salaf berkata, “Siapa yang mengenal Allah di masa sempit, Allah akan mengenalnya di masa lapang.” Maknanya, barang siapa tetap beribadah di masa sulit, maka Allah akan mengangkatnya di masa tenang dengan karunia yang berlipat.
Bahkan, sering kali kesempitan menjadi awal dari hidayah. Banyak orang yang justru kembali ke jalan Allah karena merasakan getirnya ujian. Sakit, kehilangan, atau kegagalan menjadi titik balik menuju cahaya. Itulah bukti kasih sayang Allah yang tidak tampak di permukaan.
Hidup selalu berjalan antara dua fase: kesempitan dan kelapangan. Namun, keduanya sejatinya adalah ujian. Dalam kelapangan, manusia diuji dengan rasa syukur. Dalam kesempitan, diuji dengan kesabaran. Orang yang mampu menemukan Kesempatan dalam Kesempitan Beribadah berarti telah memahami rahasia terbesar dalam kehidupan spiritual: bahwa setiap kesulitan adalah undangan untuk lebih dekat kepada Allah.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6)
Maka, jangan biarkan kesempitan menutup jalan ibadah. Justru jadikan ia jembatan menuju ketenangan. Sebab, hanya di tengah ujian yang paling berat, hati manusia bisa menemukan Allah dengan sebenar-benarnya.



















