Akad adalah ikatan. Dalam Islam, setiap ikatan yang dibuat atas dasar kesepakatan dua pihak, terutama dalam muamalah, adalah amanah yang wajib ditunaikan. Pemenuhan akad bukan sekadar formalitas administratif, melainkan kewajiban moral dan spiritual yang menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhannya. Namun realitasnya, banyak orang meremehkan janji, mengingkari kesepakatan, dan menjadikan akad sebagai alat untuk keuntungan sepihak.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS Al-Ma’idah: 1)
Ayat ini menjadi landasan kuat bahwa pemenuhan akad bukan hal opsional. Ia adalah perintah langsung dari Allah kepada orang-orang beriman. Betapa besar dosa orang yang menyepelekan akad. Janji bisnis yang dilanggar, kontrak kerja yang diingkari, atau komitmen lisan yang tak dipenuhi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.
Dalam muamalah Islam, prinsip pemenuhan akad sangat dijunjung tinggi. Ia mencerminkan karakter jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Rasulullah SAW bersabda: “Muslim adalah orang yang paling baik dalam memenuhi syarat-syaratnya.” (HR Abu Dawud, Ahmad)
Hadist ini menegaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh mempermainkan syarat dan ketentuan dalam akad. Ia tidak boleh membuat syarat sepihak yang merugikan pihak lain, lalu mencari-cari alasan untuk lepas dari kewajiban. Sebab setiap akad, baik tertulis maupun lisan, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Akad dalam Perspektif Ulama dan Konsekuensinya
Para ulama sepakat bahwa pemenuhan akad adalah kewajiban mutlak. Imam Malik menyatakan bahwa akad yang dilakukan atas dasar ridha dan tanpa paksaan harus dipenuhi, bahkan jika tidak tertulis. Dalam Al-Muwatha’, beliau menyebutkan bahwa akad lisan pun mengikat selama tidak bertentangan dengan syariat. Karena itulah, akad nikah, jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya menjadi sah hanya dengan ijab kabul, walaupun tanpa dokumen.
Imam Al-Syafi’i menekankan bahwa akad adalah janji yang harus ditepati, kecuali jika mengandung unsur haram atau membahayakan. Dalam Al-Umm, beliau menulis: “Setiap akad yang dilakukan dengan kejelasan dan keridhaan kedua belah pihak, maka tidak boleh dibatalkan sepihak kecuali dengan alasan syar’i.”
Namun ironi terjadi ketika akad dijadikan alat permainan. Ada yang membuat akad hanya untuk menggugurkan kewajiban hukum, lalu mencari celah untuk menghindar. Ada pula yang menandatangani perjanjian, tetapi dalam hati tidak berniat untuk menepatinya. Perilaku ini bukan hanya mencoreng nama baik pribadi, tetapi juga menodai nilai Islam.
Pemenuhan akad juga menjadi tolok ukur integritas seseorang. Orang yang suka mengingkari akad, biasanya tidak bisa dipercaya dalam aspek lain. Ia terbiasa berbohong, memanipulasi keadaan, bahkan memfitnah jika terdesak. Sementara orang yang menjaga akadnya, biasanya disiplin, tegas, dan menjunjung tinggi etika. Inilah karakter yang diwariskan Rasulullah kepada umatnya.
Namun tak bisa dimungkiri, dalam praktiknya banyak pihak merasa terjebak dalam akad yang merugikan. Mereka menandatangani kontrak karena tekanan ekonomi, tanpa membaca dengan cermat isi pasal-pasalnya. Lalu setelah sadar, mereka ingin keluar dari perjanjian itu tanpa konsekuensi. Padahal Islam mengajarkan bahwa kehati-hatian sebelum akad adalah kewajiban, sementara pemenuhan akad setelah kesepakatan adalah amanah yang tidak bisa ditawar.
Dampak Baik dan Buruk dari Pemenuhan Akad
Ketika seseorang menunaikan akadnya dengan baik, maka kepercayaan pun tumbuh. Bisnis berjalan lancar, relasi terjaga, dan keberkahan mengalir dalam setiap transaksi. Inilah buah dari kejujuran dan komitmen. Bahkan dalam skala negara, ekonomi yang sehat dibangun di atas prinsip pemenuhan akad yang konsisten. Tidak ada korupsi, tidak ada penipuan, dan tidak ada pelanggaran kontrak yang semena-mena.
Sebaliknya, pelanggaran akad menimbulkan efek domino yang merusak. Reputasi hancur, hubungan bisnis retak, bahkan bisa berujung pada tuntutan hukum. Tapi yang lebih fatal adalah kehilangan keberkahan. Sebab setiap akad yang diingkari akan menjadi beban di hari hisab. Rasulullah SAW memperingatkan:
“Tanda orang munafik ada tiga: jika berkata dusta, jika berjanji ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini cukup jelas bahwa mengingkari akad termasuk ciri kemunafikan. Maka siapa yang mengaku beriman tapi mudah sekali mengkhianati perjanjian, hendaknya ia khawatir. Sebab kelalaian dalam pemenuhan akad bisa menjadi jalan menuju kebinasaan akhirat.
Namun ada pula yang terlalu keras dalam menuntut akad, tanpa memberi ruang maaf atau kompromi. Islam tetap memberi ruang rahmat dalam muamalah. Jika satu pihak benar-benar dalam keadaan darurat atau terzalimi, maka pihak lain dianjurkan untuk memberi keringanan. Tapi bukan berarti menghapus akad, melainkan menyesuaikannya dengan maslahat bersama. Inilah indahnya syariat Islam yang adil namun penuh kasih.
Dalam kehidupan sehari-hari, pemenuhan akad bisa dimulai dari hal-hal kecil: janji bertemu, komitmen pekerjaan, atau kesepakatan keluarga. Bila hal-hal ringan saja tak bisa ditunaikan, bagaimana bisa diharapkan seseorang menepati akad yang besar? Maka penting untuk membiasakan diri jujur sejak awal. Jika tidak sanggup, jangan buat perjanjian. Jika sudah sepakat, maka tunaikan dengan sepenuh hati.