Dalil Ulama Mengenai Alkohol

Alkohol telah menjadi bagian dari perdebatan panjang dalam masyarakat modern. Di satu sisi, ia dianggap sebagai komoditas budaya dan ekonomi yang menguntungkan. Di sisi lain, ia menjadi penyebab dari kerusakan moral, kesehatan, dan sosial yang begitu besar. Dalam perspektif Islam, keberadaan alkohol tidak hanya dinilai dari sisi duniawi, tetapi juga dari konsekuensi spiritual dan dampaknya terhadap kehidupan seorang muslim.

Rasulullah SAW bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.” (HR Muslim)

Hadist ini menjadi dasar utama bagi umat Islam untuk memahami bahwa alkohol, dalam bentuk apapun, tidak bisa dilepaskan dari status keharamannya ketika ia membawa pengaruh memabukkan. Bahkan dalam kadar kecil, jika dikonsumsi untuk tujuan kesenangan, maka statusnya tetap haram. Islam tidak menilai sesuatu dari manfaatnya saja, tapi dari bahayanya yang lebih besar.

Banyak yang berargumen bahwa alkohol jika digunakan dalam jumlah sedikit tidak menimbulkan dampak berbahaya. Namun Rasulullah menegaskan: “Apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Pernyataan ini sangat tegas dan tidak memberikan ruang kompromi. Bahkan para ulama sepakat bahwa tidak ada istilah “minum sedikit asal tidak mabuk” dalam Islam. Karena pada hakikatnya, semua bentuk konsumsi alkohol mengarah pada kerusakan, baik jasmani, akal, maupun spiritual.

Pandangan Ulama Tentang Alkohol dalam Islam

Mayoritas ulama dari empat mazhab sepakat bahwa alkohol termasuk dalam kategori khamr yang keharamannya sudah jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal memiliki pandangan yang senada bahwa setiap cairan atau zat yang memabukkan, termasuk alkohol, adalah haram untuk dikonsumsi, diperjualbelikan, dan diproduksi.

Imam Al-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menyatakan: “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dari anggur, kurma, gandum, jagung, atau zat lain yang diproses hingga menjadi memabukkan. Maka alkohol yang mengandung unsur tersebut masuk dalam kategori yang sama.”

Sementara Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara bentuk padat, cair, atau uap selama ia mengandung unsur yang memabukkan. Hal ini menguatkan bahwa miras, meskipun dalam bentuk modern seperti etanol, tetap dianggap khamr jika digunakan secara konsumtif.

Namun ada pula pembahasan menarik tentang alkohol dalam konteks non-konsumtif, seperti pada parfum atau antiseptik. Dalam hal ini, sebagian ulama memberikan keringanan, dengan catatan tidak dikonsumsi dan tidak menimbulkan efek memabukkan. Tetapi bila miras tersebut menjadi bagian dari makanan, minuman, atau zat yang dikonsumsi, maka keharamannya tetap berlaku.

Realita Sosial dan Dampak Buruk Alkohol

Di tengah masyarakat, miras seringkali dianggap hal yang biasa. Banyak orang yang menjadikannya pelarian dari masalah, simbol pergaulan modern, atau bahkan bagian dari ritual sosial. Namun kenyataannya, miras menjadi sebab dari banyak kerusakan. Kecelakaan lalu lintas, kekerasan rumah tangga, pelecehan seksual, hingga tindakan kriminal lainnya sering diawali oleh konsumsi miras.

Ironisnya, sebagian kalangan muslim mulai longgar dalam menyikapi miras. Mereka beranggapan bahwa selama tidak mabuk, maka tidak masalah. Ada pula yang berkata bahwa mereka hanya ikut-ikutan dalam pesta, tanpa niat mabuk. Padahal dalam Islam, niat tidak bisa menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas dilarang.

Rasulullah SAW memperingatkan: “Dari khamr lahir segala keburukan.” (HR Al-Baihaqi)

Hadist ini memperlihatkan bahwa miras bukan sekadar masalah pribadi, tapi pintu masuk bagi kerusakan yang lebih besar. Ia merusak akal, melemahkan kontrol diri, dan membuat seseorang mudah melakukan maksiat. Bahkan tidak sedikit yang awalnya hanya coba-coba, lalu terjerumus dalam kecanduan, hingga menghancurkan masa depan mereka sendiri.

Masyarakat modern sering membungkus miras dengan kemasan mewah dan bahasa medis. Mereka menyebutnya sebagai relaksasi, terapi, atau seni hidup. Tapi kenyataannya, miras tidak memberi ketenangan, hanya menunda penderitaan. Ia membuat tubuh lemah, jiwa gelisah, dan hati jauh dari Allah. Mereka yang terbiasa mengonsumsi alkohol sulit merasakan khusyuk dalam ibadah. Hatinya tertutup, pikirannya tumpul, dan hidupnya penuh kegelisahan.

Islam menempatkan akal sebagai anugerah mulia yang harus dijaga. Karena itulah, segala yang merusak akal, termasuk alkohol, dilarang keras. Ulama besar seperti Imam Ibn Taymiyyah menulis dalam Majmu’ Fatawa: “Allah mengharamkan khamr karena ia menghancurkan akal, dan akal adalah dasar tanggung jawab manusia di hadapan Allah.”

Jika akal sudah rusak, maka semua dosa bisa terjadi. Maka sangat logis jika Islam melarang miras sejak dini, agar umat terhindar dari kehinaan. Namun masih banyak yang menganggap remeh, bahkan menjadikannya bagian dari gaya hidup.

Bagikan:

Related Post