Air mata bukan tanda kelemahan. Justru, dari tetesannya kita tahu betapa dalam cinta yang disimpan. Rasulullah SAW, pemimpin umat yang paling mulia, pernah menangis. Bukan karena takut pada dunia, bukan pula karena lelah menanggung beban dakwah, tapi karena kerinduan dan kepedulian mendalam terhadap umatnya. Rasulullah menangis karena cinta yang begitu besar pada mereka yang bahkan belum pernah beliau temui secara langsung yaitu kita, umat Islam akhir zaman.
Saat membaca kisah-kisah itu, hati siapa yang tidak tersentuh? Ketika Rasulullah menangis, bukan karena luka fisik yang beliau alami saat dilempari di Thaif, atau karena kelaparan yang menyesakkan di perut. Tetapi tangis itu keluar saat beliau membayangkan bagaimana nasib umatnya kelak. Apakah mereka akan mengikuti jalan yang benar? Apakah mereka akan menjaga ajarannya atau malah melupakannya?
Salah satu momen yang paling menyentuh hati adalah ketika Rasulullah SAW bermunajat kepada Allah pada malam hari, memohon ampun untuk umatnya hingga air mata membasahi pipinya. Malaikat Jibril turun dan menyampaikan bahwa Allah telah mengetahui tangis dan doa beliau. Bahkan Allah pun berfirman:
“Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad. Katakan kepadanya bahwa Kami akan membuat umatnya ridha dan tidak akan menyakitinya.” (HR Muslim)
Ini adalah bukti bahwa Rasulullah menangis bukan untuk dirinya sendiri, tetapi demi umatnya. Tangis itu mengandung cinta yang tak terbatas, ketulusan yang tak bisa diukur, dan pengorbanan yang tak ternilai.
Air Mata Rasulullah untuk Mereka yang Belum Lahir
Ada sebuah riwayat yang menyayat hati. Ketika Rasulullah SAW berada di pemakaman Baqi’, beliau memandangi pusara para sahabat. Lalu beliau berkata:
“Alangkah rindunya aku kepada saudara-saudaraku.”
Para sahabat yang ada bersama beliau bertanya, “Bukankah kami ini saudaramu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku, namun mereka beriman kepadaku.”
Dalam momen itu, Rasulullah menangis. Bayangkan, beliau menangis karena rindu kepada kita yang hidup berabad-abad setelah beliau wafat. Rasulullah tidak hanya memikirkan sahabatnya yang setia, tetapi juga generasi yang bahkan belum lahir. Tangis beliau adalah bukti cinta yang melintasi ruang dan waktu.
Namun sungguh menyedihkan, jika kita yang menjadi alasan Rasulullah menangis, justru abai terhadap ajarannya. Kita sibuk mengejar dunia, melupakan sunnah, bahkan meremehkan salat. Rasulullah yang hatinya penuh kasih justru akan merintih pilu ketika melihat bagaimana umatnya saling membenci, terpecah belah, dan jauh dari nilai Islam yang sejati.
Tak sedikit orang yang hari ini mengaku mencintai Rasulullah, tetapi tak pernah mencontoh perbuatannya. Bahkan ketika namanya disebut, hati tak bergetar, lisan tak berselawat. Padahal beliau adalah sosok yang setiap malam bersimpuh kepada Allah, berdoa agar umatnya tidak dimasukkan ke dalam neraka. Beliau rela menanggung kesakitan dunia agar kita selamat di akhirat. Dan tetap saja, Rasulullah menangis.
Menangisnya Rasulullah Saat Mendoakan Umatnya
Tangis beliau bukan sekadar emosi sesaat. Itu adalah tanda dari kedalaman perasaan yang luar biasa. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangan dan berdoa:
“Ya Allah, umatku, umatku, umatku…”
Melihat Rasulullah menangis dalam doa, Jibril pun datang bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Rasulullah menjawab, “Aku takut atas nasib umatku.” Maka Allah SWT pun berfirman:
“Wahai Jibril, sampaikan pada Muhammad bahwa Kami tidak akan menyia-nyiakan umatnya.”
Kisah ini membuat banyak ulama meneteskan air mata. Jika pemimpin seperti Rasulullah SAW begitu peduli terhadap kita, apa yang sudah kita lakukan untuk membalas cinta beliau? Apakah cukup hanya dengan mengucap salawat sesekali? Ataukah sudah saatnya kita benar-benar meneladani akhlaknya, menjaga ajarannya, dan meneruskan perjuangannya?
Ketika Rasulullah menangis, bumi pun seakan ikut merintih. Langit mendengar, para malaikat turun, dan Allah pun menyambut tangis itu dengan kasih-Nya. Namun bagaimana jika kini yang membuat Rasulullah menangis bukan lagi kerinduan, tetapi kekecewaan? Karena umatnya lebih bangga dengan budaya asing, lebih percaya pada sistem manusia daripada hukum Allah, dan lebih memilih popularitas daripada kebenaran.
Ada banyak sebab yang bisa membuat Rasulullah menangis hari ini. Ketika umat Islam saling menjatuhkan. Ketika masjid sepi dan hiburan dunia ramai. Ketika anak-anak Muslim lebih hafal lagu daripada Al-Qur’an. Ketika azan dianggap gangguan, tapi musik keras dirayakan. Semua ini adalah luka yang mungkin tak kita sadari, tapi sangat dirasakan oleh beliau.
Rasulullah menangis juga karena ia tahu bahwa sebagian dari umatnya akan berpaling dari ajaran Islam. Ada yang akan menyembunyikan kebenaran demi keuntungan. Ada pula yang menjual agamanya demi kursi kekuasaan. Rasulullah SAW sudah mengingatkan:
“Akan datang suatu masa, di mana orang-orang berpegang pada agama seperti menggenggam bara api.” (HR Tirmidzi)
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah menangis. Bukan karena takut kehilangan pengikut, tetapi karena beliau tak ingin satu pun dari kita tersesat. Beliau ingin kita semua berkumpul bersamanya di telaga Al-Kautsar. Tapi jika kita terus menjauh, mungkinkah wajah kita masih pantas untuk disambut dengan senyum beliau?