Setiap langkah seorang hamba menuju ketaatan bukanlah perkara mudah. Ada pertarungan batin, tekanan sosial, dan ujian lingkungan yang datang silih berganti. Salah satu bentuk ketaatan yang paling sering diuji adalah perintah bagi perempuan Muslim untuk berhijab. Bukan hanya soal kain yang menutupi rambut, tapi tentang keberanian untuk tunduk terhadap perintah ilahi yang wajib dijalankan, meski dunia terus membisikkan kebebasan tanpa batas.
Perintah dari Langit, Bukan Norma Sosial
Allah SWT berfirman: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” (QS. An-Nur: 31)
Ayat ini bukan sekadar anjuran, tetapi perintah yang tegas. Bahwa bagi perempuan beriman, berhijab adalah bagian dari identitasnya sebagai hamba. Ulama seperti Imam Al-Jassas dalam tafsir Ahkamul Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung hukum yang wajib, bukan sunnah atau opsional. Maka, menutup aurat bukanlah tradisi budaya atau ekspresi fesyen semata, melainkan perintah dari Sang Pencipta.
Namun kenyataannya, dunia hari ini sering memutarbalikkan nilai. Ada yang mencemooh perempuan yang mulai berhijab, menuduhnya fanatik, ketinggalan zaman, bahkan kehilangan jati diri. Mereka tidak tahu, di balik selembar kain itu, ada gejolak yang tak mudah dipadamkan. Ada perasaan takut ditolak, dijauhi, bahkan kehilangan pekerjaan. Tapi bagi yang memilih tetap melangkah, mereka telah membuktikan bahwa ketaatan lebih mulia daripada popularitas.
Ujian dalam Ketaatan
Tak semua perempuan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung kebaikan. Ada yang mulai berhijab karena hidayah, lalu dirundung oleh keluarga sendiri. Ada yang memilih menutup aurat, tapi justru kehilangan lingkaran pertemanan. Bahkan di media sosial, tidak sedikit yang dihujani komentar tajam hanya karena tampil dengan penampilan yang lebih syar’i.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Islam akan datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing (gharib).” (HR Tirmidzi)
Hadist ini memberikan penguatan batin bagi mereka yang merasa sendirian dalam ketaatan. Terutama perempuan yang memilih berhijab di tengah masyarakat yang memandang aurat sebagai bagian dari ekspresi bebas. Mereka dianggap aneh, tidak modern, bahkan fanatik. Padahal mereka hanya sedang berjuang menaati sesuatu yang wajib, bukan sekadar mengikuti tren.
Ada pula kisah menyentuh dari seorang gadis SMA yang memutuskan untuk berjilbab. Ia bukan dari keluarga religius. Saat ia mengutarakan keinginannya, sang ayah murka, menganggapnya radikal. Teman-temannya menjauh. Namun ia tetap bertahan, bahkan semakin giat menuntut ilmu agama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya sendiri mulai mengenakan kopiah, ibunya mulai memakai jilbab, dan adik-adiknya pun menyusul. Terkadang, satu langkah kecil dari seorang wanita bisa mengubah satu keluarga, bahkan satu generasi.
Namun tak semua cerita berakhir indah. Ada juga yang menyerah. Yang mulai berjilbab, lalu melepaskannya karena tidak tahan dibicarakan. Ada yang dipaksa untuk melepasnya demi mengikuti standar pekerjaan. Di sinilah ujian iman bekerja. Sebab Allah tak hanya melihat siapa yang memulai, tapi siapa yang tetap istiqamah meski disudutkan.
Antara Mode dan Makna
Dunia modern telah menciptakan persepsi baru tentang berjilbab. Banyak yang mengenakannya hanya sebagai simbol identitas, bukan sebagai bentuk ketaatan. Jilbab dipakai tapi tubuh tetap ditonjolkan. Rambut tertutup tapi pakaian ketat membalut badan. Mereka merasa telah memenuhi kewajiban, padahal sejatinya hanya mengganti bentuk, bukan memperbaiki isi.
Ulama seperti Syaikh Ibn Utsaimin menyatakan bahwa jilbab yang syar’i harus menutupi seluruh tubuh, tidak membentuk lekuk, tidak tembus pandang, dan tidak menyerupai pakaian wanita kafir. Jika tidak memenuhi syarat itu, maka jilbab tersebut belum dapat dikatakan sebagai pemenuhan syariat yang wajib.
Tapi di sisi lain, kita tidak bisa memukul rata. Bagi sebagian wanita, memulai berjilbab meski belum sempurna adalah awal perjuangan. Daripada mencemooh, lebih baik mendoakan dan membimbing. Karena hijrah adalah proses. Tidak semua langsung mampu sempurna. Dan Allah lebih mencintai langkah kecil yang konsisten daripada langkah besar yang penuh riya.
Sayangnya, banyak juga yang justru menilai dari tampilan luar semata. Mereka menganggap semua yang berjilbab pasti baik, dan yang belum pasti buruk. Ini juga bentuk kezaliman lain. Karena kebaikan tidak hanya diukur dari sehelai kain, tapi dari akhlak, niat, dan usaha seseorang dalam memperbaiki diri.