Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa

Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa

Santri bukan sekadar sosok berjubah dan berkopiah yang hidup di tengah pesantren dengan kitab kuning di tangannya. Mereka adalah penjaga nilai, pengemban moral, dan penjaga ruh bangsa ini. Di balik kesederhanaannya, tersembunyi kekuatan spiritual yang telah terbukti menopang berdirinya Indonesia. Jika bangsa ini ibarat tubuh, maka Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa adalah jantung yang menjaga aliran darah nilai-nilai ilahi agar tetap menghidupi seluruh organ peradaban.

Namun, di era modern yang penuh gempuran teknologi, globalisasi, dan ideologi asing, peran santri sering kali diremehkan. Padahal, sejarah membuktikan bahwa santri bukanlah sosok yang pasif di sudut surau, tetapi barisan pejuang yang menyalakan api kemerdekaan.

Jejak Sejarah Santri dalam Perjuangan Kedaulatan

Jika kita menelusuri lembaran sejarah bangsa Indonesia, Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa sudah terukir jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai negara. Santri bukan hanya pelajar agama, tetapi juga patriot sejati yang rela menumpahkan darah demi membela tanah air dan menjaga keutuhan bangsa.

Pada masa penjajahan Belanda, pesantren menjadi benteng pertahanan moral dan intelektual. Di saat penjajah menanamkan ideologi sekularisme, pesantren justru menumbuhkan semangat tauhid dan cinta tanah air. Ulama-ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, hingga KH. Zainul Arifin adalah contoh nyata bagaimana santri bertransformasi menjadi pemimpin umat sekaligus penggerak bangsa.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pernah mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Dalam fatwanya, beliau menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah kewajiban agama. Fatwa ini kemudian menjadi api semangat dalam pertempuran Surabaya, di mana ribuan santri mengangkat bambu runcing dan tekad jihad untuk mempertahankan kedaulatan negeri.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa mati dalam keadaan membela hartanya, maka ia mati syahid; barang siapa mati membela keluarganya, maka ia mati syahid; dan barang siapa mati membela agamanya, maka ia mati syahid.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Hadits ini menjadi napas perjuangan para santri. Mereka tidak hanya membela agama, tetapi juga bangsa sebagai amanah Allah SWT. Dalam pandangan Islam, mencintai tanah air bukan sekadar nasionalisme, melainkan bentuk cinta terhadap karunia Allah yang dititipkan dalam tanah kelahiran.

Santri kala itu tidak berjuang dengan senjata canggih, melainkan dengan keberanian, ilmu, dan keyakinan. Mereka berperang bukan karena haus kekuasaan, tetapi karena dorongan iman. Di sinilah Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa menjadi sangat mendasar: menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara perjuangan fisik dan spiritual.

Santri di Era Modern diantara Tantangan dan Harapan

Kini, setelah bangsa ini merdeka, tantangan santri tidak lagi berupa penjajahan fisik, tetapi penjajahan nilai dan moral. Dunia digital, kemajuan ekonomi, dan arus budaya asing menggempur jati diri bangsa. Dalam situasi seperti ini, Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa justru semakin dibutuhkan.

Santri harus hadir bukan hanya di mimbar-mimbar masjid, tetapi juga di ruang-ruang strategis: ekonomi, politik, pendidikan, hingga teknologi. Mereka harus menjadi agen perubahan yang menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin di tengah masyarakat yang semakin haus akan keadilan dan kebijaksanaan.

Dalil Al-Qur’an memberikan landasan kuat bagi peran ini. Allah SWT berfirman: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Ayat ini menegaskan bahwa santri memiliki tanggung jawab besar dalam amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya di masjid, tetapi juga di ruang publik. Ketika kejujuran mulai langka dalam birokrasi, santri harus hadir sebagai teladan integritas. Ketika keserakahan melanda dunia bisnis, santri harus menebar keadilan dan etika ekonomi.

Namun, ironisnya, sebagian masyarakat masih memandang santri sebagai golongan terbelakang. Padahal, di tengah krisis moral dan identitas, santri justru menjadi harapan terakhir. Mereka memahami nilai spiritual sekaligus memiliki kemampuan adaptif terhadap zaman. Banyak pesantren kini mengintegrasikan teknologi, ekonomi kreatif, bahkan kewirausahaan ke dalam kurikulumnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh KH. Ma’ruf Amin, “Santri masa kini bukan hanya ahli ibadah, tapi juga harus ahli ekonomi, politik, dan sosial agar Islam benar-benar hadir dalam segala lini kehidupan.”

Dengan demikian, Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa hari ini tidak berhenti pada pembelaan fisik, tetapi berkembang menjadi penjagaan nilai dan moralitas bangsa.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR Muslim).

Hadits ini menggugah santri agar terus berkarya, berinovasi, dan berkontribusi nyata dalam pembangunan bangsa. Tidak cukup hanya mengaji, tetapi juga menggerakkan. Tidak cukup hanya memahami kitab, tetapi juga mengamalkan nilai-nilainya di tengah kehidupan modern.

Spirit Keulamaan dan Tantangan Kedaulatan

Kedaulatan bangsa tidak hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi dari kokohnya nilai spiritual rakyatnya. Tanpa moralitas, kemerdekaan hanya menjadi slogan kosong. Di sinilah Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa menemukan maknanya yang sejati.

Santri menjadi penjaga moral, benteng akidah, dan pengawal nurani bangsa. Mereka adalah penuntun di tengah kegelapan modernitas yang sering menyesatkan arah. Dalam konteks globalisasi yang penuh tipu daya, santri dituntut memiliki kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) dan intelektual agar mampu menafsirkan zaman tanpa kehilangan arah keimanan.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menulis: “Ilmu tanpa agama adalah kesesatan, dan agama tanpa ilmu adalah kebodohan.”

Ungkapan ini menjadi refleksi mendalam bagi setiap santri. Bahwa tugas mereka bukan hanya belajar, tetapi menyeimbangkan antara ilmu dunia dan akhirat. Karena tanpa keseimbangan itu, bangsa akan kehilangan kedaulatannya bukan karena penjajah, tetapi karena kebodohan dan kelalaian moralnya sendiri.

Bila dahulu santri berjuang di medan tempur, maka kini medan itu berganti menjadi dunia media sosial, ruang ekonomi, dan kebijakan publik. Tantangan yang dihadapi mungkin berbeda, tetapi semangatnya tetap sama: menjaga nilai-nilai Islam agar menjadi pemandu bangsa.

Allah SWT berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ayat ini menegaskan bahwa kedaulatan sejati bukanlah kedaulatan fisik, tetapi kedaulatan nilai dan ketakwaan. Ketika santri menjaga takwa di tengah bangsa, mereka sejatinya sedang menjaga kedaulatan itu sendiri.

Namun, di sisi lain, tantangan besar juga datang dari dalam. Sebagian santri kehilangan arah karena godaan duniawi dengan gengsi, popularitas, dan kemapanan. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda: “Dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu khalifah di dalamnya, lalu Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (HR. Muslim).

Hadits ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan, harta, dan teknologi hanyalah ujian. Jika santri tidak berhati-hati, maka mereka bisa terperangkap dalam kesombongan, dan kehilangan ruh perjuangan. Maka Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa bukan hanya tentang membangun, tetapi juga menjaga keikhlasan dan kesucian hati.

Sebagaimana diungkapkan oleh KH. Bisri Syansuri, “Santri sejati bukan hanya tahu apa yang benar, tapi juga berani membela kebenaran.”

Keberanian moral inilah yang membedakan santri dari intelektual biasa. Santri tidak hanya berpikir, tetapi juga berzikir. Mereka tidak sekadar mencari keuntungan, tetapi mencari keberkahan.

Peran Santri dalam Kedaulatan Bangsa adalah napas panjang sejarah yang terus berdenyut hingga kini. Dari masa perjuangan fisik hingga masa perjuangan moral, santri telah membuktikan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Seperti yang diungkapkan ulama terdahulu, “Hubbul wathan minal iman” Sebagai cinta tanah air adalah bagian dari keimanan.

Maka selama masih ada santri yang berjuang dengan ilmu, iman, dan akhlak, kedaulatan bangsa ini akan tetap terjaga. Karena santri bukan hanya pewaris ulama, tetapi juga penjaga nurani bangsa yang tak pernah padam.

Bagikan:

Related Post