Ketika kita membicarakan tentang wakaf, yang terlintas di benak kebanyakan orang adalah sebidang tanah, bangunan masjid, atau sekolah. Namun, di balik benda-benda itu, tersimpan jejak peradaban yang panjang. Sejarah wakaf bukan hanya soal pemberian aset untuk kepentingan umum, melainkan tentang cinta, perjuangan, dan pengabdian yang berlangsung lintas generasi. Jelajahi perjalanan sejarah wakaf, dari masa lampau hingga kini. Pelajari bagaimana praktik wakaf telah menjadi tradisi peradaban.
Awal mula sejarah wakaf bermula dari zaman Rasulullah ﷺ. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, kebutuhan terhadap air bersih menjadi masalah yang sangat krusial. Sumur Raumah—satu-satunya sumber air bersih saat itu—dimiliki oleh seorang Yahudi yang menjual airnya dengan harga tinggi. Melihat penderitaan kaum muslimin, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu membeli sumur tersebut dan mewakafkannya untuk umat. Dari peristiwa ini, lahirlah wakaf pertama dalam Islam.
Hadist Rasulullah ﷺ yang menjadi fondasi hukum wakaf adalah: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Dalam hadist ini, sedekah jariyah mencerminkan makna dari wakaf. Ia tidak berhenti pada satu titik waktu, tetapi terus mengalir manfaatnya, seperti sungai yang tak pernah kering.
Namun, tidak semua cerita tentang wakaf dipenuhi dengan cahaya dan keikhlasan. Dalam sejarah, ada banyak kasus di mana wakaf disalahgunakan oleh pihak-pihak yang serakah. Tanah yang seharusnya diperuntukkan bagi anak yatim malah dialihfungsikan untuk kepentingan bisnis pribadi. Di sinilah sisi gelap wakaf mulai terlihat—saat amanah berubah menjadi peluang penguasaan. Tapi bukan wakaf yang salah, melainkan manusianya.
Wakaf Sebagai Pondasi Peradaban Islam
Dalam rentang waktu berabad-abad, wakaf tidak hanya menjadi amal pribadi, tetapi bertransformasi menjadi sistem ekonomi dan sosial yang menopang peradaban Islam. Lihatlah sejarah Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, bagaimana wakaf membangun rumah sakit, universitas, dan pusat riset. Rumah Sakit Al-Manshuri di Kairo, misalnya, berdiri kokoh selama ratusan tahun berkat dana wakaf. Bahkan, para pasien miskin dirawat gratis tanpa dibeda-bedakan, karena dana wakaf menanggung semuanya.
Imam Al-Syafi’i pernah menyatakan bahwa wakaf adalah bentuk sedekah terbaik, karena sifatnya yang berkelanjutan. Sedangkan Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’ juga mencatat bagaimana para sahabat berlomba-lomba dalam mewakafkan harta mereka demi kesejahteraan umat. Di sinilah kita melihat bahwa dalam sejarah wakaf, ulama bukan hanya mengajarkan, tetapi juga memberi teladan langsung.
Namun, tidak semua masa keemasan itu bertahan. Saat era penjajahan memasuki dunia Islam, banyak lembaga wakaf dibubarkan atau disita. Di wilayah-wilayah seperti India, Afrika Utara, dan bahkan Nusantara, wakaf dijadikan alat kontrol oleh penjajah. Mereka tahu, menghancurkan wakaf berarti memutus urat nadi pendidikan dan sosial umat Islam. Sebuah pukulan telak yang meninggalkan luka panjang dalam sejarah wakaf.
Perkembangan Wakaf di Era Modern
Memasuki era modern, tantangan terhadap wakaf semakin kompleks. Di satu sisi, kesadaran masyarakat untuk berwakaf mulai tumbuh kembali. Di sisi lain, sistem hukum yang mengatur wakaf sering kali tidak cukup kuat untuk melindungi aset umat. Banyak kasus di mana tanah wakaf digugat oleh ahli waris atau diambil alih secara ilegal oleh perusahaan. Ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mencederai semangat keabadian dari wakaf itu sendiri.
Padahal, jika ditelusuri dalam sejarah, wakaf pernah menjadi pilar ekonomi umat. Ia bukan hanya simbol kedermawanan, tetapi juga instrumen pemberdayaan. Kini, muncul konsep wakaf tunai, wakaf saham, bahkan wakaf produktif yang bertujuan menghidupkan kembali semangat itu. Tapi jika tidak ditopang oleh pemahaman mendalam tentang wakaf dan pengelolaan yang profesional, semua hanya akan jadi jargon kosong belaka.
Al-Qur’an menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS Al Baqarah 267)
Ayat ini menjadi salah satu dalil penting dalam wakaf—bahwa harta yang disumbangkan harus yang terbaik, bukan yang cacat atau tidak berguna.
Namun yang menyedihkan, masih banyak orang yang menjadikan wakaf sebagai tempat ‘buangan’. Barang rusak, tanah tidak produktif, bahkan bangunan reyot sering diwakafkan tanpa rasa malu. Mereka lupa, wakaf adalah persembahan, bukan pelampiasan. Di sinilah pentingnya mendalami sejarah wakaf, agar umat sadar bahwa wakaf adalah bentuk cinta tertinggi kepada Allah dan sesama.
Dalam konteks Indonesia, sejarah mencatat bahwa wakaf sudah dikenal sejak abad ke-17. Salah satu contoh paling terkenal adalah wakaf dari Sultan Agung di Yogyakarta dan Kesultanan Banten. Sayangnya, data wakaf sering tidak tercatat dengan baik. Banyak aset yang hilang tanpa jejak, terbengkalai, atau dikuasai pihak tak bertanggung jawab. Di sinilah pentingnya digitalisasi data dan pembaruan regulasi untuk melindungi wakaf.
Kita tidak bisa bicara tentang masa depan wakaf tanpa melihat ke belakang. Karena dari sejarah wakaf, kita belajar bahwa kejayaan Islam tak akan pernah lahir tanpa sistem pemberdayaan yang kokoh. Wakaf bukan sekadar amal, tapi jantung dari peradaban. Namun ia bisa mati perlahan jika tidak dijaga, tidak dikelola, dan tidak dihargai.