Pandangan Ulama Tentang Game Online

Pandangan Ulama Tentang Game Online

Dunia digital berkembang pesat, membawa serta gelombang hiburan baru yang menjangkau seluruh kalangan usia seperti game online.  Permainan daring yang kini tidak hanya dimainkan untuk mengisi waktu luang, tetapi juga menjadi gaya hidup, ladang bisnis, bahkan ajang kompetisi internasional. Namun, pertanyaannya muncul: bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena ini? Dan apa kata para ulama tentang game online yang semakin meresap ke dalam kehidupan masyarakat Muslim?

Bagi sebagian orang, game online adalah sarana pelepas stres. Ia menjadi hiburan yang menyenangkan setelah seharian bergulat dengan pekerjaan atau tugas sekolah. Ada sensasi kepuasan ketika berhasil menaklukkan level tertentu, atau saat bermain bersama teman dari berbagai belahan dunia. Aktivitas ini tampak sederhana, namun memberikan efek psikologis yang kuat. Rasa senang, semangat, bahkan kebanggaan bisa muncul hanya dari layar ponsel atau komputer.

 

Pandangan Ulama Tentang Game Online

Namun di sisi lain, kenyataan tidak selalu manis. Tak sedikit pula yang terjebak dalam candu permainan ini. Waktu terbuang, ibadah tertinggal, hubungan sosial terganggu, dan prestasi menurun. Dalam beberapa kasus ekstrem, muncul konflik dalam keluarga karena anak atau bahkan orang dewasa tidak mampu melepaskan diri dari layar. Bahkan ada yang nekat mencuri demi bisa membeli kuota atau peralatan permainan. Maka wajar jika kemudian muncul kekhawatiran, terutama dari para orang tua dan tokoh agama.

Pandangan para ulama terhadap game online tidak seragam, tetapi memiliki satu garis tegas: selama tidak melalaikan kewajiban dan tidak mengandung unsur haram, maka ia mubah (diperbolehkan). Akan tetapi, jika sudah masuk pada ranah merusak akhlak, membuat lalai dari salat, atau memicu perilaku tidak terpuji, maka hukumnya bisa berubah menjadi makruh bahkan haram.

Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR Tirmidzi)

Hadist ini menjadi dasar pertimbangan. Jika bermain game online hanya membawa kesenangan sesaat tanpa manfaat jangka panjang, bahkan menimbulkan mudarat, maka lebih baik ditinggalkan. Islam tidak menolak hiburan, tetapi menekankan keseimbangan. Segala sesuatu yang berlebihan, meski awalnya halal, bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Beberapa ulama menyoroti isi dari permainan itu sendiri. Apakah mengandung unsur kekerasan? Apakah terdapat simbol-simbol syirik atau pornografi terselubung? Apakah mendorong pemain untuk berjudi atau bertaruh dalam bentuk digital? Jika jawabannya ya, maka ulama sepakat bahwa game online semacam itu harus dijauhi. Karena bukan hanya merusak individu, tetapi juga menodai nilai-nilai Islam.

Namun tidak sedikit pula ulama yang melihat sisi positif. Ada game edukatif yang melatih logika, strategi, dan kerja sama tim. Ada juga kompetisi yang fair dan mendorong kreativitas anak muda. Dalam konteks ini, game online bisa menjadi sarana pembelajaran, selama dipantau dan diarahkan dengan baik. Bahkan ada yang menghasilkan rezeki dari dunia ini, asalkan tetap menjunjung tinggi etika dan tidak melanggar batasan syariat.

Inilah Alasan Yusuf Al Qaradawi Kerap Dipenjarakan Rezim Penguasa Mesir | tempo.co

Ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi pernah menegaskan bahwa teknologi dan hiburan modern harus didekati dengan prinsip maslahat dan mafsadat. Artinya, selama manfaatnya lebih besar dan tidak mengandung unsur yang dilarang, maka penggunaannya bisa diterima. Tapi jika sudah lebih banyak kerusakan, maka wajib dijauhi.

Masalahnya, tidak semua orang mampu menakar sejauh mana batasannya. Anak-anak dan remaja, khususnya, belum memiliki kontrol diri yang kuat. Inilah mengapa peran keluarga sangat penting. Orang tua bukan hanya melarang, tapi juga mendampingi. Bukan hanya mengkritik, tapi memberi alternatif hiburan yang lebih bermanfaat. Jika ini dilakukan dengan cinta dan komunikasi yang baik, maka game online bisa dihadapi dengan bijak, bukan dengan ketakutan.

Masyarakat juga perlu menciptakan budaya yang tidak mengagungkan dunia maya secara berlebihan. Seorang anak tidak harus merasa keren karena menjadi top player, tetapi karena mampu berbakti kepada orang tua. Seorang remaja tidak harus bangga karena viral di game streaming, tetapi karena mampu menghafal Al-Qur’an atau aktif dalam dakwah kreatif.

Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa dalam dunia yang terus berubah ini, Islam harus hadir bukan untuk menghakimi, tetapi membimbing. Maka daripada hanya berkata “haram” tanpa edukasi, ulama dan pendidik sebaiknya membuka ruang diskusi tentang teknologi dan gaya hidup digital. Tujuannya agar generasi muda tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga kuat secara spiritual.

Sebetulnya game online bukan hal yang sepenuhnya buruk, tapi juga bukan sepenuhnya baik. Ia seperti pisau—bisa digunakan untuk kebaikan, bisa juga melukai. Semua tergantung pada niat, isi permainan, dan cara penggunaannya. Islam memberikan panduan, bukan sekadar larangan. Maka tugas kita bukan hanya mematuhi, tetapi juga memahami.

Bagikan:

Related Post