Dalam ajaran Islam, tidak semua yang bisa dimakan diperbolehkan untuk dikonsumsi. Salah satu larangan yang sangat jelas dan tegas dalam Al-Qur’an adalah mengenai memakan babi. Larangan ini bukan sekadar soal makanan, tetapi mencerminkan kepatuhan kepada perintah Ilahi. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa babi menjadi begitu spesifik disebut dalam kitab suci? Mengapa memakan babi begitu ditekankan keharamannya, bahkan hingga hari ini masih menjadi isu sensitif di kalangan Muslim?
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan karena Allah…” (QS Al-Baqarah: 173)
Ayat ini menjadi dasar paling kuat bahwa memakan babi adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Tidak ada perbedaan pandangan di antara ulama mazhab besar tentang keharamannya. Bahkan, larangan ini diulang dalam beberapa surat lain dalam Al-Qur’an, seperti Al-Ma’idah, An-Nahl, dan Al-An’am. Pengulangan ini menunjukkan pentingnya larangan tersebut dan urgensinya bagi kehidupan seorang Muslim.
Namun realitas hari ini sangat memprihatinkan. Di tengah gempuran gaya hidup modern dan produk makanan global, banyak Muslim yang mulai meremehkan keharaman memakan babi. Mereka tergoda oleh rasa, penampilan makanan, atau bahkan terjerumus karena ketidaktahuan. Ada yang menyembunyikan label, ada yang berdalih “cuma sedikit”, dan ada yang menganggapnya bukan masalah besar. Padahal Allah telah menyebut daging babi sebagai rijs—kotor dan menjijikkan secara spiritual.
Memakan Babi Dalam Setiap Cerminan
Memakan babi bukan hanya urusan perut, tapi juga persoalan akidah. Ia menjadi cerminan dari seberapa jauh seseorang menghormati aturan agama. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka neraka lebih berhak baginya.” (HR Tirmidzi)
Hadist ini sangat menggugah. Jika seseorang terbiasa memakan babi, maka daging haram itu akan menjadi bagian dari tubuhnya. Doanya tidak dikabulkan, ibadahnya tidak khusyuk, dan hatinya menjadi keras. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan, makanan haram adalah penghalang terbesar antara seorang hamba dan rida Allah.
Imam Al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa memakan babi termasuk dosa besar karena keharamannya disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan dalam bentuk olahan, apakah digoreng, direbus, dicampur, atau bahkan diekstrak dalam bentuk gelatin—selama berasal dari babi, maka haram.
Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam Zad al-Ma’ad menjelaskan bahwa makanan haram, terutama memakan babi, memiliki efek langsung terhadap nurani manusia. Ia menumpulkan rasa malu, melemahkan iman, dan membuka pintu maksiat lainnya. Tidak heran jika sebagian ulama menyebut bahwa membiasakan diri mengonsumsi babi adalah awal dari kerusakan moral yang lebih besar.
Namun sangat disayangkan, di zaman ini banyak pihak yang mencoba mengaburkan batas halal dan haram. Mereka membuat produk turunan dari babi dengan label samar, bahkan menjadikannya bagian dari kosmetik, obat-obatan, hingga makanan olahan yang beredar luas. Masyarakat awam yang tidak kritis mudah terjerat. Tanpa sadar, mereka telah memakan babi, meski dalam jumlah kecil, dan terus menerus.
Dalam Setiap Argumen Budaya dan Tradisi
Sebagian kalangan mencoba membenarkan memakan babi dengan alasan medis atau budaya. Mereka mengatakan bahwa di negara-negara tertentu, babi adalah bagian dari tradisi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa babi sudah “dibersihkan” dan tidak lagi berbahaya secara ilmiah. Tapi Islam bukan hanya mengatur dari sisi kesehatan, melainkan juga dari sisi kesucian dan ketaatan.
Allah tidak memerlukan alasan ilmiah untuk menetapkan sesuatu sebagai haram. Ketika Dia melarang memakan babi, maka itu adalah bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba. Bahkan jika suatu saat sains menemukan bahwa babi memiliki kandungan protein yang tinggi atau nilai gizi tertentu, hukum keharamannya tidak berubah. Karena keimanan bukan dibangun atas riset laboratorium, tapi atas kepercayaan penuh kepada wahyu.
Ada pula yang berkata, “Yang penting hatinya bersih.” Mereka menganggap bahwa memakan babi hanyalah persoalan sepele dibandingkan akhlak. Tapi bagaimana mungkin hati dikatakan bersih jika tubuhnya diberi makan dari sesuatu yang najis? Islam adalah agama yang menyatukan iman, akhlak, dan perbuatan. Tidak bisa seseorang mengklaim dirinya baik jika ia melanggar hukum Allah secara terang-terangan.
Imam Malik bin Anas berkata dalam Al-Muwatha’: “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk mengonsumsi sesuatu yang telah jelas keharamannya di dalam Kitab Allah, meski hanya satu suapan.”
Pernyataan ini sangat keras namun jujur. Karena satu suapan haram bisa menjadi sebab tertolaknya seluruh amal. Apalagi jika memakan babi telah menjadi kebiasaan. Maka penting bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, memeriksa setiap bahan makanan, dan tidak bermain-main dengan urusan halal dan haram.