Mengenal Dekat Wakaf, Hukum dan Dalilnya

Wakaf bukan hanya sekadar amal ibadah biasa. Ia adalah warisan abadi, investasi jangka panjang menuju akhirat, dan simbol cinta kasih terhadap umat. Namun di sisi lain, wakaf bisa menjadi lahan konflik, manipulasi, bahkan penindasan, apabila tidak dipahami dengan benar—baik dari sisi hukum maupun dalilnya. Maka dari itu, mengenal lebih dekat wakaf, hukum dan dalil yang mengiringinya bukanlah pilihan, melainkan keharusan.

Sejarah Islam penuh dengan kisah-kisah mengharukan tentang wakaf. Dari zaman Rasulullah ﷺ hingga masa kekhalifahan, wakaf menjadi instrumen utama dalam membangun peradaban. Dikisahkan, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu membeli sumur Raumah dan mewakafkannya untuk kaum muslimin. Keputusannya itu bukan hanya menyelamatkan masyarakat dari kekeringan, tapi juga mengukir namanya dalam tinta emas sejarah.

Apa yang membuat wakaf begitu sakral? Tidak lain karena wakaf, hukum dan dalil yang melandasinya memberikan kerangka kuat agar ia menjadi amal jariyah yang kekal. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bersabda:

“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Sedekah jariyah inilah yang menjadi payung besar wakaf. Artinya, selama manfaat dari wakaf itu terus mengalir, pahala bagi pewakaf tidak akan pernah terputus. Inilah kekuatan yang membuat banyak ulama menyebut wakaf sebagai ibadah ‘abadi’.

Namun, dalam praktiknya tidak selalu mulus. Ada wakaf yang terbengkalai, disalahgunakan oleh ahli waris, bahkan dijadikan alat kekuasaan. Ketika wakaf tidak ditopang oleh pemahaman yang benar tentang wakaf, hukum dan dalil, maka yang seharusnya menjadi berkah bisa berubah menjadi musibah.

Hukum dan Dalil Pilar Kekuatan Wakaf

Dalam Islam, hukum wakaf tergolong sunnah muakkadah—sangat dianjurkan. Namun dalam konteks tertentu bisa menjadi wajib, misalnya jika seseorang telah bernazar untuk mewakafkan hartanya. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyatakan:

“Wakaf adalah amal yang sangat dianjurkan karena manfaatnya terus menerus dan pahalanya tidak terputus.”

Dalil utama yang menjadi landasan wakaf banyak bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Salah satu ayat yang kerap dijadikan pegangan:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali Imran 92)

Ayat ini menyentuh langsung ke relung hati: memberikan yang dicintai, bukan sisa-sisa. Ini adalah ujian keikhlasan tertinggi. Wakaf bukan soal nominal, melainkan tentang melepas ego, menyerahkan harta dunia untuk investasi akhirat. Sayangnya, sebagian orang menunda-nunda wakaf karena merasa hartanya belum cukup. Padahal, wakaf tidak harus tanah luas atau bangunan megah. Buku, kursi, atau sumur pun bisa menjadi wakaf.

Namun masalahnya, banyak masyarakat yang tidak paham wakaf, hukum dan dalil secara utuh. Ada yang mewakafkan barang tanpa tahu syarat sahnya, ada juga yang berniat wakaf tapi mencantumkan syarat yang bertentangan dengan syariat. Akibatnya, niat baik bisa menjadi polemik.

Wakaf tidak sekadar menyerahkan harta, tapi juga memastikan legalitas, pengelolaan, dan peruntukannya sesuai syariat. Oleh karena itu, penting mengetahui rukun dan syaratnya: ada wakif (orang yang mewakafkan), mauquf (harta yang diwakafkan), mauquf ‘alaih (penerima/manfaat wakaf), serta sighat (pernyataan wakaf).

Ketika salah satu unsur ini cacat, maka status wakaf bisa dipertanyakan. Inilah mengapa pemahaman yang mendalam tentang wakaf, hukum dan dalil tidak bisa diabaikan.

Realita Pahit di Balik Amal Mulia

Meski wakaf adalah ladang pahala, bukan berarti tanpa noda. Ada realita pahit yang membuat hati miris. Beberapa tanah wakaf di Indonesia dikuasai oleh oknum mafia tanah. Akta wakaf dipalsukan, penerima manfaat dikhianati, dan amanah umat dilanggar. Harta yang seharusnya menjadi penolong kaum lemah, justru menjadi rebutan para serakah.

Di sisi lain, pengelolaan wakaf yang kurang transparan juga menimbulkan kecurigaan. Banyak masyarakat mempertanyakan ke mana hasil pengelolaan wakaf itu disalurkan. Bukankah Allah telah memerintahkan untuk berlaku adil dan amanah? menegaskan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS An Nisa 58)

Tanpa transparansi dan integritas, semangat wakaf bisa luntur. Itulah sebabnya, pemerintah dan lembaga nazhir (pengelola wakaf) dituntut untuk profesional dan bertanggung jawab. Wakaf adalah urusan agama, bukan bisnis pribadi.

Namun di balik semua sisi gelap itu, tetap banyak kisah inspiratif yang membuktikan bahwa wakaf, hukum dan dalil jika dijalankan dengan benar bisa membawa perubahan besar. Rumah sakit gratis, sekolah untuk dhuafa, dan masjid di pelosok desa, semua tumbuh dari semangat wakaf.

Kini saatnya umat Islam kembali merevitalisasi wakaf. Bukan hanya dalam bentuk tanah, tapi juga wakaf tunai, wakaf produktif, bahkan wakaf digital. Selama manfaatnya mengalir dan hukumnya dipenuhi, maka wakaf tetap sah.

Tapi, apakah kita siap berwakaf bukan karena nama, bukan demi pujian, tapi murni karena Allah? Karena sejatinya, nilai wakaf bukan pada besarnya harta, tapi pada ketulusan dan kepatuhan terhadap wakaf, hukum dan dalil yang sudah digariskan syariat.

Bagikan:

Related Post