Laki-laki adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi beban tanggung jawab yang berat, kehormatan besar, sekaligus ujian hidup yang dalam. Tak sedikit yang melihat keberadaan laki-laki hanya dari sisi kekuatan dan otoritas, namun melupakan sisi spiritual yang melekat dalam setiap penciptaan yang berasal dari kehendak dan kasih sayang Ilahi. Dalam ayat-ayat suci, Bagaimana Allah menjelaskan proses menciptakan manusia dengan sangat rinci dan penuh keajaiban. Sebuah proses yang tak hanya menghasilkan makhluk hidup, tetapi membentuk makhluk berakal, berperasaan, dan berperan penting dalam kehidupan di muka bumi.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 12 hingga 14, Allah menjelaskan secara runtut bagaimana manusia diciptakan dari sari pati tanah, lalu berubah menjadi setetes air mani yang tersimpan dalam rahim, menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging, hingga ditiupkan ruh ke dalamnya. Dari proses ini, terciptalah manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna. Ayat ini menjadi penegasan bahwa penciptaan, baik laki-laki maupun perempuan, adalah buah dari kekuasaan dan ketelitian Sang Pencipta.
Namun dalam struktur sosial dan tanggung jawab syariat, bagaimana Allah menciptakan laki-laki memiliki dimensi tambahan yang tak bisa dipisahkan dari amanah dan kepemimpinan. Dalam surat An-Nisa ayat 34 disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, serta karena mereka menafkahkan sebagian harta mereka. Ini adalah bentuk tanggung jawab, bukan dominasi. Namun sejarah menunjukkan bagaimana ayat ini sering disalahartikan oleh sebagian yang ingin menjadikan kekuatan sebagai alat menindas, bukan menjaga.
Kelebihan yang Menuntut Pertanggungjawaban
Dalam sebuah hadist, Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan akan ditanya atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari Muslim) Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukan hadiah, melainkan ujian. Maka laki-laki yang menolak belajar, menolak mendidik diri, atau menyia-nyiakan keluarganya sesungguhnya sedang mengkhianati peran agung yang telah diberikan Allah sejak awal penciptaannya.
Bagaimana Allah menciptakan laki-laki dengan karakter fisik yang lebih kuat dari perempuan bukan berarti laki-laki lebih mulia, namun lebih terbebani. Kekuatan bukan untuk mengintimidasi, tapi melindungi. Otoritas bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk menyelamatkan yang lemah. Sayangnya, banyak yang menjadikan maskulinitas sebagai tameng untuk kekerasan. Laki-laki dijauhkan dari empati dan didekatkan pada kekuasaan semu. Padahal Rasulullah ﷺ adalah teladan yang paling lembut dalam memimpin keluarga, paling sabar dalam berinteraksi dengan umat, dan paling bijak dalam mendidik para sahabatnya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menulis dalam Tuhfatul Maudud bahwa laki-laki memiliki keutamaan dalam syariat bukan karena tubuhnya, tetapi karena tanggung jawabnya. Ia diciptakan dengan kehormatan, dan kehormatan itu akan hilang jika ia memilih menjadi pengecut, pemalas, atau pelanggar hak orang lain. Maka seorang laki-laki sejati adalah ia yang tahu batasannya, tahu apa yang harus dijaga, dan tahu bahwa dirinya akan ditanya oleh Allah atas setiap langkah yang diambilnya.
Laki-laki dan Perannya sebagai Khalifah
Sejak awal manusia pertama, Nabi Adam, Allah telah menunjuk laki-laki sebagai khalifah di muka bumi. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30, Allah menyatakan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan khalifah di bumi. Nabi Adam dijadikan wakil Allah dalam mengelola dunia, mendidik anak keturunannya, dan menyampaikan petunjuk. Dari peristiwa ini kita belajar bahwa bagaimana Allah menciptakan laki-laki adalah proses penciptaan yang penuh makna, bukan hanya fisik, tetapi juga spiritualitas dan misi kehidupan.
Namun menjadi khalifah bukan perkara sederhana. Banyak laki-laki yang jatuh karena tamak kekuasaan, gagal karena tidak memahami tanggung jawabnya, dan binasa karena lebih memilih nafsu daripada amanah. Dalam sejarah Islam, ada figur-figur seperti Fir’aun dan Namrud yang tubuhnya kuat, kekuasaannya besar, tetapi jiwanya rusak. Bandingkan dengan Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Rasulullah sendiri, yang justru memperlihatkan bahwa kekuatan laki-laki sejati terletak pada kemampuannya menahan amarah, menyayangi yang lemah, dan menegakkan kebenaran meski ditentang oleh dunia.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa laki-laki diciptakan dengan akal yang lebih stabil, namun mudah sombong bila tidak dihiasi dengan ilmu dan ketakwaan. Maka diperlukan pembinaan spiritual agar potensi itu tidak menjadi bumerang. Karena bila tanggung jawab yang besar tidak dibarengi dengan kesadaran, maka kehancuran akan lebih cepat mendekat.
Laki-laki dalam Ujian Dunia
Hidup di zaman modern tidak membuat penciptaan laki-laki kehilangan maknanya. Justru tantangannya semakin rumit. Laki-laki hari ini dibebani dengan ekspektasi sosial, tekanan ekonomi, dan beban psikologis yang membuat mereka mudah kehilangan arah. Banyak yang menjauh dari agama karena sibuk mengejar dunia. Banyak yang melupakan keluarga karena terpikat kekuasaan. Maka penting untuk kembali kepada pertanyaan dasar: bagaimana Allah menciptakan laki-laki, dan apa tujuan besar dari penciptaan itu.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya dunia ini adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalihah.” (HR Ahmad) Maka jika wanita shalihah adalah kesenangan terbaik, maka laki-laki shalih adalah penjaga terbaik dari kesenangan itu. Ia bukan penguasa yang menuntut ditaati, tetapi pelindung yang rela berkorban.