Dalam kehidupan sehari-hari, istilah riba mungkin sering terdengar samar dan jauh, tetapi sebenarnya sangat dekat dengan berbagai aspek kehidupan finansial umat manusia. Banyak yang merasa bahwa riba hanya terjadi di dunia perbankan atau bisnis berskala besar, padahal kenyataannya riba bisa hadir dalam bentuk sederhana seperti pinjaman kecil antara teman, hutang dalam jual beli, atau bahkan denda keterlambatan cicilan. Maka dari itu, mengenal dekat riba menjadi sangat penting bagi siapa saja yang ingin menjalani hidup sesuai dengan tuntunan Islam.
Allah tidak menciptakan hukum riba tanpa alasan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama saja dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah Ayat 275) Ayat ini menggambarkan dengan sangat tajam bagaimana riba bukan hanya sekadar transaksi keuangan, tetapi merupakan penyakit spiritual yang menyerang kesadaran dan keimanan manusia.
Yang membuat hati semakin miris adalah bahwa riba bukan hanya sekadar dosa biasa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada tiga puluh enam kali berzina.” (HR Muslim) Kalimat ini mengguncang jiwa siapa pun yang mendengarnya. Bayangkan, dosa sebesar zina yang berulang kali masih lebih kecil dibandingkan memakan satu dirham riba dengan sadar. Maka tak heran jika para ulama salaf sangat berhati-hati dan takut terlibat dalam praktik riba, bahkan dalam bentuk terkecil sekalipun.
Kenyataan pahitnya, zaman sekarang banyak orang yang merasa tidak bisa menghindar. Mereka berkata bahwa sistem sudah mengurung mereka, bahwa hidup di era ini tak mungkin lepas dari riba. Namun benarkah demikian, atau sebenarnya manusia terlalu nyaman dan malas mencari jalan yang halal? Ini adalah perenungan yang mengguncang, sebuah dilema batin yang harus dijawab oleh setiap hati yang mengaku beriman.
Mengenal Dekat Riba dalam Pandangan Ulama dan Bahayanya
Para ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang telah menjelaskan secara tegas hukumnya dan konsekuensi dari riba. Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa riba termasuk dosa besar yang mengundang laknat dari Allah dan Rasul-Nya. Bahkan alquran, Allah menyerukan, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu benar-benar beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS Al Baqarah Ayat 278-279) Ayat ini bukan ancaman biasa, melainkan deklarasi perang dari Sang Pencipta kepada hamba yang menolak meninggalkan riba.
Perang dari Allah tidak hanya berarti siksaan di akhirat, tetapi bisa berupa kehancuran ekonomi, ketidakberkahan dalam harta, pertikaian dalam rumah tangga, hingga runtuhnya rasa aman dalam jiwa. Banyak orang merasa bahwa hidupnya sulit, usahanya macet, hartanya habis begitu saja, padahal pendapatannya besar. Bisa jadi itu karena di dalamnya terdapat unsur riba yang mencemari rezeki. Seberapapun banyaknya, jika mengandung riba, maka harta itu tidak membawa ketenangan melainkan kegelisahan yang tak berujung.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ melaknat empat golongan yang terlibat dalam riba: yang memakan riba, yang memberikannya, yang mencatatnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” Hadis ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam riba, meski hanya sebagai pencatat atau saksi, tetap mendapat bagian dari dosa yang sama. Maka siapa pun yang bekerja di lembaga keuangan berbasis riba atau mendukung sistem tersebut, perlu merenungkan kedudukan mereka di sisi Allah.
Solusi dan Jalan Keluar dari Jeratan Riba
Mereka yang ingin menjauh dari riba sering kali bertanya, bagaimana caranya jika semua lembaga keuangan hari ini menggunakan sistem bunga? Bagaimana mungkin membeli rumah tanpa KPR konvensional? Bagaimana jika modal usaha hanya bisa didapat dari pinjaman berbunga? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tetapi bukan berarti tidak ada solusinya. Islam adalah agama yang tidak membebani di luar kemampuan manusia, dan mengenal dekat riba berarti juga mengenal alternatif halal yang ditawarkan syariat.
Saat ini telah berkembang lembaga-lembaga keuangan syariah yang berupaya untuk memberikan solusi tanpa riba, seperti akad murabahah, ijarah, musyarakah, dan mudharabah. Meski sistem ini belum sempurna dan masih memiliki tantangan, tetapi merupakan bentuk ikhtiar agar umat Islam tidak terjebak dalam sistem ribawi. Bahkan jika belum mampu menggunakan lembaga syariah, menghindari pinjaman dan hidup sederhana adalah langkah awal yang sangat berarti di sisi Allah.
Para sahabat dan tabiin dahulu juga menghadapi kesulitan ekonomi. Mereka hidup dalam kekurangan dan keterbatasan. Tapi mereka tetap memilih jalan halal, meski harus menahan lapar. Mereka tidak rela menukar iman dengan uang, tidak mau mengganti ketenangan jiwa dengan gemerlap dunia. Karena mereka tahu, hukumnya riba bukan hanya tentang dunia, tapi tentang nasib di akhirat.
Ibnu Abbas pernah berkata, “Jika riba telah tersebar di suatu negeri, maka kehancuran menantinya.” Pernyataan ini bukan retorika, tetapi kenyataan yang bisa dilihat hari ini. Krisis ekonomi yang terus berulang, utang negara yang menggunung, dan kehancuran moral masyarakat adalah sebagian dari dampak nyata sistem ribawi.