Di dunia yang semakin sibuk dan penuh hiruk-pikuk ini, kata “adab” mulai jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari. Banyak anak tumbuh cerdas, berprestasi, dan berilmu tinggi, namun kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: rasa hormat kepada orangtua. Inilah tanda zaman yang memprihatinkan, ketika keberhasilan diukur dengan angka, bukan dengan perilaku. Maka, sudah saatnya kita mengembalikan keseimbangan itu melalui sebuah Kurikulum Adab Terhadap Orangtua merupakan sebuah pendidikan hati yang menuntun anak untuk memahami bahwa kasih sayang orangtua adalah anugerah yang tidak tergantikan oleh apa pun di dunia.
Adab terhadap orangtua bukan hanya persoalan etika sosial, melainkan bagian dari keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Islam meletakkan kedudukan orangtua pada posisi yang sangat tinggi, sejajar setelah ketaatan kepada Tuhan. Tidak ada amal ibadah yang sempurna tanpa menghormati ayah dan ibu. Maka, Kurikulum Adab Terhadap Orangtua sejatinya adalah pendidikan tentang cinta, syukur, dan kerendahan hati di hadapan mereka yang telah berkorban tanpa batas.
Makna dan Nilai Spiritual dalam Kurikulum Adab Terhadap Orangtua
Adab terhadap orangtua mencerminkan kebersihan hati dan kedalaman iman seorang anak. Bukan sekadar ucapan lembut, tetapi sikap, perilaku, dan ketaatan yang mencerminkan rasa hormat yang tulus. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23).
Ayat ini adalah dasar Kurikulum Adab Terhadap Orangtua. Allah tidak hanya melarang berkata kasar, bahkan sekadar mengucapkan “ah” pun dianggap pelanggaran adab. Begitu besar penghormatan Islam terhadap orangtua, hingga tidak ada alasan bagi anak untuk meninggikan suara di hadapan mereka, apalagi menyakiti hati mereka.
Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Ridha Allah tergantung pada ridha orangtua, dan murka Allah tergantung pada murka orangtua.” (HR Bukhari Muslim).
Hadits ini menggambarkan hubungan spiritual yang sangat dalam antara seorang anak dengan kedua orangtuanya. Maka, Kurikulum Adab Terhadap Orangtua bukan hanya sekadar aturan perilaku, melainkan jalan menuju keridhaan Ilahi.
Zaman modern menghadirkan kemudahan luar biasa, tetapi juga membawa krisis moral yang tak kalah besar. Banyak anak yang lebih sibuk dengan gawai daripada menyapa ibunya. Banyak yang menatap layar lebih lama daripada menatap wajah ayahnya. Di media sosial, kita bisa melihat begitu banyak perilaku durhaka terselubung: anak-anak yang berbicara kasar, membantah nasihat, bahkan mempermalukan orangtuanya secara terbuka.
Inilah realitas pahit yang menuntut hadirnya Kurikulum Adab Terhadap Orangtua sebagai pondasi utama pendidikan. Tanpa adab, ilmu kehilangan makna. Sebaliknya, dengan adab, seseorang bisa menjadi mulia meski tidak memiliki banyak gelar.
Imam Malik bin Anas pernah berkata kepada muridnya: “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Kalimat singkat ini sesungguhnya adalah inti dari seluruh sistem pendidikan Islam. Adab bukan pelengkap, tetapi dasar dari segalanya.
Dalam konteks keluarga, Kurikulum Adab Terhadap Orangtua mengajarkan anak untuk mengenal jasa dan perjuangan ayah dan ibu. Anak perlu memahami bahwa sebelum ia bisa berjalan, orangtuanya sudah menuntun; sebelum ia bisa berbicara, orangtuanya telah mendoakan; sebelum ia mengenal dunia, ibunya telah menanggung rasa sakit yang luar biasa demi melahirkannya.
Namun sayangnya, ada sebagian anak yang tumbuh tanpa kesadaran itu. Mereka merasa mandiri, tetapi lupa bahwa keberadaan mereka adalah hasil dari kasih yang tak terbalas. Mereka bisa sukses di mata dunia, tetapi gagal di mata Allah karena melupakan rasa hormat.
Teladan Adab Terhadap Orangtua dari Rasulullah ﷺ dan Para Sahabat
Rasulullah ﷺ adalah manusia paling beradab dalam memperlakukan orangtua. Meskipun beliau yatim sejak kecil, rasa hormat beliau terhadap ibunda Aminah dan terhadap para pengasuhnya begitu mendalam. Ketika makam ibunya dikunjungi di daerah Abwa’, Rasulullah ﷺ menangis dengan tangisan yang membuat para sahabat pun ikut terharu. Beliau bersabda, “Aku memohon izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun tidak diizinkan. Dan aku memohon izin untuk menziarahi kuburnya, maka diizinkan.” (HR. Muslim).
Dari kisah ini, kita belajar bahwa Kurikulum Adab Terhadap Orangtua tidak hanya berhenti ketika orangtua masih hidup. Bahkan setelah mereka wafat, anak tetap berkewajiban untuk menghormati dan mendoakan mereka.
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Anak yang beradab adalah investasi terbesar orangtua. Doa anak yang penuh cinta dan penghormatan dapat menjadi pelita bagi orangtuanya di alam kubur. Inilah bentuk lanjutan dari Kurikulum Adab Terhadap Orangtua yang diajarkan Islam: berbakti tidak mengenal batas waktu.
Para sahabat Rasulullah juga memberikan teladan luar biasa dalam hal adab terhadap orangtua. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melihat seorang lelaki sedang menggendong ibunya mengelilingi Ka’bah. Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Maka Ibnu Umar menjawab, “Tidak, bahkan engkau belum membalas satu hembusan napasnya ketika ia melahirkanmu.”
Jawaban itu mengguncang hati. Ia menunjukkan bahwa semua amal anak tidak akan sebanding dengan kasih ibu. Maka, tugas kita bukan menghitung balas jasa, tetapi melanjutkan pengabdian dengan sepenuh hati.
Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Adab Kepada Orangtua
Ulama salaf selalu menekankan pentingnya adab sebelum ilmu, dan penghormatan kepada orangtua sebelum amal lainnya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang apa yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberkahan hidup. Beliau menjawab, “Perbanyaklah berbuat baik kepada orangtua, niscaya umurmu diberkahi dan rezekimu dilapangkan.”
Pendapat ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR Ahmad). Dan silaturahmi terbesar dimulai dari hubungan dengan orangtua.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa bentuk tertinggi dari adab kepada orangtua adalah ketaatan tanpa bantahan selama tidak dalam perkara maksiat. Ia juga menekankan pentingnya menjaga ucapan, pandangan, dan tindakan agar tidak menyinggung perasaan mereka.
Bahkan dalam pandangan para sufi seperti Imam Al-Junaid al-Baghdadi, menghormati orangtua adalah bagian dari perjalanan spiritual menuju ma’rifatullah (pengenalan kepada Allah). Mereka percaya, siapa yang tidak beradab kepada orangtuanya, tidak akan beradab kepada Tuhannya. Maka, Kurikulum Adab Terhadap Orangtua sejatinya adalah jalan menuju kesucian jiwa.
Implementasi Kurikulum Adab Terhadap Orangtua di Kehidupan Sehari-Hari
Bagaimana menerapkan Kurikulum Adab Terhadap Orangtua di kehidupan nyata? Langkah pertama adalah mengenalkan anak pada makna cinta dan pengorbanan. Anak harus tahu bahwa tidak ada cinta yang lebih tulus dari doa seorang ibu yang lirih di malam hari, atau kerja keras seorang ayah yang pulang dalam diam demi sesuap nasi untuk keluarga.
Orang tua dapat menanamkan adab melalui keteladanan, bukan hanya nasihat. Anak yang melihat ayahnya mencium tangan ibunya, atau mendengar ibunya mendoakan kakek-neneknya, akan tumbuh dengan hati yang lembut.
Selain itu, guru dan lembaga pendidikan juga harus menanamkan Kurikulum Adab Terhadap Orangtua dalam bentuk kegiatan nyata seperti menulis surat terima kasih kepada orangtua, mengunjungi mereka saat hari istimewa, atau berdoa bersama untuk kesehatan dan ampunan mereka. Pendidikan seperti ini menumbuhkan rasa haru, tanggung jawab, dan kedekatan spiritual.
Namun, tidak semua kisah hubungan anak dan orangtua berjalan mulus. Ada orangtua yang keras, ada pula yang lalai. Dalam kondisi seperti ini, Islam tetap memerintahkan anak untuk bersabar. Allah SWT berfirman: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Ayat ini menegaskan bahwa adab tetap dijaga, bahkan ketika orangtua tidak sejalan dalam keyakinan. Maka, Kurikulum Adab Terhadap Orangtua juga mengajarkan kebijaksanaan dalam menghadapi perbedaan, tanpa kehilangan rasa hormat.
Anak yang memahami Kurikulum Adab Terhadap Orangtua akan tumbuh menjadi manusia yang lembut hati, penuh empati, dan tidak mudah tergoda oleh kesombongan dunia. Sebab ia tahu, ridha orangtua adalah ridha Allah, dan cinta mereka adalah jalan menuju surga. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits riwayat An-Nasa’i: “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.”
Maka, siapa pun yang masih memiliki orangtua, sesungguhnya memiliki gerbang surga yang masih terbuka lebar. Dan siapa yang telah kehilangan keduanya, masih bisa mengetuk pintu surga melalui doa dan amal kebajikan yang ia persembahkan untuk mereka.


















