Dalil dan Hukum Paylater

Fenomena Paylater kini menjadi tren yang tak terhindarkan di tengah masyarakat modern. Di berbagai platform digital, layanan ini menawarkan kemudahan luar biasa yakni beli sekarang, bayar nanti/paylater. Sekilas tampak sederhana, seolah-olah hanya bentuk kemudahan transaksi. Namun, di balik itu tersimpan persoalan besar yang mengguncang fondasi nilai-nilai Islam tentang muamalah. Apakah Paylater benar-benar halal, atau justru mengandung unsur riba yang terlarang? Pertanyaan ini menjadi pintu masuk penting untuk memahami secara mendalam Dalil dan Hukum Paylater dalam pandangan syariat Islam.

Di dunia yang serba cepat ini, banyak orang tergoda oleh kenyamanan instan. Paylater menjanjikan kebebasan untuk memiliki tanpa menunggu, padahal dalam Islam, kepemilikan dan hutang adalah perkara yang sangat serius. Rasulullah ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi.” (HR Bukhari).

Hadits ini menggugah nurani, bahwa hutang bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga berdampak pada nasib akhirat seseorang. Maka, pembahasan Dalil dan Hukum Paylater menjadi sangat penting agar umat Islam tidak terjerumus ke dalam jeratan sistem keuangan yang samar antara halal dan haram.

Makna dan Mekanisme Paylater dalam Kacamata Syariat

Secara sederhana, Paylater adalah layanan finansial yang memungkinkan pengguna membeli barang atau jasa dengan pembayaran yang ditunda pada waktu tertentu, biasanya disertai biaya tambahan. Dalam sistem keuangan konvensional, biaya tambahan itu sering disebut bunga. Sedangkan dalam Islam, tambahan pada utang yang disyaratkan di awal adalah riba yang diharamkan secara tegas.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).

Ayat ini menjadi dasar utama dalam menentukan Dalil dan Hukum Paylater. Bila sistem Paylater melibatkan tambahan biaya karena penundaan pembayaran, maka hal itu masuk kategori riba nasi’ah yakni tambahan yang dikenakan karena waktu pelunasan yang ditunda. Riba jenis ini secara jelas diharamkan dalam Islam karena menindas dan menjerat manusia dalam kesulitan finansial yang berkepanjangan.

Namun, tidak semua bentuk penundaan pembayaran otomatis haram. Dalam muamalah Islam, ada konsep bai’ muajjal (jual beli dengan pembayaran tertunda) yang dibolehkan, selama harga jual sudah disepakati di awal tanpa adanya tambahan bunga. Misalnya, seorang pedagang menjual motor dengan harga tunai Rp 20 juta, tetapi jika dibayar tiga bulan kemudian menjadi Rp 22 juta. Bila harga 22 juta sudah disepakati sejak awal, maka transaksi itu halal, karena tidak ada unsur ketidakjelasan (gharar) maupun tambahan di tengah jalan.

Berbeda dengan sistem Paylater modern, di mana lembaga keuangan pihak ketiga (bukan penjual) yang membayar dulu harga barang kepada penjual, lalu menagih kepada pembeli dengan tambahan biaya atau bunga. Di sinilah muncul kerancuan dalam Dalil dan Hukum Paylater. Karena pihak penyedia layanan tidak menjual barang, melainkan memberikan pinjaman uang dengan imbalan lebih. Itulah yang disebut riba dalam hukum Islam.

Ulama kontemporer seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi menegaskan, “Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat bagi pemberi pinjaman adalah riba.” Maka, jika penyedia Paylater mendapatkan keuntungan dari keterlambatan pembayaran atau biaya tambahan di luar akad jual beli, maka transaksi itu termasuk dalam praktik riba.

Pandangan Ulama dan Dalil Tentang Hukum Paylater

Dalam membahas Dalil dan Hukum Paylater, para ulama terbagi menjadi beberapa pandangan tergantung pada mekanisme yang digunakan oleh penyedia layanan.

Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa Paylater bisa dibolehkan dengan syarat sangat ketat, yakni:

  1. Tidak ada bunga atau tambahan biaya atas keterlambatan pembayaran.
  2. Akad yang digunakan harus jelas, apakah itu akad jual beli (bai’) atau pinjaman (qardh).
  3. Tidak boleh ada unsur penipuan, gharar (ketidakjelasan), atau paksaan dalam transaksi.

Namun, kenyataannya, sebagian besar layanan Paylater di dunia digital modern tidak memenuhi kriteria tersebut. Hampir semua mengenakan bunga atau denda keterlambatan. Bahkan, dalam beberapa kasus, pengguna yang terlambat membayar bisa dikenakan biaya berlipat-lipat.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya.” (HR Muslim).

Hadits ini menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba, baik secara langsung maupun tidak, mendapatkan dosa yang sama beratnya. Maka, jika sistem Paylater mengandung unsur bunga, maka baik pengguna, penyedia layanan, maupun pihak yang mendukung transaksi itu terancam dalam lingkaran dosa riba.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa laknat dalam hadits ini menunjukkan besarnya dosa riba. Ia bukan hanya dosa ekonomi, tapi juga dosa moral dan spiritual, karena merusak keadilan sosial dan menumbuhkan kerakusan.

Dalam konteks Dalil dan Hukum Paylater, para fuqaha juga menyoroti aspek gharar, yakni ketidakjelasan dalam akad. Banyak pengguna Paylater yang tidak memahami dengan benar konsekuensi dari transaksi mereka yaitu denda, bunga, penalti, dan batas waktu, sehingga akad menjadi tidak sah menurut hukum Islam.

Allah SWT berfirman: “Jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 279).

Ayat ini menimbulkan rasa gentar di hati orang-orang beriman. Bayangkan, ancaman “perang” dari Allah dan Rasul-Nya bukan terhadap orang kafir, tetapi terhadap orang yang tetap bergelimang dalam riba. Maka, bagaimana mungkin seorang Muslim rela masuk dalam sistem keuangan yang berpotensi mengundang murka Allah hanya demi kesenangan sesaat?

Hikmah dan Renungan dari Dalil dan Hukum Paylater

Sebagian orang berpendapat bahwa Paylater membantu mereka dalam kebutuhan mendesak. Namun, Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mendatangkan kemudahan tidak boleh melanggar batas halal. Dalam kaidah fikih disebutkan:

“Setiap kemudahan yang mengantarkan kepada keharaman, maka kemudahan itu menjadi haram.”

Kaidah ini relevan dengan Dalil dan Hukum Paylater, sebab banyak yang menganggap Paylater sebagai solusi ekonomi, padahal bisa menjadi jebakan utang. Hutang yang disertai bunga menjadikan seseorang hidup dalam tekanan dan ketakutan. Padahal, Allah SWT berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan jika kamu bersedekah, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Ayat ini menggambarkan betapa Islam mengatur transaksi keuangan dengan kasih sayang dan keadilan. Tidak ada ruang untuk eksploitasi, apalagi menekan orang yang sedang dalam kesulitan. Maka, jika sistem Paylater menambah beban seseorang dengan denda dan bunga, jelas itu bertentangan dengan semangat syariat.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa sistem utang piutang yang menimbulkan tambahan biaya di luar pokok pinjaman adalah bentuk kezaliman modern. Menurut beliau, “Riba zaman kini bukan hanya di bank, tapi juga dalam aplikasi dan teknologi keuangan digital. Bentuknya berubah, tapi hakikatnya tetap sama.”

Dari sini kita memahami bahwa Islam tidak menolak inovasi finansial, tetapi mengharuskan setiap inovasi tunduk pada prinsip halal, keadilan, dan kejelasan akad. Sistem Paylater baru bisa diterima jika:

  1. Tidak ada bunga atau denda,
  2. Tidak ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari pinjaman,
  3. Dan transaksi dilakukan secara transparan.

Jika tidak demikian, maka Paylater hanyalah riba dalam bentuk digital yang lebih halus, tapi tetap membawa akibat yang berat.

Dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah ﷺ bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu, dan yang paling ringan di antaranya seperti seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri.” (HR Ibnu Majah).

Hadits ini bukan sekadar peringatan, tetapi tamparan keras bagi hati yang lalai. Betapa besar dosa riba sehingga diibaratkan dengan perbuatan yang sangat keji. Maka, setiap Muslim harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam sistem yang sekilas tampak modern, tapi hakikatnya sama dengan praktik riba yang diharamkan sejak zaman Rasulullah.

Di tengah godaan kemudahan dunia digital, memahami Dalil dan Hukum Paylater bukan hanya kewajiban ilmiah, tapi juga keharusan moral bagi setiap Muslim. Karena kemudahan tanpa keberkahan akan membawa kesengsaraan. Banyak orang yang tampak mampu membeli barang dengan Paylater, namun kehilangan ketenangan dalam hati. Banyak pula yang terlilit utang hanya karena ingin mengikuti gaya hidup. Padahal, Rasulullah ﷺ pernah berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan beban hutang.” (HR. Abu Dawud)

Doa ini mencerminkan betapa beratnya beban hutang di sisi Rasulullah. Beliau memohon perlindungan bukan dari kekurangan harta, tapi dari utang yang bisa menjerat iman dan menodai ketenangan hidup.

Demikianlah uraian panjang tentang Dalil dan Hukum Paylater, yang menggambarkan bagaimana Islam mengatur keuangan dengan prinsip keadilan dan kehati-hatian. Di zaman modern, bentuknya boleh berubah, tetapi nilai-nilainya tetap sama yakni menjauhkan manusia dari riba, gharar, dan kezaliman, serta menumbuhkan keberkahan dalam setiap harta.

Bagikan:

Related Post